Suatu saat, saya membantu suatu proyek dan menjadi bagian dari tim. Seseorang menegur saya, bisakah saya menerjemahkan buku-buku yang ditulis oleh seorang guru dari sebuah gerakan dakwah. Sang guru sudah teramat tua, ia banyak menulis sekarang, pada usia senjanya selain masih terus mengajar. Urusan gerakan dakwah sudah lebih banyak diurus para murid-muridnya. Saya tidak menjawab sebab saya juga sedang belajar kembali menulis naskah-naskah seperti sang guru. Untuk satu naskah saja, saya letih luar biasa. Tak mudah memang menuliskan sesuatu apatah lagi mentransformasikan sebuah ilmu pengetahuan. Beberapa tulisan sang guru diterbitkan menjadi buku-buku yang memiliki karakter dan citarasa sendiri. Coba saja lihat :
Book of Strangers (pernah diterbitkan Penerbit Pustaka Bandung dengan judul Yang Asing dan Terasing)
Book of Hubb
Book of Tawhid
Book of ‘Amal
Time of Bedouin
dan lain sebagainya
Saya menyerah sebab naskah itu ditulis dengan citarasa Sang Guru yang tak mampu saya terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Mengapa? Dalam pikiran dan pandangan saya bahasa Indonesia itu teramat sempit sehingga transliterasi buku2 Sang Guru agak mengkhawatirkan bagi saya. Saya khawatir ada makna yang tak mampu ditangkap oleh bahasa Indonesia. Penerjemahan akankah menyempitkan makna yang ingin disampaikan Sang Guru?
Di dunia maya, saya berkenalan dengan seorang anak muda, mengaku keturunan Pakistan. Ia ingin sekali ke Indonesia karena menurut teman-temannya di Indonesia banyak pemandangan indah. Dia bertanya pada saya, sungguhkah demikian?
Saya jawab begini, “Benar, Indonesia indah seperti Bali setelah bom Bali dan Aceh abis tsunami.”
Dia tambah antusias terlebih setelah saya bilang, dia ganteng sekali walau saya lebih suka Amitabachan karena kepintarannya menari dan menjadi icon bagi industri film India, Bollywood. Seorang India menyambung, apakah karena Amitabachan milyuner saya nge-fans berat padanya? Saya kurang ngerti juga, iyakah Amitabchan milyuner, bukankah Shah Rukh Khan dengan Kuch-kuch Hota Hai-nya? Si Pakistan semakin ingin mencari kerja di Indonesia (saat itu ia sedang berada di Saudi) dengan alasan sepertinya Saudi terlalu pelit untuknya. Namun saya agak curiga, jangan2 karena saya bilang banyak gadis cantik di Indonesia dan mereka juga pintar-pintar. Dia semakin larut tentang cerita saya mengenai Indonesia namun saya tak mampu mengundangnya ke Indonesia sebab saya merasa bosnya agak berat memberikan surat PHK untuknya dan parahnya juga saya kena sakit keras karena harus meladeninya ngobrol malam-malam dan hujan-hujanan. Akhirnya saya bilang begini, sudahlah, kamu bantuin saya nulis cerita tentang perjalanan umrah (ia sudah umrah dua kali). Wah, susah katanya. Saya mensugestinya, itulah satu-satunya cara agar ia bisa keluar dari Saudi, menuliskan kisahnya dalam bahasa Urdu. Dia tetap menolak saran saya. Saya pun terpaksa memaksanya untuk menulis dan dia menyerah. Menjelang Idul Fitri dia menelpon saya dari Saudi. Sepertinya ia ingin pamit mudik ke Karachi. Ia bilang begini,
“Ires, Ied Mubarak ya? Aku akan pulang ke Karachi. Kamu lebaran dimana?”
Saya sedih dia menelpon saya saat di masjid terdengar gema takbir tahlil dan tahmid.
“Hi, dear … lebarannya besok, di Indonesia. Kapankah di Karachi?”
“Hari apa esok, Ires?”
“Jumat!”
“Oooohhh … di Karachi, Sabtu .. dear!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar