site meter

Jumat, 23 Oktober 2009

Petang di Jakarta

"Lurus saja, Bu."
"Stasiun Gondangdia atau Cikini?"

Saya pulang sore itu dari kantor kakak di bilangan Menteng, Jakarta Pusat. Mengambil ijazah dan berkas-berkas penting. Udah seusia begini masih saja rajin masuk-masukin lamaran kerja. Hunting. Ya, namanya juga usaha. Bukan hunting menjadi politisi, entah kenapa untuk satu itu kurang berselera. Mungkin karena saya tidak punya nyali besar untuk "duduk" di gedung Nusantara sana. Namun, syukur juga pernah nongkrong di gedung semegah dan sebesar itu. Bukan untuk sekedar demo masa huru-hara mahasiswa Aceh tempo dulu. Namun melakukan wawancara dengan salah seorang anggota dewan (baca postingan saya perihal zakat bersama Mutammimul Ula )dan tugas magang ketika zaman kuliah di detikcom Jakarta. Pengalaman.

Berjalan. Menjadi suatu kesenangan. Olahraga dan penghematan di zaman susah. Naik KRL ekonomi AC menjadi "hiburan" tersendiri. Ditemani dentingan gitar dan atraksi pengamen yang hampir selalu hadir di stasiun kereta api.

"Pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu ...
masih seperti dulu tiap sudut menyapaku bersahabat
penuh selaksa makna
terhanyut aku akan nostalgi
saat kita sering luangkan waktu
nikmati bersama suasana Jogja ...

Saya suka lagu itu. Sama seperti saya senang Fariz RM bernyanyi tentang "Barcelona".

"Barcelona, peluklah diriku mesra ...

Dalam sore itu, ini pemandangan yang selalu menusuk hati dan "menganggu" kepala saya. Pemulung, di sisi jalan. Bertelanjang dada. Dalam segala tatapan. Kosong. Namun masih ada suara bersahabat. Untuk ini saya selalu menitikkan air mata. Ya Tuhan, Rabb Pemilik Alam ... masih kau berikan saya sebungkus kain menutupkan tubuh yang juga tak lebih baik dari mereka. Alhamdulillah, Kau sisakan sehelai selendang, menutupi kepala dan dada, agar saya merasa aman. Menjaga badan dari tiupan angin yang kerap membuat saya masuk angin. Hingga menyisakan pe-er bagi kekasih saya, suami tercinta untuk memijit kepala dan punggung saya hingga mengeluarkan sendawa. Akhhhhh ...

"Kemiskinan" masih menjadi pemandangan di Jakarta, ibukota negara Indonesia. Di tengah hiruk pikuk dunia kerja dan industrialisasi. Di antara perdebatan dan riuh rendahnya suara di gedung parlemen dan sekat-sekat redaksi media massa. Entah sampai kapan ...