Kapankah Munir meninggal? Saya tidak tahu sebab I’m not a God. Hanya yang jelas, kapan dimana atau singkat saja 5W + 1H kematian Munir sudah dibuat sangat rapi di Lauhul Mahfudz (baca : singgasananya pemilik Arsy). Hati-hati, bukan Mahfud MD. Allah, Rabb yang Agung… ya Maulana.
Siapa saya? I’m not Munir’s friend. I just a freelance correspondent for Tabloid Kontras, since upon time. Tabloid zaman dulu berkantor bareng dengan SI yang masa Desember 2004 ditelan gelombang besar. Setahun setelah tsunami, Tuhan yang maha agung itu mempersilahkan saya kembali menginjakkan kaki di Nanggroe Aceh Darussalam. Kurang dari setahun. Saya tidak bertemu Munir disana. Saya hanya melihat bahwa kantor SI dimasa tabloid Kontras Aceh yang ada di dalamnya, sudah tidak ada lagi. Kemanakah orang-orangnya? Bahkan seorang wartawan senior SI/ Kontras yang sempat saya singgahi ketika beliau dinas beberapa tahun sebelumnya ke Jakarta, juga tak tampak.
Munir, seorang aktivis LSM yang ia bangun sendiri dengan nama KONTRAS. Tentu berbeda dengan tabloid KONTRAS. Munir pun tidak membuat saluran TELKOM dengan tabloid Kontras. Sebab? Kontrasnya Munir adalah LSM sedangkan Kontras Tabloid, ya temannya Jacob Oetama (baca: Kompas). Kenapa mereka berteman? Sebab Mr. JO adalah rajanya media massa. Lihat saja Kompas, cari Palmerah, Gramedia. Tanyain ke satpamnya, pada kenal Pak Jacob gak? Kalo enggak, kebangetan soalnya Pak Jacob kan … Bagaimana hubungan Pak Jacob dengan Bang JO? Tidak tau, cuma silahkan kontak Pak JO, tanyain doi bisa nyanyi lagu ini gak ya?
Abang Jacob2x Bangunlah2x
Lonceng tlah berbunyi2x
Nang neng nong2x
Mengapa saya ingin kembali membahas ini? Entahlah, mungkin karena yang terdengar adalah keseriusan dan fakta, jadi saya cukup serius ingin kembali membahasnya dalam kisah ini. Mengapa Munir dibunuh? Munir sangat kritis dan berani, itu sudah pasti. Selanjutnya? Munir sangat serius untuk membuat blueprint terhadap apa yang kita sebut data dan fakta. Munir bukan jurnalis, dia tidak bekerja untuk media massa. Munir bekerja untuk masyarakat dan kemanusiaan. Kehebatan Munir selanjutnya adalah dia benar-benar bekerja sebagai seorang manusia. Sebagai manusia yang punya otak manusia, bukan udang. Udang cuma punya kumis, lobster sungutnya panjangggggg bgttttt.
Sebagai manusia, dia sangat sadar Tuhan memberinya akal dan pikiran. Kebobrokan dan kebusukan dunia masa itu dilihat Munir sebagai sebuah kebohongan (baca : realitas fiktif). Saya menangis untuk kematian Munir? Tidak. Sebab saya bukan istri dan mantan pacarnya Munir. Saya hanya orang yang sedikit tahu siapakah dan apakah yang telah dilakukan Munir selama hidupnya. Selanjutnya saya hanya melihat …. Apa?
Aceh. Itu sebuah tanah yang digarap Munir. Banyak orang hilang dan mati tanpa sebab. Bukan hanya orang pintar, orang yang dianggap bodoh pun mati sia-sia disana. Saya? Masih saja hidup, entah sampai kapan. Lalu …. Munir dibekap. Mengerikan. Sebab? Tidak ada seorang pun yang berhak untuk menghabisi nyawa lainnya tanpa idzin-Nya. Lebih tragisnya, Munir dihabisi dalam pesawat milik negara, dimana ia hidup mencari makan dan berjuang dengan segenap pikir dan rasanya sebagai manusia. Saya menangis untuk menuliskan ini dan saya harus kembali mendengarkan Tombo Ati-nya Mas Emha bersama Kyai Kanjengnya sebab saya tidak punya kekuatan tanpa kembali belajar mendengarkan. Mas Emha melantunkan ini dalam sajaknya :
Kematian bukanlah tragedi
Kecuali bila kita curi dari Tuhan hak untuk menentukannya
Kematian bukan untuk ditangisi
Tetapi apa yang menyebabkan kematian
Itulah yang harus diteliti
nyawa badan, nyawa rohani, nyawa kesadaran
nyawa pikiran, nyawa hak untuk tentram
nyawa kewajiban untuk berbagi kesejahteraan
nyawa amanat untuk merawat keadilan
nyawa3x itu dihembuskan oleh Tuhan
Dielus2 bahkan disayang-sayang
Bahkan nyawa seekor cacing dan coro
… Tuhan Maha Sayang
Tapi kita iseng terhadap sesama
Kita sering tidak serius terhadap nilai-nilai
Bahkan terhadap Tuhan pun, kita bersikap setengah hati
Masyaallah, apa yang nancap di ubun2 kesadaran kita ini?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar