Saya belum pernah membaca tulisannya Ayu Utami. Namun saya suka Ayu menulis judul-judul untuk bukunya. Sebab bukunya belum saya baca, saya tak ingin berkomentar panjang, tidak fair toh? Pemilihan judul ; Saman, Larung, Bilangan Fu sungguh baik untuk sebuah novel, gaya seorang Ayu yang erotis (rasanya keseksian Ayu Utami tidak hanya terlihat dalam buku-buku yang ditulisnya saja namun juga pada bahasa tubuh Ayu yang tidak dapat disandingkan dengan Dewi Lestari atau pun Djenar Maesa Ayu). Tiga buku Ayu dirangkai Gramedia menjadi satu bungkus dengan sangat rapi, seeksklusif kemasan untuk manuscript-nya SAQ yang terbungkus dalam The Collected Works of Ian Dallas.
Mengapa saya senang dengan judul-judul buku Ayu? Ringkas, simple, dan kaya makna. Itu baik untuk sebuah ide yang ingin ditransformasikan Ayu pada para pembacanya. Saya tidak jelas dan tidak pasti bagaimana Ayu dapat menemukan kekuatan ini? Adakah baca2an dari Mas GM dan diskusi2 Utan Kayu membuatnya terbiasa memilih diksi yang bernas? Keyakinan saya hanya satu, tanpa buku dan dialog, Ayu Utami tak akan mampu melahirkan buku-buku terbaik yang membuatnya bisa sekelas NH Dini. Saya bukan penulis novel dan Mas GM-pun hanyalah seorang tukang tulis di Catatan Pinggir. Membaca karya Ayu Utami hanyalah sekedar membuat catatan-catatan baru buat saya : hanya untuk sekedar melahirkan satu diksi semacam Saman atau Larung, berapa lama Ayu harus mentranformasikan dirinya? Tentu bukan untuk menjadi Batman tetapi bagi sebuah buku yang mau dan harus dibaca banyak orang. Saman adalah kekayaan budaya Aceh yang tampak pada gerakan-gerakan tangan dan kaki dalam sebuah tari. Kekayaan yang nyaris hilang menjadi sebuah karya pertama bagi seorang Ayu Utami. Bagaimana dengan Larung? Ada apa dalam Bilangan Fu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar