site meter

Sabtu, 29 Agustus 2009

Universitas Negeri Antah Barantah : Catatan Kritis

Teman saya yang menjadi dosen di daerah sana pernah bilang,”Pendidikan tinggi kita payah. Obsesinya mau jadi universitas riset tapi sistemnya malah dibangun untuk menjadi universitas dagang.” Dia dosen muda. Entah kenapa dia bicara begitu kesalnya. Katanya, dia “dijegal” waktu ikut test CPNS dengan alasan administrasi. Padahal dia cukup pintar, alumnus universitas wahid di negeri ini, dan punya idealisme tinggi untuk memajukan pendidikan di daerah yang masih rendah mutu pendidikannya. “Aku tak mau memberi “jaminan” untuk ikut tes masuk CPNS, katanya.” Ya, mungkin itu salah satu jawaban penyebab kegagalannya, tak ada “jaminan”.

Cerita teman saya di atas adalah salah satu masalah pelik dalam sistem pendidikan kita. Jika sistem pendidikan diibaratkan sebuah komputer maka komponen-komponen yang melingkupinya ada hardware (gedung kuliah, perpustakaan, laboratorium, penerbitan universitas, sarana kegiatan mahasiswa dan penunjang lainnya), software (kurikulum, jadwal perkuliahan, materi pengajaran), dan brainware (dosen, mahasiswa). Sebuah pendidikan tinggi yang berorientasi riset, tidak bisa tidak unsur-unsur ini harus dipenuhi.

Mari kita bicara tentang gedung kuliah, perpustakaan, dan laboratorium. Berapa jumlah mahasiswa ? Dengan jumlah sedemikian berapa daya tampung yang layak bagi sebuah ruang kelas ? Berapa luas perpustakaan yang pantas untuk memenuhi jumlah mahasiwa ? Berapa jumlah bukunya ? Bagaimana kualitas buku-bukunya ? Bagaimana desain ruang perpustakaan yang nyaman untuk membaca ? Bagaimana sarana jaringan komputernya ? Berapa jumlah laboratorium yang dibutuhkan oleh masing-masing jurusan baik eksak maupun non eksak ? Bagaimana dengan keberadaan penerbitan universitas yang menjadi “pabrik” pengolah buku-buku teks perkuliahan dan terbitan riset-riset ilmiah para dosen ? Dan sarana unit-unit kegiatan mahasiswa sebagai tempat ilmu informal yang tak diperoleh di bangku kuliah ?

Peningkatan jumlah mahasiswa tidak dibarengi dengan peningkatan fasilitas di ruang kelas, perpustakaan, laboratorium. Dan yang terjadi ; kelas menjadi demikian sesak oleh mahasiswa yang over capacity, dosen harus cepat-cepat mengajar karena kelas akan dipakai oleh dosen lain, buku-buku perpustakaan menjadi rebutan karena jumlahnya yang minim, laboratorium hanya menjadi tempat mendengarkan ceramah “asisten” karena alat-alatnya yang minim.

Lalu bagaimana dengan kurikulum yang tak pernah konsisten dan terarah ? Mata kuliah yang tak sistematis ? Jadwal kuliah yang tak pernah tepat waktu sehingga mengganggu jumlah minggu efektif dalam satu semester ? Materi perkuliahan yang stagnan ? Mengapa mahasiswa diorientasikan hanya untuk menghapal catatan agar dapat menjawab soal-soal ujian ? Bagaimana proses rekruitmen dosen ? Mengapa tak ada tahapan seleksi yang terbuka ? Bagaimana proses penerimaan mahasiswa ? Layakkah sistem UMPTN dipertahankan keberadaannya ? Bagaimana hasil penelitian ilmiah mahasiswa ? Apakah bermanfaat bagi pengembangan keilmuan dan kebutuhan masyarakat ?

Ambil sebuah masalah. Perpustakaan dan penerbitan universitas menjadi salah satu ciri sebuah universitas riset. Keduanya menyimpan nilai sebuah ilmu. Buku-buku, jurnal ilmiah, hasil-hasil skripsi, tesis, dan disertasi ada di sini. Dan penerbitan menjadi sebuah pabrik bagi terbitan-terbitan kebutuhan universitas. Tapi cobalah hitung, berapa banyak universitas negeri di Indonesia yang memiliki penerbit sendiri ? Atau memiliki perpustakaan yang memadai ? Banyak teman yang mengeluh dari daerah-daerah lain. Mereka begitu sulit menemukan buku bermutu. Saya pikir ini hanya ganjalan pribadi tapi hampir semua teman-teman di daerah manapun merasakan hal yang sama. Walau mereka agak sedikit terperangah,”Masa di Pulau Jawa seperti itu juga ?”

Tidak usah jauh-jauh, coba ini kita kritisi. Jangan berharap muluk dengan obsesi universitas riset kalau prasarana yang dua ini tak segera dibenahi. Karena buku-buku dan terbitan ilmiah menjadi urat nadi sebuah pendidikan tinggi. Menjadi kondisi yang mendukung kreativitas dosen dan mahasiswa dalam menghasilkan karya-karya ilmiah. Hingga pada tataran yang paling ideal, dapat memperluas khazanah keilmuan dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Bukan hal yang mustahil, hal ini mendorong suasana ilmiah yang kondusif.

Saya pernah “berjalan-jalan” ke Universitas Harvard di AS. Hanya dengan modal www.harvard.edu. Universitas bergengsi ini memang nyatanya membuat saya iri. Melihatnya melalui alam virtual telah membuat ruang mimpi dalam pikiran saya. Seandainya universitas di negeri kita …. Punya gedung yang megah, banyak professor, banyak jurnal ilmiah karya para dosennya, perpustakaan yang buku-bukunya bisa dibaca bebas 24 jam, unit-unit mahasiswa yang menunjukkan kompleksitas mahasiswanya….. Ups, cukup sampai disini. Saya tak mau melanjutkannya. Seorang teman membangunkan saya, “Kamu sedang bermimpi. AS negara maju. Sementara kita masih sibuk dengan masalah krisis. “ Saya marah. Bukan karena dibangunkan tapi karena kita selalu merasa kalah. Pantas saja mereka menyebut kita negara terbelakang (negara dunia ketiga). Punya harapan saja sepertinya haram. Semoga bukan apologi dari ketidakinginan. ! Wallahu’alam.

(ditebitkan di Tabloid Mahasiswa dJatinagor Fikom Unpad Edisi VII)

Multikulturalisme Media Massa Lokal Menuju Perdamaian

Think globally act locally. Ungkapan ini dikemukakan Mahatma Gandhi puluhan tahun yang lalu. Sederhana tapi dalam maknanya. Gandhi hidup dalam setting sosial India yang saat itu dijajah oleh Inggris. Penjajahan telah membangkitkan semangat nasionalisme dalam masyarakat yang dijajah. Solidaritas masyarakat dalam menghadapi penjajah saat itu telah menumbuhkan nasionalisme dalam masyarakat India. Nasionalisme adalah kata yang berhubungan erat dengan kata negara dan bangsa yang menjadi sebuah gagasan hegemonik (Nagengast dalam Majalah Basement, Vol I No 1 September 1999, Unpas, Bandung ). Menurut Kellas, nasionalisme merupakan suatu bentuk ideologi dan tingkah laku yang sulit untuk dipisahkan. Nasionalisme sebagai ideologi terbentuk oleh gagasan negara bangsa dan menjadikannya basis untuk bertindak sehingga esensi bangsa tidak pernah berubah.

Sementara etnonasionalisme itu sendiri baru berkembang kemudian. Etno-nasionalisme lebih banyak terjadi disebabkan adanya ketidaksetaraan nyata dan eksploitasi baru yang lestari dalam sebuah bangsa. Proses penindasan dan diskriminasi yang dirasakan, telah menghapuskan imajinasi tentang mimpi hidup bersama dalam sebuah bangsa, dan dengan komunitas yang majemuk. Sesuai dengan Kellas, etnonasionalisme di sini dapat dikatakan sebagai suatu bentuk ideologi akibat keterasingan etnisitas dalam sebuah bangsa.

Semangat yang coba dibangun dalam solidaritas India saat itu memang cukup baik dalam menghadapi penjajahan Inggris. Meminjam pendapat Tilly, selama lima abad, nasionalisme di Eropa yang telah menegaskan upaya untuk mencapai kepentingan kelas berkuasa menunjukkan efektifnya kegiatan homogenisasi. Hal itu menunjukkan bahwa semangat homogenitas yang dibangun sebagai alat kohesi sosial telah membuat cita-cita nasionalisme menjadi kuat. Negara harus mengikuti masyarakat yang homogen karena masyarakat yang seperti itu lebih memiliki tujuan yang jelas. Semangat patriotis pun dapat ditumbuhkan dengan lebih mudah. Pada sisi lain, hal ini meresahkan Gandhi, sang tokoh yang amat disegani masyarakat India dan dunia internasional masa itu. Jika hal ini dibiarkan, ia akan menjadi sesuatu yang kontraproduktif manakala nasionalisme yang terbentuk, mengarah pada semangat etnonasionalisme yang rentan dengan nuansa chauvinistik (kecintaan yang berlebihan pada diri sendiri / kelompok/ golongan). Suatu hal yang tak dapat dipungkiri, dalam kacamata global, India adalah bagian dari negara-negara di dunia. India hidup dalam hubungan negara-negara di pentas global yang saling berhubungan (interconnection) dan saling ketergantungan (interdependency) dalam segala aspek kehidupan ; ekonomi, sosial, budaya, ideologi, historis, dan pertahanan keamanan. Sehingga ide tentang etnonasionalisme hanya akan membuat India kembali masuk dalam keterpurukan kedua setelah lepas dari penjajahan. Bagi Gandhi, solidaritas bangsa India tetap harus dibangun dalam kerangka pikir global yang sarat dengan dinamika multikultural (budaya majemuk) dalam sebuah ungkapan di atas, “berpikir global, bertindak lokal.” Jika tidak, hal ini akan menjadi malapetaka bagi India karena terjebak pada paradigma sempit memandang kehidupannya di pentas dunia..

***

Paradigma multikultural itu pun hendaknya mulai dibangun dalam dunia jurnalisme Indonesia khususnya jurnalisme lokal/ daerah. Media massa sebagai output jurnalisme telah menjadi kekuatan dominan dalam masyarakat informasi saat ini. Reformasi 1998 yang berimplikasi pada kemudahan setiap orang/ kelompok untuk mendirikan industri media massa _ asalkan memiliki modal finansial dan sumber daya manusia _ telah memberi “angin” kebebasan berekspresi dan berkompetisi yang lebih ketat bagi media-media massa. Orientasi pemberitaan pun mengalami pergeseran. Masa orde baru yang otoriter dan represif terhadap media massa, tak ditemui lagi pada masa reformasi, yang memungkinkan kritik dan pembongkaran realitas semu selama ini berseliweran dengan bebas. Gejolak-gejolak sosial yang semakin eskalatif sejak reformasi bergulir pun menjadi tantangan baru bagi media massa untuk segera me-reposisi dirinya. Konflik-konflik yang terjadi di Aceh, Maluku, Irian Jaya, Sampit dan beberapa daerah lainnya menjadi pertanyaan besar bagi media massa khususnya media massa lokal : bagaimana ia melakukan pemberitaannya ? Khusus terhadap kasus Aceh dengan pilihan kemerdekaan yang menguat sekarang ini, bagaimanakah media massa lokal Aceh menyikapi hal ini ?

Media massa sebagai wacana tidak bisa dilepaskan dari konteks bahasa, pengetahuan dan kekuasaan yang melingkupinya. Wacana dalam konteks ini dimaksudkan sebagai semua bidang pernyataan yang kadangkala sebagai sebuah individualisasi kelompok pernyataan atau praktek regulatif yang dilihat dari sejumlah pernyataan (Foucoult, 1972). Dalam konteks inilah media massa dilihat sebagai sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari permasalahan ideologis yang mempengaruhi gaya, ungkapan, dan kosa kata berbahasa. Media massa sebagai produsen bahasa dan simbol-simbol disebut sebagai produsen pengetahuan berupa kebenaran atau realitas.

Dalam permasalahan konflik di Aceh, media massa lokal menjadi cerminan realitas yang terlihat lebih “jujur” dibandingkan dengan media-media massa yang berskala nasional. Pada sebuah perdebatan mengenai rasisme oleh media massa, seorang wartawan dari media mingguan Tottenham Herald, London, mengatakan bahwa realitas yang disajikan oleh jurnalis di media massa adalah refleksi sesungguhnya yang terjadi dalam masyarakat. Jika jurnalis hidup dan berkembang dalam masyarakat yang rasis, maka rasis-lah yang dihasilkan dalam pemberitaannya (John Tackara, 1979 : 90). Jika media massa lokal memberitakan keberadaan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) atau Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Aceh dengan sangat skeptis, maka jurnalis akan membela dirinya bahwa itulah sesungguhnya kondisi yang terjadi di lapangan sosialnya.

Bahasa atau simbol-simbol dalam berita media massa terhadap pencitraan GAM/ TNI. menjadi sebuah pengetahuan yang dianggap benar atas realitas Aceh saat ini. GAM yang separatis dan sering melakukan gerilya penyerangan menjadi simbol citra masyarakat Aceh yang penuh kekerasan dan tak mau diajak kompromi. Pemberitaan tentang penyerangan GAM terhadap markas-markas TNI, pembakaran rumah-rumah penduduk sipil, teror terhadap industri-industri vital di Aceh seperti Exxonmobil, menjadi sebuah kebenaran pengetahuan bagi pemerintah untuk segera melakukan darurat militer terbatas (apapun namanya) di Aceh. Pemberitaan media massa terhadap sweeping yang dilakukan oleh ABRI terhadap masyarakat sipil, penyerangan mendadak pada pemukiman penduduk, atau teror-teror dan penculikan masyarakat yang sangat represif pun menjadi sebuah kebenaran pengetahuan bagi masyarakat Aceh untuk terus menunjukkan kebencian dan kecurigaan kepada ABRI. Kedua kelompok itu berpolemik (pertarungan pendapat) pada “ruang-ruang” media dengan “gaya” saling menuding dan mencari kambing hitam. Media massa pun menjadi arena pertarungan opini publik yang tak kunjung usai. Bahkan terkesan media menjadi salah satu penyebab permasalahan yang berlarut-larut.

***

Wacana etnonasionalisme yang dibangun GAM pun menjadi pemberitaan yang tak mungkin dihindari oleh media massa lokal. Seperti makan buah simalakama, media massa tak mungkin menjadi kekuatan yang menentang arus dominan. Sehingga pada satu sisi, terkesan, media massa lokal pun melakukan usaha “mencari selamat”. Wacana kemerdekaan bangsa Aceh yang dihembuskan oleh GAM akhirnya menjadi wacana dominan bahwa itulah kebenaran terhadap realitas sosial Aceh masa kini. Bagi kekuatan yang melawan arus ini, maka dia bukanlah bagian dari bangsa Aceh (pengingkaran terhadap semangat etnonasionalisme yang coba dibangun). Hingga akhirnya, wacana chauvinistik yang kontraproduktif dalam kacamata Gandhi tadi, terpaksa hadir dalam pemberitaan media-media massa lokal. Masyarakat yang menjadi tidak kritis akibat “represifitas” psikologis itu, akhirnya memaknai bahwa inilah kebenaran yang harus diperjuangkan dalam tataran praksis.

Pilihan-pilihan penyelesaian masalah terhadap konflik Aceh sesungguhnya bukanlah permasalahan utama. Apalagi jika pilihan-pilihan itu tak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan filosofis bagaimana pendekatan komprehensif yang terbaik dilakukan terhadap Aceh. Hal ini pun hendaknya disadari oleh media-media massa lokal yang seharusnya dapat menjadi “rekonsiliator” konflik. Pemberitaan yang seimbang dan multidimesi (multikultural) menjadi salah satu peran yang dapat dilakukan media massa lokal dalam menyikapi konflik yang terus menunjukkan grafik eskalatif. Hal ini sangat perlu bagi tiap kelompok masyarakat dalam melihat permasalahan konflik Aceh dengan cara pandang (wawasan) yang lebih luas.

Wacana multikultural yang dihadirkan oleh media massa menjadi hal penting bagi masyarakat Aceh ataupun di luar Aceh dalam memandang persoalan saat ini. Wacana multikultural dapat dilihat dalam penggunaan bahasa yang disampaikan oleh media massa, pemilihan narasumber, penulisan feature-feature yang menekankan aspek kontemplatif dan komparatif. Wacana itu disampaikan dalam tataran dimensi global dan aspek kekinian. Pada tataran inilah, media massa tak hanya terjebak menjadi corong bagi opsi-opsi yang berkembang saat ini. Tetapi pada akhirnya media massa mampu menjadi agen kreatif, yang “keluar” dari kejumudan opsi-opsi penyelesaian masalah Aceh.

Rencana penerapan darurat militer terbatas di Aceh saat ini pun harus dapat disikapi media massa secara komprehensif dan filosofis. Hendaknya media massa tak terjebak pada berita-berita tentang bagaimana kesiapan militer menghadapi “kekuatan” GAM saat ini (jumlah personil militer yang diturunkan, persenjataan yang siap digunakan) atau pada resistensi GAM menghadapi hal tersebut. Media massa dapat menghadirkan realitas lain, di sudut dunia lain, atau dengan perspektif yang lain, memandang bagaimana penyelesaian konflik suatu daerah dengan “peperangan” akan melahirkan masalah-masalah baru. Apalagi jika ketidakmatangan rencana dan aturan main di lapangan tidak disepakati dengan baik oleh pihak-pihak yang bertikai (jika memang solusi “perang” menjadi final dan tak dapat ditawar-tawar lagi). Kebuntuan media massa dengan kacamata kudanya dalam melihat persoalan ini selalu dari perspektif GAM, TNI, dan pemerintah, akan terus memapankan psikologis “perang” pada masyarakat di dalam dan luar Aceh.

Paradigma multikultur yang coba dibangun dalam media massa, cepat atau lambat akan kembali mengukuhkan peran media massa sebagai kekuatan keempat negara (the fourth estate). Apalagi idealisme media massa lokal masih lebih tinggi dibandingkan media-media massa besar yang semakin sarat kepentingan bisnisnya. Sehingga wacana multikultur yang akan membangun semangat jurnalisme perdamaian _ berorientasi damai, mengungkap ketidakbenaran, fokus pada penderitaan rakyat/ orang banyak, berakhir pada : resolusi, rekonstruksi, dan rekonsiliasi _ pada akhirnya mampu menempatkan media massa sebagai pihak yang berperan meredam perbedaan konflik dan kesenjangan di antara pihak-pihak bertikai. Malah mungkin dalam jurnalisme damainya”, media massa mampu menghantarkan pihak-pihak yang bertikai menuju meja perundingan. Memang tidak mudah, tapi inilah taruhan bagi kemanusiaan. Lagipula, media massa pun tak ingin jika dijadikan kambing hitam bagi “pembesaran” konflik seperti yang terjadi dalam persoalan di Yugoslavia. Selanjutnya, siapkah media massa lokal kita ?

(Pembantaian Teungku Bantaqiyah dan Santri-santrinya)

RESENSI BUKU

Judul : Tragedi Anak Bangsa
(Pembantaian Teungku Bantaqiyah dan Santri-santrinya)
Penulis : Amran Zamzani
bersama tim penulis : Teuku Kemal Fasya dkk
Penerbit : PT Bina Rena Pariwara,
Cetakan I : Feb 2001
Hal : 248 hal + xxvi
Pengantar : Nurcholish Madjid dan Emil Salim

Penguburan dilakukan tanpa upacara dan doa-doa
Tidak ada penghormatan
Tak ada taburan bunga
Yang ada hanyalah kebengisan memancar dari wajah yang penuh loreng
Ada kemarahan besar di sorot mata mereka
Entah karena apa. Entah untuk apa !

Kata-kata yang tertulis pada buku ini (hal 57) terasa begitu menyayat dan mengiris-iris hati. Rekaman media lokal/ nasional dan laporan beberapa tim pencari fakta tindak kekerasan telah menambah daftar panjang tragedi yang tak pernah tersingkap di negeri ini khususnya di bumi Aceh. Beutong Ateuh adalah sebuah kemukiman (kumpulan beberapa desa) yang letaknya terpencil di lembah Gunung Singgah Mata (Aceh Barat) yang berada dalam gugusan Pegunungan Bukit Barisan. Medannya cukup sulit dengan batu bercadas dan tanah liat yang licin. Udara dan mata air pegunungan yang masih bersih menjadi ciri khas daerah pegunungan seperti ini. Masyarakat petani yang sederhana dengan kehidupan religius yang masih kental menjadi sebuah keseimbangan komunitas. Tapi kedamaian itu tiba-tiba menjadi langit kelabu pada 23 Juli 1999. Tragedi kemanusiaan yang menggenangkan darah-darah tak berdosa dan air mata ketakutan telah terukir dalam catatan sejarah Beutong Ateuh yang anonim. Catatan yang terukir dalam hati-hati para janda dan anak-anak kecil yang kehilangan bapaknya telah menyisakan ruang-ruang trauma dan dendam yang tak berbatas.
Rekaman tragis itu tersibak sebagiannya dalam buku ini, “Tragedi Anak Bangsa, Pembantaian Teungku Bantaqiyah dan Santri-santrinya.” Teungku Bantaqiyah, pemimpin dayah (pasantren) di Beutong Ateuh, bersama santri-santrinya telah menjadi salah satu korban dari ribuan korban kemanusiaan di Aceh yang tak jelas rimbanya hingga saat ini. Dengan dalih pembersihan tokoh-tokoh pemberontakan yang akan mengancam keutuhan bangsa dan negara, darah Teungku Bantaqiyah pun menjadi halal. Berawal dari sebuah surat telegram rahasia dari Danrem 011/LW Kolonel Inf. Syafnil Armen yang berisi perintah : cari, temukan, dekati dan tangkap tokoh GPK dan simpatisannya hidup atau mati, dimulailah skenario pembantaian itu.

Darah kemanusiaan yang telah mengiuris-iris hati ini tak harus melupakan kekritisan rasio dan kepekaan nurani untuk melihat pola operasi militer ini. Pembunuhan dengan dalih operasi militer terhadap Bantaqiyah terlihat sangat janggal. Tuduhan terhadap Bantaqiyah yang telah menjadikan pasantrennya sebagai markas militer GAM sehingga perlu ditangani dengan operasi yang sangat canggih menjadi salah satu contoh rapuhnya sistem intelijen yang dimiliki oleh TNI. Pasantren Bantaqiyah ini luasnya hanya kurang seperempat hektar, dinding papannya pun sudah lapuk, lapangan sekitarnya itu pun tidak ditumbuhi pohon-pohon besar yang memungkinkan adanya ruang rahasia bagi persenjataan. Lokasi galian dalam meunasah yang dicurigai sebagai tempat penanaman senjata pun nyatanya nihil. Kompleks ini hanya sebuah pasantren tradisional yang sangat sederhana. Lalu mengapa pola pembantaian yang cukup canggih dirancang sedemikian rupa ?

Penghilangan identitas korban, “tertutupnya” informasi yang baru diketahui media setelah tiga hari kejadian, surat “akal-akalan” mengenai pernyataan penduduk terhadap minornya kredibilitas Bantaqiyah menjadi bukti beberapa manipulasi yang dilakukan oleh TNI dalam menutup realitas yang sebenarnya. TNI dalam hal ini memiliki kekuatan simbol yang lebih besar dari seorang Bantaqiyah yang hanya menjadi tokoh lokal yang telah tercoreng namanya dengan tuduhan-tuduhan makar dan subversif terhadap pemerintah. Kekuatan simbol dan akses informasi TNI/ pemerintah yang lebih besar menjadikannya mampu mendefinisikan realitasnya sendiri dalam ruang-ruang publik di media massa.

Amran Zamzani, bersama tim penulis lainnya, Teuku Kemal Fasya dkk adalah putra-putra Aceh yang coba merekam tragedi sadis dan mengenaskan ini. Ditulis dengan gaya bertutur, layaknya sebuah novel, buku ini mengajak anda bergulat dengan akal dan rasa. Sebuah cerita nyata yang bukan sebuah mimpi dan ketakutan. Peristiwa ini terjadi sungguh di hadapan kita dengan para korban saudara-saudara atau kerabat terdekat kita. Sumber-sumber yang diperoleh dari media massa lokal dan nasional serta laporan-laporan tim pencari fakta menjadi dialektika ruang publik ketika dimunculkan pada sebuah media. Latar belakang para penulis yang merupakan aktivis masalah-masalah kemanusiaan menjadikan buku ini terasa lebih menyentuh sisi-sisi humanis kita. Ritme buku ini menggugat ketidakadilan yang dilakukan oleh negara terhadap rakyat tak berdaya. Buku ini menyentuh hati-hati kita yang mulai membatu melihat kekerasan yang telah menjadi kebenaran dan kebiasaan. Tetapi ada pekerjaan yang tersisa dari beberapa bagian buku ini, rekayasa kekerasan militer yang terjadi selama ini sudah saatnya terungkap dan tersibak. Kekerasan militer yang menjadi salah satu bagian dari ranah kehidupan yang lebih besar, kekuasaan politik di negara yang bernama Indonesia.

Buku ini mengajak agar kita dapat melihat dengan perspektif yang lebih luas terhadap sebuah tragedi yang terjadi di hadapan kita. Persoalan Bantaqiyah harus dilihat dalam konteks ruang dan waktu yang lebih proporsional. Pembantaian terhadap Bantaqiyah bukanlah sebuah persoalan pemberontakan yang harus segera dihabiskan. Apalagi dengan pola-pola militerisme yang menyisakan banyak persoalan, sebuah trauma dan dendam antara generasi. Gerakan Jubah Putih _yang dicurigai melakukan aksi-aksi penjualan ganja dan salah satu basis GAM_ Bantaqiyah harus dilihat pada sisi, mengapa hal tersebut bisa terjadi ?

Pembangunan kawasan industri modern Arun (1982) dan Mobil Oil (1984) di Lhokseumawe di tengah-tengah kemiskinan daerah-daerah Aceh yang lain telah memunculkan persoalan baru. Laju pembangunan secara fisik materil tidak diimbangi oleh kemampuan daya serap masyarakat lokal. Masyarakat asli semakin terpinggirkan dan pemerintah orde baru masa itu tak pernah memperhitungkan ekses sosial seperti ini. Eksploitasi sumber daya alam bagi keuntungan pusat tak memberikan kemakmuran bagi masyarakat asli.

Ketimpangan sosial telah memunculkan “kecemburuan sosial” ditambah lagi ekses kehidupan modern daerah industri yang mulai merasuki tatanan sosial setempat. Cultural lag dan cultural shock yang terjadi pun akhirnya tidak menemukan saluran dialogis. Kosongnya semangat demokrasi masa orde baru telah menutup ruang-ruang dialog antara masyarakat dan penguasa. Dalam setting sosial seperti itulah Bantaqiyah bersama Kelompok Jubah Putih muncul sebagai sebuah simbol protes dan perlawanan terhadap ketimpangan dan ekses modernisasi industri. Nilai-nilai modern berhadapan ekstrim dengan nilai-nilai tradisional Aceh yang sangat kuat. Semangat kekeluargaan dan agamis masyarakat Aceh berhadapan dengan gaya kehidupan modern yang individualistis dan hedonis. Pertarungan dua kontinum ini tidak menemukan ruang publik yang komunikatif sehingga berjalan dalam logikanya masing-masing.

Kekuatan dominan dipegang oleh pihak-pihak yang memiliki kekuatan simbol yang lebih kuat dan besar. Hingga jadilah kelompok-kelompok sosial seperti Jubah Putihnya Bantaqiyah yang tidak memiliki kekuatan simbol yang berarti menjadi terus terpinggirkan. Dan ketika gerakan ini hadir mengancam eksistensi kelompok-kelompok dominan (pemerintah, kelas-kelas borjuis) maka ia dianggap sebagai pengacau keamanan (baca : pemberontak). Jadilah sebuah “pembersihan” dengan pola militerisme _gaya kekuasaannya orde baru_ terhadap kelompok-kelompok terpinggirkan (baca sekali lagi : pemberontak) seperti Bantaqiyah.

Buku ini layak dibaca oleh siapapun manusia yang tak ingin kepekaan kemanusiaannya terkikis oleh kekerasan-kekerasan yang semakin hari terjadi dengan “biasa” di negeri ini. Kekerasan dalam arti fisik ataupun kekerasan-kekerasan simbolik yang terjadi sangat halus bahkan tak disadari oleh kita. Karena siapapun anda yang memiliki kekuatan ; senjata, pengetahuan, modal, dan akses informasi, akan sangat mungkin melakukan berbagai bentuk kekerasan. Berhati-hatilah !

“Yang ideal itu kalau zakat memakai sistem baku zakat”

Mutammimul ‘Ula, S. H :
“Yang ideal itu kalau zakat memakai sistem baku zakat”

Krisis ekonomi yang terjadi sejak 1997 lalu telah menambah daftar jumlah orang-orang miskin di Indonesia. Banyak anak yang tak mampu lagi melanjutkan sekolah, pengangguran bertambah, kebutuhan bahan pokok tak lagi terjangkau oleh masyarakat ekonomi lemah. Berbagai konsep ekonomi telah ditawarkan untuk mencari penyelesaian masalah-masalah ini. Ratusan ekonom berlatar pendidikan Amerika dan Eropa mencul bak jamur di musim hujan. Tak ketinggalan pula, ekonom-ekonom berbasis pemahaman Islam lahir ke permukaan. Islam sebagai way of life dirasakan masih dipahami sangat rendah dan sempit oleh umatnya. Padahal konsep-konsep kehidupan dunia yang diatur Islam sangat relevan dengan perkembangan zaman. Salah satunya adalah masalah zakat. Zakat dalam Islam ternyata bukan menjadi ibadah ritual (hablumminallah) saja tapi juga berimplikasi pada kehidupan ekonomi dan sosial (hablumminannas). Kesadaran inilah yang telah melahirkan Undang-undang (UU) No 38/99 tentang zakat yang akan efektif mulai 2001.
UU yang dibuat oleh pemerintah bersama-sama DPR ini disahkan pada masa pemerintahan Habibie (1999). Walau banyak pro dan kontra, UU ini diakui oleh banyak pihak menjadi bukti bahwa aspirasi umat Islam untuk menawarkan solusi-solusi kehidupan bernegara jangan dipandang sebelah mata. Perdebatan pajak dan zakat pun ternyata bisa saling melengkapi dengan lahirnya UU No 17/2000 tentang pajak
Hal ini pun diakui oleh Mutammimul ‘Ula, anggota DPR RI dari Fraksi Reformasi. Alumnus Fakultas Hukum Undip yang juga anggota Komisi II ini meyakini bahwa zakat memiliki potensi besar bagi pemberdayaan ekonomi masyarakat muslim khususnya. Mas Tammim, begitu panggilannya, saat ini masih menjabat Ketua Departemen lembaga-lembaga Negara DPP Partai Keadilan. Pembicaraan lugas dan panjang lebar di rumahnya, komplek DPR RI Kalibata Jakarta Timur dihantarkan khusus oleh reporter MUZAKKI, Resmiarni buat Anda.


T : Apakah dasar pemikiran dikeluarkannya UU Zakat ?
J : Dasar pemikiran dikeluarkannya UU Zakat itu bisa dilihat dari konsideratnya. Ini maksudnya, zakat merupakan bagian dari ajaran agama sedangkan kemerdekaan beragama itu dijamin oleh konstitusi. Lalu dari segi potensi. Zakat ini kan potensial sekali tetapi kurang diaktualisasi karena tidak ada pengorganisasian yang baik. Yang lain adalah pertimbangan-pertimbangan yuridis seperti ketetapan MPR No 10/ 98 tentang pokok-pokok reformasi pembangunan dalam rangka penyelamatan dan normalisasi kehidupan nasional sebagai haluan negara..

T : Kekuatan yang paling berpengaruh besar bagi lahirnya UU ini ?
J : Pemerintah dan dari semua fraksi pada masa pemerintahan Habibie. Aspirasi umat Islamlah yang masuk melalui jalur pemerintah ataupun fraksi PPP atau Golkar pada masa itu.

T : Apakah pada masa sebelum Habibie, masalah zakat ini tidak pernah diseriusi ?
J : Saya belum pernah menelitinya. Tetapi isu zakat itu sudah lama. Contohnya BAZIS DKI, itu sudah puluhan tahun. Lalu di majalah Pasantren sudah menjadi wacana sejak 1986. Jadi bagaimana praktek-praktek zakat yang hidup dalam masyarakat itu sebagai living law dapat menjadi hukum yang hidup dan berangsur-angsur diintegrasikan dalam sistem hukum nasional sehingga bisa diaktualisasikan potensinya dan lebih tertib.
T : Perubahan mendasar apakah yang terjadi dengan keluarnya UU Zakat ?
J : Secara substansi tidak ada perubahan mendasar karena negara ini dalam konteks hukum Islam atau fiqh hanya mengatur administrasi. Contohnya masalah pernikahan dan haji. Secara substansi negara tidak bisa campur tangan. Misalnya negara tidak bisa mengubah bahwa mustahik itu tidak delapan tetapi satu, nisab perdagangan diganti 0,5 %, rukun nikah diganti tidak ada mempelainya. UU ini menjadi sangat signifikan karena sekarang pemerintah atau negara mulai terlibat dalam pengelolaannya. Menyangkut substansi syariahnya pemerintah tak melakukan apa-apa.

T : Lalu bagaimana dengan pengelolaannya ?
J : Pengelolaannya diserahkan kepada BAZIS yang dibentuk oleh pemerintah. Dalam pasal 6 disebutkan pembentukan badan amil zakat secara nasional oleh presiden atas usul menteri, propinsi oleh gubernur atas usul kanwil depag, kabupaten oleh bupati atas usul depag kabupaten, kecamatan oleh camat atas usul KUA kecamatan. Badan amil zakat di semua tingkatan memiliki hubungan kerja yang bersifat koordinatif, konsultatif, dan informatif. Jadi lembaga amil zakat juga bisa dari masyarakat. Seperti dalam UU Zakat pasal 7 dikatakan lembaga amil zakat dikukuhkan, dibina dan dilindungi oleh pemerintah. Sementara pada pasal 8 dikatakan badan amil zakat mempunyai tugas mengumpulkan, mendistribusikan, dan mendayagunakan zakat sesuai dengan ketentuan agama. Tapi kelihatannya dengan UU ini lembaga yang dibentuk oleh pemerintah itu akan semakin dominan.

T : Posisi Lembaga non BAZIS yang saat ini juga menjadi kekuatan yang tak bisa dinafikan keberadaannya ?
J : Lembaga ‘amil zakat yang dibentuk pemerintah itu harus independen. Pengurusnya harus orang-orang yang dipercaya oleh masyarakat. Pekerjaannya juga harus transparan. Pemerintah hanya sebagai pengawas. Dan pemerintah seharusnya tidak intervensi dalam memilih orang-orangnya. Pengelolaan zakat itu tak selalu punya pemerintah, swasta juga bisa. Tapi yang penting bahwa pengelola zakat itu bertanggung jawab. Hingga masyarakat dan pemerintah dapat berperan serta dalam pengawasan badan amil zakat. Pemerintah harus melakukan pengawasan supaya tidak ada penyalahgunaan.

T : Adakah kelemahan-kelemahan dalam UU ini ?
J : Secara umum ya ada dan itu memerlukan peraturan lebih lanjut. Tapi tidak ada kelemahan yang mendasar. Secara umum bagus tinggal bagaimana mengoperasionalisasikan

T : Pengawasan yang bagaimanakah yang dapat dilakukan oleh masyarakat ?
J : Bentuk-bentuk transparansi itu kan banyak misalnya laporan tahunan yang dipublikasikan mengenai jumlah uang yang masuk dan penggunaannya atau pengauditan oleh akuntan publik. Kalau pemerintah melalui DPR.

T : Lalu setelah itu ?
J : Ya, namanya pembinaan kalau bagus, didorong untuk berkembang. Kalau ada kelemahan-kelemahannya segera diluruskan. Sesuai dengan esensi zakat sebagai amanah. Badan amil zakat itu kan hanya bekerja untuk mengumpulkan dan mendistribusikan. Dia sebagai mustahik juga.


T : Bagaimana dengan kesadaran kaum muslimin yang masih rendah akan penting dan wajibnya ibadah zakat ini ?
J : Harus dilakukan sosialisasi. Juga untuk ibadah-ibadah lain. Umat ini mau menegakkan syariat Islam tapi problemnya umatnya nggak paham. Maka lakukanlah gerakan sosialisasi pemahaman Islam. Ini kewajiban semua pihak terutama para da’i dan ormas-ormas Islam.

T : Jadi UU ini akan efektif jika masyarakat sudah paham akan pentingnya ibadah zakat ?
J : Ya , UU apa saja dibuat kalau masyarakat tidak paham, tidak akan efektif. UU dibuat lalu kewajiban pemerintah atau negara untuk melakukan sosialisasi. Tapi dengan dilaksanakannya itu pelan-pelan akan tersosialisasi. Di Indonesia, soal sosialisasi UU memang menjadi problem besar. Negaranya besar, penduduknya 202 juta, sementara pemahaman pemerintah untuk menyosialisasikan UU itu lemah sekali.

T : Bagaimana proses sebuah UU lahir ?
J : UU itu dibikin atas aspirasi sebagian masyarakat yang memiliki kesadaran. Aplikasinya melibatkan publik yang memerlukan sosialisasi. Dimana-mana di dunia ini memang kesadaran terhadap persoalan-persoalan penting itu milik orang-orang tertentu, ya milik elit. Orang-orang kecil itu tidak sampai dan memang tidak terlalu perlu memiliki kesadaran terlalu detail. Itu tugasnya lembaga-lembaga legislatif. Sosialisasi pun tak perlu terlalu detail yang penting you sudah zakat atau belum ? Belum. Keluarkan zakat maka saya akan tunjukkan lembaganya.

T : Bagaimana penghitungan zakat dan pajak ?
J : Kalau zakat itu self assesment, menghitung sendiri karena memang posisi amil zakat dan negara itu masih lemah. Tapi kalau pajak dengan self assesment, ya bisa diselundupkan. Yang tidak termasuk objek pajak adalah bantuan atau sumbangan termasuk zakat yang diterima badan amil zakat yang disahkan pemerintah atau masyarakat yang berhak. Jadi zakat yang diterima mustahik itu tidak di PPn kan atau bebas pajak

T : Bagaimana soal penghitungannya ?
J : Kalau soal hitungannya lain lagi. Zakat yang sudah dibayarkan kepada amil zakat dikurangkan dari laba pendapatan sisa kena pajak wajib pajak. Prosentase pajak diambil setelah dikurangi zakat. Tidak zakat pengganti pajak. Yang ideal itu kan zakat pengganti pajak. Misalnya saya tiap bulan mengeluarkan 3 juta untuk zakat, seharusnya saya nggak bayar pajak lagi. Sekarang ini saya bayar double. Bisa 5 jutaan saya keluarkan uang untuk zakat dan pajak. Yang ideal itu kalau pajak memakai sistem baku zakat. Pertama zakat itu adalah ibadah. Yang kedua tentang apa-apa yang dizakati itu tidak pernah berubah. Emas, perak, hasil perdagangan dan lainnya sejak zaman Nabi sampai hari kiamat tidak pernah berubah. Hanya perluasan saja. Misalnya pertambangan, kalau dulu tidak ditemukan sulfur sekarang ada. Jadi kalau negara menggunakan sistem zakat ini sebagai dasar pajak, tidak perlu tiap tahun melakukan revisi pajak.

T : Maksudnya ?
J : Dari jenisnya aja, berubah-ubah. Ada PPN, PPh, Pajak Bumi dan Bangunan, retribusi dan lainnya . Kemudian prosentasenya tidak pernah pasti. Kalau zakat kan selalu pasti 2,5 %. Dalam hikmah zakat itu, 2,5 % itu ternyata penyusutan minimum. Jadi satu tahun itu barang itu penyusutan minimumnya 2,5 %. Kalau barang itu tidak digerakkan ia akan berkurang 2,5 %. Maka barang itu harus digerakkan, dizakatkan. Sedangkan pajak itu berdasarkan apa ? Kenapa 15 % ? Pajak itu sangat relatif dan subjektif. Ini mengenai apa saja yang dipajaki, persentasenya berubah-ubah, mustahiknya juga berubah-ubah. Pajak diambil oleh negara kemudian haknya kepada siapa ? Memang untuk pembiayaan penyelenggaraan negara tapi untuk siapa ? Tapi kalau zakat yang delapan asnaf itu tidak pernah berubah. Pada zakat, mengenai penarikan oleh pemerintah atau siapapun, tak begitu penting. Yang penting masuk negara lalu akan dikembalikan kepada masyarakat untuk biaya pengelolaan negara dan biaya kesejahteraan masyarakat.

T : Inikah bukti bahwa zakat bukan hanya sekedar ritual kepada Allah saja ?
J : Ya. Jika zakat dijadikan dasar hukum pajak maka pemerintah akan berhemat besar karena tidak tiap tahun tidak perlu melakukan revisi. Tidak ada lagi perdebatan panjang tentang prosentase zakat. Anda mau protes kepada siapa ? Protes kepada Nabi ? Jika implementasi zakat ini dapat menjadi pilot project maka suatu ketika bagi yang sudah mengeluarkan zakat maka ia akan dibebaskan dari pajak. Tapi untuk saat ini hampir tidak mungkin karena pajak masih dijadikan sumber utama pembiayaan negara. Padahal negara yang baik itu adalah negara yang paling sedikit memungut pajaknya. Dan sumber pembiayaan negaranya diandalkan dari sektor perdagangan internasional dan sumber daya alam. Di sinilah potensi zakat sebagai balancing. Pajak menjadi selalu bermasalah karena selalu ada korupsinya (Resmiarni)

Ketika “Katanya” Telah Menjadi Tuhan

Suatu saat ketika terjadi “peperangan” antar kelompok mahasiswa, perang isu pun terjadi dengan hebat. Seorang mahasiswi mengaku,” Katanya sih perkelahian itu dimulai dari pelecehan ke seorang cewek kampus X.” Esoknya salah seorang teman pun mengatakan, “Katanya, anak-anak kampus Y, udah pada siap dengan bambu runcing, pokoknya serem deh.” Yang lain pun menyelutuk, “Katanya, kampus X udah siap untuk men-sweeping fakultas-fakultas.” Seorang teman dengan kesalnya bertanya, “Kata siapa ?” Tak ada jawaban. Tiba-tiba, “Hm … kata bapak kos gue, deng”

Cerita itu benar terjadi, saya mendengarnya sendiri. Tak ada istimewa dengan kata-kata yang selalu muncul dari mulut orang-orang ketika menginformasikan sesuatu dari “katanya”. Kata-kata itu menjadi biasa bahkan saking bisanya kita tak pernah sadar akan makna dan dampaknya.

Jika dilihat dari struktur kata yang membentuknya, “katanya” berasal dari kata : kata dan imbuhan -nya. Kata dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti unsur bahasa yang diucapkan atau dituliskan yang merupakan pernyataan kesatuan perasaan dan pikiran yang dapat dipergunakan dalam berbahasa. Sedangkan -nya berarti kata ganti dia (orang ketiga tunggal) ataupun kata ganti milik. Berarti di sini, pertama, “katanya” dapat berarti pernyataan kesatuan perasaan dan pikiran milik “dia”, atau sebut saja pernyataan lisan atau tulisan yang memang keluar dari pikiran “dia” sendiri. Sedangkan yang kedua dapat bermakna “dia” hanya menjadi penyambung informasi yang diterimanya dari orang lain.

Pemaknaan ini sering menjadi campur aduk sehingga sering kita misunderstanding atau mis-persepsi terhadap informasi yang saat ini berselieweran dengan bebas di sekitar kita. Hingga tak jarang, kita selalu mengalami mis-komunikasi atau kegagalan komunikasi dengan orang lain. Hal ini bukan hanya mengganggu komunikasi antar persona atau kelompok kita saja tapi bisa menjadi penyebab dan pemicu konflik antar masyarakat. Makanya jangan heran, jika tiba-tiba sekelompok massa diberitakan “menyerbu” seseorang yang “katanya” telah menyudutkan idolanya ataupun sebuah konflik sosial semakin memanas ketika, “Katanya masyarakat kampung sebelah sudah siap menyerang kembali kampung kita.”

“Siapa yang menguasai informasi, ia akan menguasai dunia”, demikian ungkap Alvin Toffler. Era informasi saat ini, memungkinkan setiap orang dapat menjadi sumber informasi. Rasanya akan sangat ketinggalan, ketika kita terlewat memperoleh informasi dan menjadi suatu kebanggaan ketika kita mampu mengatakan, “Begini katanya …”

***

Kita tak pernah bertanya, siapakah “katanya” atau mengapa “katanya”. Ketika apa dan bagaimana “katanya” sampai ke telinga kita, kita akan kembali katakan “katanya” pada orang lain, seakan-akan itu kata kita. Hingga akhirnya setiap orang sudah cukup percaya dengan apa dan bagaimana “katanya” lalu menjadikannya Tuhan.

Tuhan dalam bahasa Arab disebut ilah bisa berarti benda abstrak (nafsu atau keinginan pribadi) dan nyata (Fir’aun, raja, pohon besar). Berdasarkan logika Al Quran, Tuhan berarti sesuatu yang dianggap penting sedemikian rupa oleh manusia sehingga merelakan dirinya dikuasai (didominasi) oleh sesuatu itu (Kuliah Tauhid, Imaduddin Abdulrahim, 1979, Pustaka Bandung). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Tuhan berarti yang diyakini, dipuja, dan disembah oleh manusia sebagai yang Maha Kuasa, Maha Perkasa dan sebagainya atau juga sebagai sesuatu yang dianggap Tuhan.
.
Ketika “katanya” telah mendominasi kesadaran rasio dan emosional kita, saat itu pula “katanya” telah menjadi Tuhan. Sebagian masyarakat kita yang tidak pernah kritis dengan segala informasi yang diterimanya saat ini, tak menyadari bahwa “katanya” telah menjadi Tuhan baru bagi dirinya. Begitu banyak peristiwa baku hantam antar etnis, agama, dan kelompok yang sering dipicu oleh “katanya” akibat keengganan kita bersikap kritis dengan melakukan cek dan ricek.

***

Bukan hanya dalam komunikasi antar persona atau kelompok saja, kesadaran kritis terhadap segala informasi yang kita terima juga harus dilakukan dalam menghadapi pemberitaan media massa saat ini. Kebebasan pers saat ini di satu sisi memang menjadi jalan demokratisasi komunikasi karena kemerdekaan ruang publik ini. Tetapi pada sisi lain, kebebasan ini telah memungkinkan munculnya “penguasa-penguasa” baru yang menggunakan media massa sebagai alat kekuasaannya. Kerja jurnalistik adalah pengumpulan, penangkapan, dan pengungkapan fakta dan data. Fakta dalam jurnalistik bukan hanya realitas sosiologis saja tapi juga ucapan seseorang yang dianggap berkompeten atau berhubungan berbicara sesuai fenomena yang diangkat. Orang-orang inilah yang disebut sebagai narasumber. Oleh sang wartawan, ucapan atau pernyataan narasumber ini ditulis menjadi sebuah berita yang berjudul “katanya”.

Seorang narasumber oleh Aristoteles harus memiliki pikiran, akhlak, dan maksud yang baik yang disebut dengan etos. Dengan kata lain, seorang narasumber haruslah mereka yang memiliki modal ; kredibilitas, atraksi, dan kekuasaan. Kredibilitas menyangkut persepsi orang lain terhadap keahlian dan watak kita. Dalam atraksi, kita bicara mengenai pesona fisik ataupun inner beauty seperti karisma. Sedangkan kekuasaan merupakan kemampuan untuk mempengaruhi orang lain. Gramsci mengatakan, dalam sebuah kekuasaan, kekuatan senjata atau militer narasumber harus dikombinasikan dengan kepemimpinan moral dan intelektual. Bahkan menurut Foucoult, seseorang yang dianggap memiliki “pengetahuan” pun mampu menjadi penguasa informasi “katanya”

Dengan modal-modal yang dimilikinya di atas, narasumber sering dipandang sebagai orang yang lebih tahu dibandingkan masyarakat awam. Pandangan “sang super” ini menjadi sebuah pengharaman atas kesalahannya sebagai narasumber. Ucapan “sang super” ini akhirnya menjadi kebenaran pengetahuan. Kebenaran pengetahuan itu pun melenakan sebagian kita untuk melihat bahwa “katanya” bukanlah Tuhan, ia sama seperti kita, manusia. Sehingga pengharaman kita atas kesalahan “katanya” menjadi ambivalen dengan kesadaran kita akan tidak mungkinnya manusia melepaskan diri dari perbuatan dosa atau kesalahan. Saya hanya ingin katakan, waspadalah terhadap “katanya”, dimana saja !

(....)

Sssrt ! Wuss .... ! tersentak ia. Entah mimpi. Malam makin larut. Diliriknya jam di sebelah tempat tidur. Hampir pukul tiga. Tapi ini sudah pagi. Sayup-sayup terdengar ada yang mengaji. Mungkin dari tetangga sebelah rumah. Biasanya itu suara Pak Haji, ustad muda yang baru saja punya anak satu.
Ia masih bergulung dengan selimutnya. Eh, mana suaminya ? Baru saja ia tersadar, suaminya raib. Seharusnya kan dia tidur di sebelahku. Kemana ia ? Hup !! Bergegas ia beranjak dari tempat tidur. Hampir saja ia jatuh karena selimut tebal menghalanginya. Ruang tengah, gelap. Lampu kamar mandi pun tak menyala.
Hhhhh .... huk .... hik ...... Rasanya bukan suara si pussy, kucing milik Pak Haji. Jalannya pun berjingkat. Ah, biar tak terdengar, ia mencari sumber suara. Hahhhh, mengapa pula, kunci kamar di dekat dapur menggantung di sini ? Dengan bergaya sok detektif, ia cabut kuncinya. Diintipnya dari lubang kunci. Lampu di dalamya menyala. Suara tangisan pun jelas terdengar. Dibukanya pintu pelan-pelan. Kopiah hitam, sarung coklat dengan kemeja yang sudah lusuh. Posisinya pun bersujud. Dia masih menangis. Tanpa harus menatap wajahnya, dia yakin itu suaminya. Walau ibarat petir di siang bolong, ia menyaksikan pemandangan itu. Suaminya shalat ! Bukan masalah ini belumlah subuh. Ia tau, saat-saat begini kan waktunya shalat lail. Atau paling tidak shalat isya bagi siapa yang lebih dulu tertidur Tapi, ia shalat, entah shalat apa itu.
Ia tak ingin mengganggu konsentrasi suaminya yang terlihat sangat khusyu’. Ditutupnya kembali pintu kamar. Pelan-pelan ia menuju dapur. Diambilnya air segelas. Duduk ia di ruang tamu. Minum. Air segelas itu terasa sangat banyak. Pikirannya pun menerawang jauh.
Hampir lima tahun ia menikah. Belum juga dikaruniai anak. Kata para dokter dan tabib, tak ada masalah dengan kesuburan mereka. Ia sadar, Tuhan belum mengizinkan.

2 K

Tahun baru yang lalu mungkin berbeda. Umat Islam sedang berpuasa dan tahun baru masehi 2000 dimulai. Teringat beberapa tahun lalu ketika masih SD. Seorang guru saya yang begitu sederhana penampilan dan kehidupannya, pernah bilang : “Kamu adalah generasi 2000. Pada tahun itu, dunia berubah. Waktu terasa lebih cepat. “
Mungkin memang benar. Malam 2000, saya berada di Batam. Kota industri yang telah menyumbangkan jutaan dolar bagi devisa Indonesia. Pulau kecil yang menjadi begitu strategis karena letaknya pada segitiga Sijori (Singapura-Johor-Riau). Tanah Batam yang kapur menjadi lautan dolar karena industri elektronik disana berkembang pesat. Pulau ini menjadi persinggahan sementara para sarjana Indonesia yang tak bisa berharap banyak mengail kehidupan di Jawa karena krisis yang berkepanjangan.

Cerita pada malam 2000 di Batam. Beberapa engineer harus lembur dan bermalam di kantornya. Ketakutan akan milenium bug pada pengoperasian pabrik yang menggunakan komputer ternyata bukan hanya terjadi di negara lain. Saya benar-benar melihat ! Hal itu terjadi di Batam, bahkan mungkin di daerah-daerah lain yang memiliki pabrik-pabrik. Pukul nol-nol pada malam 1 Januari 2000 begitu menegangkan. Kalau seandainya jaringan listrik pabrik mati, kiamatlah sudah !

Teng ! Permainan dimulai. Nihil. Lampu-lampu masih menyala. Pabrik-pabrik masih berjalan. Sebagian orang-orang menyalakan petasan, “Selamat tahun baru, di milenium baru !” katanya. Saya terbangun dari tidur. Dini hari ! Saya tetap harus puasa, karena Ramadhan belum usai. Saya tanyakan pada ibu yang tidur di sebelah saya,” Mana tahun barunya ?” Sambil mengantuk ia bilang, Y 2 K –nya sudah selesai.

Y 2 K. Milenium bug. Begitu popular di awal 2000 (terlalu panjang menulisnya, mungkin cukup 2 K saja). “Ini ulah Bill Gates. Dia yang buat kutu milenium pada komputer-komputer di seluruh dunia. Lalu dia pula yang buat sistem antisipasinya,” kata seorang bapak ketika dalam perjalanan di atas kapal dari Jakarta-Batam. Saya tersenyum. Apa itu kutu milenium ? Setahu saya, hal itu terjadi pada sistem tanggalan komputer yang selama ini memakai dua digit akhir tahun. 1998 menjadi 98, 1999 menjadi 99, lalu 2000 menjadi 00. Tahun 2 K akan terbaca 1900. Sudah lahirkah Bill Gates ketika sistem penanggalan ini mulai diberlakukan ? Anda lebih tahu !

Mungkin tak banyak orang yang tahu apa itu milenium bug. Mereka hanya dengar dan baca. Dari TV, koran, dan majalah-majalah. Bahkan dari café-café, restoran, diskotik, pusat-pusat perbelanjaan. Ada diskon milenium (tapi tak ada bug-nya). Dan jangan salahkan jika ada yang bilang, ini semua kerjaan media !

Media telah menciptakan ruang imajinasi yang besar pada manusia. Imajinasi yang menimbulkan harapan, ketakutan, bahkan euphoria. Percaya atau tidak, kalau seandainya media tak pernah bicara tentang milenium bug, tak ada orang yang merasa ketakutan sendiri ketika menunggu saat-saat pergantian tahun. Perayaan besar tahun baru di pusat kota New York terpaksa harus dibatalkan. Jawaban sederhana : mereka lebih tenang melihat pergantian tahun di rumah-rumah sendiri daripada bersenang-senang di jalan dengan perasaan tak pasti.

Media tak ingin disalahkan. Ini adalah efek yang secara langsung ataupun tidak dipengaruhi sekali oleh kondisi psiko-sosial-budaya personal. Jika terjadi deviasi informasi, itulah disfungsinya. Bukanlah pembenaran, tapi kitalah yang seharusnya selektif dan kritis ! Media berjalan dalam fungsinya untuk menginformasikan sesuatu (to inform). Informasi menjadi kebutuhan universal bagi makhluk hidup yang akan mengarahkan kehidupannya. Informasi berseliweran di sekeliling kita. Dan kitalah yang harus memilihnya.

Kitalah yang harus mencari jawaban bagaimana mendapatkan informasi yang benar. Dan hanya satu perhatian : kebenaran informasi tak lepas dari hukum relativitas, yang dipengaruhi oleh ruang dan waktu. Informasi di negara ini belum tentu benar di negara sana. Informasi hari ini belum tentu benar untuk esok hari. Informasi menjadi fana untuk urusan-urusan duniawi. Tetapi menjadi mutlak bagi urusan-urusan rohaniah yang ada di kitab suci. Makanya tak pernah kan anda dengar kitab suci menjadi out of date atau harus direvisi ?

Saya teringat lagi dengan nasihat guru SD saya, enam tahun yang lalu. Informasinya : pada tahun 2000 nanti kamu harus lebih giat karena persaingan akan semakin pesat. Saya masih hidup pada tahun 2000 itu tapi tidak terjadi apa-apa. Listrik-listrik tidak mati, sistem perbankan tidak berantakan malah Indonesia masih berada dalam krisis ekonomi, Soeharto tidak mau diseret ke pengadilan, Aceh dan Ambon masih bergolak. “Persaingan apakah itu, Pak ?” Saya tidak tahu apakah dia masih hidup atau tidak untuk kembali menjawab pertanyaan saya. Karena informasi dua hari setelah tahun baru lalu mengatakan : milenium bug akan menemui puncaknya pada beberapa bulan keempat tahun 2 K. Mungkin saya hanya menyarankan, bersiap-siaplah ! Wallahu’alam.

Semangat Otonomi dalam UMPTN

Albert Einstein, si jenius legendaris itu bukanlah seorang mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Amerika Serikat. Pada masa kecilnya, Eistein disebut anak bodoh dan aneh. Kondisi keluarga yang miskin membuatnya tak mampu bersekolah seperti anak-anak lain seusianya. Namun kemudian dunia menyadari sebenarnya Einstein adalah seorang jenius ketika teori relativitas itu diungkapkannya.
Ia tidak dilahirkan oleh sebuah institusi pendidikan tinggi yang mengasah kemampuan akademis siswanya dengan sistematis. Padahal potensi kecerdasannya jauh lebih baik dari seorang mahasiswa yang mampu menikmati bangku kuliah. Banyak orang seperti Einstein, memiliki potensi tapi tak mampu sekolah secara formal. Maka terkuburlah ia dalam sebuah persaingan masuk PTN, sekolah milik negara yang menawarkan biaya murah.
Apakah potensi itu harus terkubur dalam sebuah persaingan Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) yang tidak jelas mekanismenya ? Lalu sistem UMPTN yang bagaimanakah yang relevan dengan tuntutan yang berkembang sekarang , dengan sebuah semangat otonomi ?

Semangat dan jiwa otonomi daerah atau desentralisme telah diundangkan dalam Undang-undang (UU) No 22/99 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25/99 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Prinsip sebuah daerah otonom di sini adalah kewenangan dan tanggung jawab menyelenggarakan kepentingan masyarakat berdasarkan prinsip keterbukaan, partisipasi masyarakat, dan pertanggungjawaban kepada masyarakat, termasuk didalamnya sektor pendidikan. Pendidikan nasional yang selama ini diatur secara sentralistik menimbulkan tumpang tindihnya perencanaan pendidikan di negara kita. Akibatnya permasalahan pendidikan menjadi pekerjaan tambal sulam yang tak jelas bentuknya.

UMPTN yang menjadi salah satu mekanisme penerimaan mahasiswa di PTN pun mulai dipertanyakan keefektifannya. Mulai dari sistem rayonisasi (rayon A,B,C), materi ujian yang disamaratakan, standar penilaian yang tidak transparan, dan proses seleksi yang dilakukan terpusat Sehingga tidak jelas, untuk siapakah UMPTN ini diberlakukan ? Untuk orang-orang pintar dan kayakah ? Atau untuk orang-orang yang tak mampu tapi pintar ? Kondisi ini pula yang menyebabkan kesenjangan antara Jawa-luar Jawa dan sekolah favorit-tidak favorit. Jawa dan sekolah favorit akan diuntungkan dalam hal ini. Sementara luar Jawa dan sekolah tidak favorit menjadi semakin terpuruk keberadaannya.

***

Tujuan UMPTN seperti yang tercantum dalam petunjuk pendaftaran UMPTN 1999 adalah memilih calon mahasiswa baru yang mempunyai kemampuan akademik untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan di PTN sesuai dengan batas waktu ditetapkan. Secara eksplisit terlihat bahwa penerimaan mahasiswa di PTN didasarkan pada kemampuan akademis semata. Masalah pemerataan strata sosial dan letak geografis tidak menjadi pertimbangan dalam hal ini. Akhirnya, potensi-potensi terbaik daerah akan “lari” ke Jawa untuk mendapatkan pendidikan yang jauh lebih maju. Kondisi ini akan menjadi sebuah lingkaran setan. Bagaimana daerah akan meningkatkan kualitas pendidikannya kalau orang-orang terbaiknya tidak membangun daerahnya bersama-sama ? Selain pembenahan pada sistem pendidikannya, proses penerimaan mahasiswa baru di PTN pun sudah saatnya dilihat kembali keberadaanya. Ada beberapa hal yang menjadi perhatian kita dalam proses UMPTN ini.

Pertama, sistem rayonisasi. Dalam sistem rayon, PTN-PTN dibagi atas wilayah rayon A,B, dan C. Rayon A meliputi PTN di wilayah Sumatera, Kalimantan Barat, DKI Jakarta dan Jawa Barat (Jabar). Rayon B meliputi PTN yang berada di Jawa Tengah (Jateng), Yogyakarta, Kalimantan Selatan (Kalsel), Kalimantan Tengah (Kalteng) dan Kalimantan Timur (Kaltim). Rayon C meliputi PTN yang ada di wilayah Jawa Timur (Jatim), Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku dan Irian Jaya. Tiap rayon dikoordinasikan oleh koordinator rayon. Biasanya yang ditunjuk adalah rektor salah satu PTN di rayon tersebut. Soal-soal UMPTN ini nantinya dibedakan atas rayon-rayon. Perbedaan itu pun terlihat tak terlalu prinsip. Dalam satu rayon saja, perbedaan materi pelajaran itu ada. Sekolah di Bengkulu misalnya akan berbeda kualitas pengembangan kurikulumnya dengan sekolah di Jakarta atau Jawa Barat. Sehingga penyamarataan seperti ini terlihat tidak adil dan tidak jelas. Lalu hal ini menjadi tumpang tindih dengan adanya PUML (Panitia Ujian Masuk Lokal).

Kedua, materi ujian yang disamaratakan. Dalam hal ini, PTN sebuah daerah tidak memiliki keleluasaan untuk mengatur materi-materi pelajaran yang menjadi prioritas kebutuhan daerah setempat. Sehingga PTN-PTN di daerah tidak memiliki kekhasannya. Misalnya, Aceh yang memiliki sumber daya perkebunan, perairan dan pertambangan. Maka pengembangan materi kurikulumnya diarahkan pada kondisi setempat yang dominan. Dengan sistem UMPTN, pengembangan materi dan pengayaan logika berpikir disamakan. Padahal kondisi alam, sarana dan prasarana yang berbeda-beda itu menyebabkan perbedaan pengembangan materi pengajaran dan wawasan para siswa.

Ketiga, standar penilaian yang tidak transparan. Metode penghitungan benar dan salah tak pernah diketahui oleh masyarakat. Berapa standar minimal yang harus diperoleh siswa untuk dapat masuk pada jurusan pilihannya ? Sistem komputerisasi yang dilakukan terlihat seperti sebuah permainan “mengundi” dan untung-untungan. Semua peserta UMPTN akan diurutkan berdasarkan nilai ujiannya. Lalu dialokasikan pada program studi pilihannya dengan ketentuan bahwa peserta yang mendapat nilai lebih baik akan diprioritaskan. Jika masih ada tempat kosong pada program studi pilihan pertama. Ia akan diterima di program studi pilihan pertama. Jika tempat itu telah penuh maka ia akan diterima di pilihan kedua, bila tempat itu juga masih kosong. Jika kedua-duanya telah penuh maka ia tidak akan diterima walaupun nilainya masih cukup tinggi. Dengan kondisi ini, siswa akan “takut” untuk memilih jurusan yang dinginkannya, sehingga ia memilih jurusan yang tak diminatinya tapi memiliki peluang lulus lebih besar. Akhirnya ketika benar-benar lulus pada pilihan yang tidak disukainya, ia memilih untuk tidak meneruskannya atau meneruskannya dengan “ogah-ogahan”. Kesempatan yang mungkin menjadi keinginan siswa yang lain tapi kurang beruntung nasibnya.

Keempat, proses seleksi yang terpusat. Kondisi ini memungkinkannya “tangan-tangan” kotor ikut menentukan lulus tidaknya seorang siswa dalam UMPTN. Praktek-praktek kolusi dan nepotisme berpeluang besar dalam proses yang terpusat ini.

***

Winarno Surachmad, dalam sebuah diskusi bersama Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) mengatakan, reformasi fundamental yang harus diselesaikan dalam pendidikan kita adalah merumuskan landasan falsafah pendidikan yang selama ini belum kita punyai. Mantan rektor IKIP Jakarta (kini Universitas Negeri Jakarta) yang juga pakar pendidikan ini menjelaskan, kekacauan dan kerancuan dalam pendidikan kita, mulai dari masalah kurikulum, akreditasi, Evalusi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas), hingga masalah-masalah teknis lainnya seperti proses pembelajaran di kelas diakibatkan oleh ketiadaan landasan falsafah pendidikan. Kita terjebak dalam persoalan-persoalan teknis-metodologis yang tak jelas membawa kita pada suatu pencapaian (visi). Filosofi pendidikan yang jelas akan membentuk frame yang sama dalam pemikiran kita, sehingga heterogenitas kurikulum dan metode pengajaran tidak lagi menjadi persoalan. Kurikulum yang berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya merupakan konsekuensi demokratisasi pendidikan. Inilah inti pendidikan yang memberi penghargaan pada manusia dan konteksnya.
Kini hampir 55 tahun kita sudah merdeka. Permasalahan ini pun menjadi sebuah benang kusut. Kita sudah berada dalam sebuah kolam keruh. Mau tidak mau, suka tidak suka kita harus membersihkan air sungai itu. Seperti kata Winarno, “dual strategy : sambil membenahi semua ini kita benahi pula landasannya. Ibarat rumah yang sedang terbakar. Ambil saja apa yang bisa, tetapi sambil itu kita cari jalan bagaimana supaya api tidak menjalar lebih luas.”

Semangat otonomi daerah walau masih terdengar pro dan kontra seharusnya juga menjadi inspirasi bagi perubahan orientasi pendidikan kita. Paradigma pembangunan otonomi yang bergeser pada pemberdayaan rakyat ini pun seharusnya juga menjadi “semangat” dalam paradigma sistem pendidikan. Pendidikan yang perencanaan dan pelaksanaannya didasarkan pada kemampuan (sumber daya) yang dimiliki oleh daerah. Lalu perencanaan dan pelaksanaan dilakukan dengan menumbuhkan inisiatif dan kreativitas masyarakat.

Masalah UMPTN dalam kajian ini juga termasuk ke dalam masalah teknis sistem pendidikan kita. Itu merupakan efek dari bobroknya sistem pendidikan yang tidak memiliki landasan filosofis. Sambil bersama-sama landasan filosofi dibenahi, proses UMPTN ini pun juga harus dikritisi. Jangan sampai pula ia menjadi salah satu kaki gurita yang akan menjerat tubuh kita sendiri.

Pola sentralistik dalam seleksi UMPTN harus dilihat dari beberapa sisi. Pertama, ini bisa menjadi sebuah peluang bagi kekuasaan atas ke bawah (top-down) Pusat mengatur segalanya, dari materi ujian sampai penentuan kelulusan. Standardisasi yang tidak dialogis antara target pusat dengan kondisi daerah melahirkan kesenjangan sosial baru. Jadilah sebuah “kemandulan” dalam strategi pendidikan daerah.
Kedua, sistem ini tidak mendorong terbentuknya demokratisasi pendidikan. Keragaman kurikulum, metode, strategi pembelajaran, penentuan standardisasi kebutuhan yang berbeda-beda pada tiap daerah merupakan bentuk demokrasi dalam pendidikan.
Ketiga, metode ujian pilihan ganda yang berprinsip “soal dalam UMPTN harus bisa dijawab dengan fastest solutions (penyelsaian tercepat) telah “menyuburkan” tumbuhnya bimbingan-bimbingan belajar yang lebih berorientasi bisnis dan kuantitas kelulusan. Tumbuhnya metode belajar seperti ini akan mengubur makna belajar itu sendiri.

Akhirnya siswa tak menjalani proses dan makna hakiki yang harus dilakukan oleh seorang penuntut ilmu. Jadilah mereka, generasi-generasi “karbitan” atau generasi instan yang tidak kuat landasan ilmunya. Tumbuhlah generasi yang menyelesaikan pendidikannya hanya untuk sebuah gelar dan mendapatkan pekerjaan.


(dimuat di HU Galamedia 3 Juli 2000)

Megawati, Bukan Soekarno

“Megawati, ya Megawati ! Soekarno, ya Soekarno ! Teriak salah seorang mahasiswa yang berdemonstrasi di kampus Institut Teknologi Bandung (ITB) pada Peringatan 100 tahun Bung Karno, Jumat lalu (01/06). Haul Seratus Tahun Bung Karno itu dihadiri oleh Megawati, putri tertua Soekarno-Fatmawati yang juga wakil presiden Republik Indonesia (RI) saat ini. Tidak ada yang istimewa dalam peringatan itu, selain kehadiran Megawati yang saat ini sedang menjadi perbincangan hangat sebagai calon presiden RI kelak menggantikan Gus Dur yang (katanya) akan dilengserkan melalui sidang istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Megawati hadir tanpa Guntur Soekarnoputra, Guruh Soekarnoputra ataupun Sukmawati. Ia disambut oleh acara protokoler yang sangat ketat, dijaga oleh polisi dan satuan tugas (satgas) Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P) dan demonstrasi mahasiswa ITB yang telah menunggu sejak dua jam sebelum kedatangannya. Terlihat beberapa fungsionaris PDI-P dan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi dan Keuangan (Menko Ekuin) Rizal Ramli dan pasukan pengaman kepresidenan (paspanpres). Akhirnya sang putri Soekarno itu hadir sebagai wakil presiden pada peringatan haul seratus tahun ayahnya

Seratus tahun setelah Soekarno lahir, Megawati telah duduk di kursi wakil presiden RI yang kedelapan. Seratus tahun kelahirannya, Soekarno masih dianggap “hidup” oleh sebagian besar masyarakat negara ini. Seratus tahun kelahirannya, pemikiran Soekarno tentang kebangsaan ini kembali diobrak-abrik. Seratus tahun kelahirannya, bangsa ini masih gonjang-ganjing seperti masa demokrasi terpimpin ketika Soekarno menjadi presidennya. Seratus tahun peringatan kelahirannya, cerita tentang Soekarno menjadi nostalgia di tengah kebodohan bangsanya.

Pada 6 Juni 1901, Soekarno lahir. Tak ada yang menyangka, kalau bayi kecil itu kelak akan menjadi “orang besar” di negeri ini. Soekarno, sang orator ulung, insinyur teknik sipil lulusan THS (sekarang ITB), sang proklamator (bersama Bung Hatta) yang namanya monumental dalam sejarah Indonesia. Bukan hanya itu, sebutan “playboy” pun melekat dalam dirinya yang memang secara fisik adalah tipe pria yang mudah menarik hati wanita. Wacananya sebagai pemimpin modern-demokratis menjadi ambivalen dengan gaya kepemimpinannya yang cenderung otoriter pada masa ketika ia memproklamasikan demokrasi terpimpin pada 1959, menjadi sebuah kritik “pedas”. Soekarno memang telah sempurna menjadi manusia : bersama kelebihan dan kekurangannya, dalam pujian dan sinisme orang-orang.

Soekarno adalah aktor pada masanya yang telah membangkitkan sebagian semangat perjuangan rakyat untuk berjuang melawan penjajahan. Konteks perlawanan Asia pada masa itu memang menjadi sebagian inspirasi bagi Soekarno untuk “membumikannya” dengan kondisi Indonesia. Dengan gaya kepemimpinannya yang mengalir budaya Jawa di dalamnya dan salah satu orang yang mampu mengecap pendidikan formal masa itu, Soekarno terbentuk menjadi sosok pribadi yang cukup mudah menarik simpati. Tak bisa dipungkiri, sumbangsih besar pemikiran dan perjuangan Soekarno pada proses pembentukan solidaritas bersama bangsa ini melawan penjajahan. Soekarno yang berani berbicara tentang suatu hal kontroversial : islamisme, nasionalisme, dan marxisme dan pada satu momen memang berhasil menyatukan bangsa ini dalam pernyataan, proklamasi ! Prinsip musyawarah untuk mufakatnya pun mampu menyatukan perang dingin Timur dan Barat, duduk bersama tanpa harus unjuk kekuatan senjata dalam sebuah perhelatan besar negara-negara Asia-Afrika di Bandung pada 1955.

Satu abad sudah Soekarno “hidup” dalam lembaran sejarah bangsa ini. Di tengah keguncangan kehidupan berbangsa dan bernegara sekarang, di antara ancaman disintegrasi, keterpurukan ekonomi rakyat yang tak kunjung usai, pemikiran besar Soekarno tentang persatuan dan kebangsaan kembali diobrak-abrik. Orang “disini” bicara : pemikiran persatuan Soekarno itu relevan untuk menjawab permasalahan bangsa saat ini. Tapi orang “disana” katakan : pahamilah pemikiran Soekarno dalam konteks ruang dan waktu yang relevan.

Jika boleh memilih, saya adalah orang yang berada dalam pemahaman orang “disana.” Semangat nasionalisme yang coba dibangun Soekarno masa itu bermula dari kesadarannya akan realitas masyarakat yang semakin terpuruk akibat penjajahan. Solidaritas Asia yang saat itu juga muncul sebagai akibat penjajahan pun menjadi salah satu inspirasi perjuangan kesatuannya bagi kemerdekaan Indonesia. Sehingga ide-ide nasionalisme Gandhi, sang “nabi” India itu menjadi akrab dalam pidato-pidatonya. Ide tentang Indonesia yang menurut Adolf Bastian sebagai bangsa yang artifisal atau oleh Benedict Anderson disebut sebagai imagined communities pun tenggelam sementara dalam ketidaksadaran filosofis. Keterpurukan ekonomi, politis, sosial budaya, dan psikologis akibat penjajahan menjadi bahan bakar untuk memantapkan perjuangan bersama ide persatuan Soekarno. Walau pada beberapa tahun setelah itu, persatuan Indonesia kembali dipertanyakan ketika pemberontakan seperti DI/TII atau PRRI/Permesta “meletus” di beberapa daerah. Salah satu pemberontakan daerah itu terjadi di Aceh yang saat ini kembali mengguncang kebangsaan sebuah Indonesia bersama Gerakan Aceh Merdeka (GAM)-nya Pendekatan yang baik oleh Soekarno terhadap Daud Beureuh, pemimpin DI/TII Aceh, yang juga karismatik itu, menghantarkannya pada kesepakatan diplomatis : pemberian keistimewaan terhadap Aceh. Malah yang lebih mengejutkan, masyarakat Aceh yang sedang “protes” itu memberikan sumbangan pesawat Seulawah 1 dan 2 yang merupakan cikal bakal Garuda Indoensia. Tapi nyatanya, keistimewaan itu hanyalah janji belaka hingga kepemimpinan berada di tangan Soeharto. Aceh kembali bergolak sampai saat ini bersama GAM pimpinan Hasan Tiro yang memproklamasikan kemerdekaan Aceh pada 4 Desember 1976. Mengapa hal ini terjadi, gagalkah perundingan simpatik antara Soekarno-Daud Beureuh tempo dulu ?

Bacalah Soekarno pada masanya. Bicaralah tentang Soekarno dalam konteks ruang dan waktu bangsa Indonesia yang saat itu yang berada dalam penjajahan Belanda dan Jepang. Berpikirlah bahwa Soekarno memang lahir sebagai aktor dalam zamannya. Tetapi hal ini bukan berarti bahwa pemikirannya hanya menjadi saksi mati di sebuah musium sejarah Indonesia. Saya sangat yakin bahwa sejarah adalah sebuah pemetaan masa lalu, merumuskan kesadaran masa kini dan menangkap bayangan-bayangan konkret masa depan. Sehingga cerita tentang Soekarno ditempatkan dalam paradigma demikian.

Momen satu abad Soekarno menjadi begitu “meriah” di tengah “suara-suara” akan naiknya Megawati sebagai calon presiden (capres) RI menggantikan Abdurrahman Wahid. Satu abad lahirnya Soekarno menjadi momen menarik ketika Megawati, sang capres itu hadir di kampus sang ayah, ITB, untuk membuka peringatan Haul Seratus Tahun Bung Karno. Megawati hadir sebagai wakil presiden (mungkin kelak sebagai capres) bersama acara protokoler istana kepresidenan. Sesaat saya teringat ketika masa kampanya pemilu 1999, di jalan-jalan terpampang gambar-gambar Megawati bersama latar belakangnya, sang ayah, Soekarno.

Dalam paradigma tentang sejarah di atas, satu abad lahirnya Soekarno ini seharusnya menjadi momen bagi bangkitnya kekuatan seorang Megawati. Megawati memang bukan Soekarno. Megawati, seorang wanita dan Soekarno, laki-laki. Megawati, seorang anak dan Soekarno, ayahnya. Megawati, seorang yang sedikit berbicara sementara Soekarno, seorang orator ulung. Lalu apakah seorang Megawati yang perempuan, seorang anak dan sedikit berbicara tak mampu berdiri sejajar dengan sang ayah yang laki-laki dan orator pujaan ? Jawabannya tentu tidak ketika memang seorang Megawati mampu berdiri tanpa harus “ditemani” sang ayah dan bukan hanya mampu berteriak tentang pentingnya kesatuan dan persatuan di tengah krisis kebangsaan yang telah dirobek-robek oleh rakusnya kekuasaan selama ini. Sebab sejarah masa kini telah meminta Megawati untuk : berpikir dan beraksi pada masanya bersama rasionalitas dan kepekaan emosionalnya.

Kekuasaan Otoriter Dari Gerakan Penindasan Menuju Politik Hegemoni

RESENSI BUKU
(dimuat di HU Galamedia Bandung Februari 2001)


Judul : Kekuasaan Otoriter
Dari Gerakan Penindasan Menuju Politik Hegemoni
(Studi atas Pidato-pidato Politik Soeharto)
Penulis : Eriyanto
Penerbit: Insist dan Pustaka Pelajar
Hal : 270 hal

Berapa milyar jumlah penduduk dunia saat ini ? Sejumlah itulah anda akan mampu membuat buku yang tak ada penghabisannya tentang keunikan jiwa manusia. Manusia yang dinamis adalah hakikat pengetahuan yang harus dimiliki dalam memahami kompleksitas jiwanya. Ketika kompleksitas jiwa manusia coba dipahami secara sistematis melalui pendekatan ilmu maka jadilah ia salah satu referensi bagaimana kita memahami jiwa manusia dengan lebih “bijak”.

Soeharto bebas dari tuntutan pengadilan. Daftar penyakitnya hampir memenuhi setengah halaman Harian Kompas ( Jumat 29/10/2000). Tidak lama berselang setelah keputusan bebas dari pengadilan diumumkan, massa pun mengamuk. Pro dan kontra. Yang pro berasumsi, dimaafkan sajalah, orang tua yang sakit itu sudah tak berdaya lagi. Lagipula tak bisa dipungkiri, dia pun telah menorehkan jasanya bagi negeri ini. Sementara yang kontra tetap pada pendirian bahwa sumber keterpurukan bangsa ini adalah Soeharto. Dibebaskannya Soeharto dari tuntutan hukum tidak akan menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa ini.

Buku karangan Eriyanto ini mencoba menganalisis perilaku politik seorang “Soeharto” yang monumental dalam sejarah Indonesia. Analisis dilakukannya dengan mempelajari struktur Pidato Kenegaraan Soeharto setiap tanggal 16 Agustus (1990-1997). Diakui memiliki kelemahan karena pidato resmi kenegaraan itu ; pertama, tidak langsung ditulis oleh Soeharto sehingga tidak mencerminkan watak psikologis Soeharto yang sebenarnya dan kedua, ditulis oleh para pembantunya yang pasti senantiasa menuliskan hal yang baik-baik saja.

Kelemahan itu bukan berarti bahwa buku ini tak bermanfaat sama sekali. Pidato yang isinya baik-baik saja dan sangat datar ini malah menarik perhatian penulis hingga dijadikannya skripsi untuk menyelesaikan studinya di jurusan Ilmu Komunikasi UGM. Pidato politik dan kondisi empiris yang ternyata memiliki kesenjangan sangat jauh ini mengindikasikan adanya manipulasi politik yang dilakukan selama Soeharto berkuasa. Isi pidato yang tidak menunjukkan kondisi ril masyarakat menjadi sangat wajar ketika Anda mengetahui bahwa pidato itu dibuat satu tahun sebelum pidato itu dibacakan. (misalnya pidato untuk tahun 1996 ditulis pada tahun 1995). Ironisnya, pidato ini pun menjadi pola bagi kebijakan-kebijakan kekuasaan di bawah presiden sehingga membentuk suatu struktur sekaligus tekstur yang mapan, yang kata penulisnya dapat diproduksi dan direproduksi dalam kesempatan yang berbeda.

Memahami Soeharto melalui pidato-pidato politiknya bukan hanya sebuah pemahaman tekstual. Soeharto sebagai pribadi, seorang Jawa, dan sebagai mantan prajurit adalah realitas psikologis sosial yang juga harus kita ketahui dan pahami. Realitas empiris Soeharto itulah yang melatarbelakangi bagaimana ia mampu mendapatkan dan mempertahankan kekuasaanya.

Pandangan Soeharto dan Soekarno terhadap komunis terlihat sangat ekstrim. Soekarno yang sangat rasional karena berlatar belakang pendidikan tinggi, banyak membaca buku dan sering melakukan diskusi ini menjadi tampak ragu-ragu ketika banyaknya desakan untuk segera membubarkan PKI. PKI dianggapnya sebagai sebuah organisasi besar, rapi, sistematis dan solid dalam hal teori dan praksis yang teruji. Satu hal yang tidak dimiliki oleh kelompok manapun termasuk kelompok Islam dan ABRI. Pemahamannya terhadap ideologi PKI membuatnya merasa bahwa memberangus PKI dengan paksa bukan suatu hal yang mudah. Perjuangan bawah tanah dengan wujud yang sangat halus masih dapat mereka lakukan karena kekuatan basis ideologis organisasi ini.

Sementara bagi Soeharto _anak desa dan seorang prajurit_ yang sebagian besar kebijakannya berdasarkan pada an act of faith (perbuatan yang berdasarkan keyakinan) begitu sangat yakin akan dirinya bahwa PKI memang harus dibubarkan. Pemikiran yang tidak dilandasi rasionalitas ini menyebabkan ia menjadi begitu “garang” untuk melenyapkan PKI dengan cara apapun.

Fusi partai politik pada tahun 1973 adalah salah satu wujud perilaku politik Soeharto yang didasarkan pada pemahaman falsafah kekuasan Jawa mengenai makna keselarasan. Dalam keselarasan tidak dikenal wacana konflik. Konflik yang bersumber dari keanekeragaman atau perbedaan-perbedaan dianggap sebagai rongrong yang akan merusak makna kesaktian seorang pemimpin. Seorang disebut sakti jika kekuasaannya monopolistik (berada dalam satu tangan sang raja). Jika terjadi perdebatan akibat perbedaan-perbedaan wacana yang memungkinkan adanya distribusi kekuasaan , kesaktian sang penguasa dianggap mulai lemah. Ini tidak boleh terjadi sehingga pengendalian politis harus dilakukan untuk menghindari hal itu. Penggabungan beberapa partai politik (parpol) menjadi tiga partai ; PPP, Golkar, PDI akhirnya menjadi keputusan politik Soeharto. Penyeragaman ideologi Pancasila pun dilakukan terhadap partai-partai ini. Dengan sikap alus Jawanya, Soeharto tidak terlihat memaksa hal ini segera diterima oleh seluruh rakyat. Secara verbal memang tak terlihat adanya pemaksaan tetapi strategi politisnya menunjukkan hal lain. Peristiwa berdarah Tanjung Priok yang dilakukan militer terhadap masyarakat untuk menolak kebijakan ini menunjukkan kemisteriusan sikap alus dan bijaksananya seorang bapak yang bernama Soeharto. Bagaimana mungkin seorang pemimpin yang penampilannya begitu bersih dan tenang dapat membiarkan terjadinya pembunuhan massal yang tidak berperikemanusiaan ? Juga pembunuhan-pembunuhan, penculikan, dan teror-teror yang terjadi di Aceh, Timor Timor, dan Irian Jaya yang sampai saat ini masih menjadi misteri besar. Apakah darah dan nyawa rakyat kecil yang tak tahu apa-apa menjadi halal bagi kekuasaan satu orang yang tidak boleh berkurang kesaktiannya karena alasan mitos irasional ?

Untuk memahami kajian ini, penulis menjelaskan dengan sistematis bagaimana kekuasaan gerakan penindasan dan politik hegemoni ini dibangun oleh Soeharto dengan sangat halus dan rapi. Mulai dari tema-tema yang menjadi jargon kekuasaan orde baru hingga pada bentuk-bentuk konsolidasi kekuasaan politik melalui produksi wacana, kata-kata dan pembakuan bahasa secara formal (Proyek Pembinaan dan Pengembangan Bahasa).

Skripsi yang dijadikan buku ini ditulis dengan sistematik ini mungkin tidak begitu dipahami oleh awam. Analisis wacana digunakan dalam memahami makna pidato politik Soeharto yang dijelaskan pada awal bab terdengar kurang akrab bagi mereka yang tidak mendalami penelitian dalam ilmu sosial atau komunikasi kontemporer. Bagi para akademisi, pengamat, pembuat kebijakan, ilmuwan, buku ini menjadi alternatif wacana yang hampir jarang terdapat di Indonesia. Tapi setidaknya, buku ini mampu memberikan kontribusi pemikiran kepada kita tentang apa yang harus dilakukan untuk menghadapi Soeharto yang masih “dingin” dan penuh misteri. Menjadi perenungan apakah pengadilan Soeharto dianggap penting dengan hanya menghitung kembali jumlah kerugian secara materil/ekonomi ? Apakah kerugian sosial (social cos)t yang telah membuat peradaban bangsa ini terpuruk dan pola pikir serta perilaku korup hampir pada setiap elemen kehidupan yang telah dipupuk selama 32 tahun oleh pemerintahan orde baru menjadi “terlupakan” dalam semangat pengadilan Soeharto (juga keluarga dan kroni-kroninya) ? Bahkan untuk mengkritisi masih adakah “Soeharto-soeharto” baru lahir pada pemerintahan kita saat ini ? Atau malah kita sendiri pelaku-pelaku kerusakan besar bangsa ini ?

Globalisasi Kemanusiaan

Semoga hanya sebuah syair,

Ketika laut ditanami ranjau
dan kapal-kapal urung berlayar
kubangun sendiri laut di hatiku
lebih luas
lebih dalam
laut kulayari sampai jauh
sampai ke teluk-Mu
Ketika bukit-bukitan dan gunung-gunung digunduli
dan dirampas kecelakaan
berjuta burung pun kau usir dari kehidupan
kubikin sendiri gunung di hatiku
lebih tinggi
lebih hijau
gunung kudaki sampai ke puncaknya

(HS Djurtatap, Tadarus Puisi di TIM)

Baju Global, Pemikiran Lokal

Beberapa teman pernah mengatakan, yang namanya militer Indonesia itu gayanya gagah seperti Rambo. Badannya kekar, garis mukanya keras, dan selalu membawa senjata. Senjatanya model SS, M-16, ditambah kendaraan seperti panser, buatan Indonesia dan luar negeri. Tapi sayang, kalau Rambo bisa bertarung sendiri di hutan Vietnam yang luas sementara militer Indonesia hanya berani sweeping kalau pergi bersama-sama. Padahal peralatan militernya jauh lebih lengkap. Ternyata, itu tidak menjamin keberanian mentalnya ketika berhadapan dengan sekelompok orang yang disebut kelompok sipil bersenjata.
Lain lagi cerita tentang Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Badan tegap, berjambang, sorot mata tajam, kulit agak hitam, bisa berbahasa Aceh, maka bergabunglah bersama GAM ! GAM jauh lebih gagah dari militer. Bukan hanya penampilan tapi juga kecerdasan dalam strategi perangnya. Strategi gerilya ala Rambo. Senjatanya _ AK-47, M-16, GLM, Manggis_ buatan Indonesia dan luar negeri. Handphone _ sarana the connecting people _ ataupun handy talky (HT) produknya Amerika dan Korea adalah gaya sebagian orang-orang GAM. Kecerdasan strategi yang dimiliki Kopassus disinyalir juga menjadi ciri strategi GAM sehingga wajar saja pasukan seperti brimob atau polisi biasa tak mampu berbuat apa-apa. “Ya .. seperti film-film action di TV-TV itulah … “
Lain dengan gaya pejabat pemerintah daerah. Mereka mengendarai mobil dinas Toyota Kijang, memegang handphone produk Amerika dan Jepang yang berganti-ganti modelnya, memakai safari yang terbuat dari wool Australia yang sebenarnya sangat gerah kalau digunakan di daerah sepanas Aceh ditambah dasi merek Gianni Versace yang dibeli ketika berjalan-jalan ke luar kota untuk urusan dinas.
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pun tak ketinggalan. Kehadirannya bertambah marak ketika kasus Aceh mengemuka setelah Mei 1998 lalu. Hampir semua membawa isu demokratisasi, pelanggaran HAM, pemberdayaan masyarakat, dan demiliterisme. Mereka mendapatkan dana pergerakan dari bantuan luar negeri atau dalam negeri. Jaringannya pun bukan hanya di Indonesia tapi juga negara-negara seperti Amerika, Eropa, dan Asia. Hingga terkadang menjadi sangat wajar ketika handphone atau laptop menjadi salah satu kebutuhannya. Safari plus dasi pun terpaksa selalu dikenakan untuk menghadiri seminar di hotel-hotel atau restoran-restoran. Katanya ini semua untuk negosiasi dan transformasi wacana.
Masyarakat awam malah memilih diam dalam kondisi konflik seperti ini. Lebih baik nongkrong di rumah sambil nonton telenovela di RCTI, “Kuch-Kuch Hota Hai” di Video Compact Disc (VCD), “Hikayat Hang Tuah” di TV3 Malaysia. Hampir semua menggunakan TV merek Sony atau Sharp. Sebagian saluran TV asing dapat dicapai oleh parabola. Ibu-ibu memasak memakai kompor gas Hitachi atau Hock. membuat es di kulkas Toshiba atau memanggang kue di microwave. Sementara sang bapak merokok dengan Dji Sam Soe, menggunakan sepatu Spotec atau kemeja bermerek Yves Saint Laurent.
Teman saya yang calon dokter pernah bilang, kalau sebagian besar mahasiswa di Aceh suka nongkrong di kedai kopi. Minum kopi dan makan martabak telur sambil nonton MTV dan sesekali mengisap rokok Sampoerna . Celana Levi’s, kemeja Hammer, dan topi Sport yang mereka kenakan terlihat casual, katanya. Sementara sebagian mahasiswinya terlihat di sudut-sudut pusat belanja dan pasar. Menggunakan kerudung atau selendang dengan paduan kemeja Country Fiesta dan celana Lee.
Itulah realitas masyarakat yang begitu kaya dengan kemasan dan simbol-simbol. Merek-merek di atas adalah produk global. Sebagian besar diproduksi oleh negara seperti Amerika, Jepang, Korea, dan Prancis. Tapi kita dengan mudah menemuinya di sudut-sudut kota kecil seperti Aceh. Jarak ribuan mil antara Aceh dan Amerika bukanlah penghalang kedekatan psikologis masyarakat Aceh terhadap produk-produk Amerika. Amerika hadir di Aceh dalam wujud pakaian, film dan makanannya. Siapa yang tak kenal celana Lee, Rambo, dan Kentucky ?
Penulis tak ingin menyalahkan Amerika dan negara-negara lain dengan produk-produknya. Globalisasi media yang tak kenal tapal batas (borderless) saat ini telah menyebabkan akulturasi sedemikian rupa terhadap pusat-pusat kebudayaan. Masalahnya adalah ketika globalisasi hanya memperkaya gaya hidup kita tetapi bukan kehidupan itu sendiri. Hingga jadilah kita bangsa imitasi yang tak memiliki identitas dan karakter khas. Sementara kekayaan hidup hanya dapat ditemukan pada keluasan pikiran dan kejernihan hati nurani. Bagaimana kekayaan hidup akan dimiliki jika menurut Alexander Solzhenitsyn, globalisasi tidak menjadikan jiwa semakin tumbuh malah membuatnya semakin dangkal dan kehidupan spiritual pun menurun. Mengapa gaya global kita tak terlihat juga pada pemikiran yang universal ?

Globalisasi Permasalahan Aceh


Syair di atas menggambarkan bagaimana sikap kolektif masyarakat yang merasa gagal melakukan perubahan dengan cara masing-masing dan akhirnya mengambil sikap mundur dan mencari jalan lain untuk mendapatkan kepuasan pribadi (Kompas, 28 Juni 2000) . Saya khawatir, Aceh pun akan mengalami hal yang sama. Permasalahan Aceh yang semakin berlarut-larut seperti tak menunjukkan titik terang. Beberapa solusi yang ditawarkan _ meredeka, otonomi khusus dan referendum _ selalu menjadi diskusi yang tak pernah selesai. Pada akhirnya, pulanglah kita dengan pikiran masing-masing lalu perjuangan akan tetap dilanjutkan sendiri-sendiri. Aku berjuang sebagai bangsa Aceh, kamu berpikir sebagai orang Indonesia dan kalian adalah orang-orang yang tak mengerti sejarah. Titik.
Sampai kapanpun jika kondisi terus dibiarkan seperti ini, perdamaian dan kemerdekaan tak akan penah diraih. Bukan hanya di Aceh tapi di seluruh negara yang ada di dunia ini. Hingga sebuah perdamaian, kemerdekaan dan cinta kasih sebuah negeri hanyalah menjadi bagian dari bunga tidur kita.
Globalisasi gaya telah kita lakukan dengan sadar. Maka saatnya sudah globalisasi pikir dan hati kita lakukan juga pada masalah Aceh. Caranya cukup sederhana, mulailah dengan menarik nafas Anda dalam-dalam dan keluarkan, kosongkan pikiran, pusatkan perhatian, bersihkan hati dari keduniawian dan tetap bertahan. Ini bukan gaya Shaolin, hanya salah satu cara untuk berkonsentrasi. Sebab globalisasi pikir dan hati merupakan pembicaraan masalah content (isi) yang substansial bukan lagi sekedar gaya yang artifisial.
Globalisasi pikir terhadap masalah Aceh dapat dilakukan dalam dua hal. Pertama, Aceh dipandang sebagai konteks kemanusiaan yang universal dan kedua, Aceh dilihat sebagai salah satu bagian dunia yang saling ketergantungan (interdependency) dan saling keterkaitan (interconnection) dengan bagian-bagian lainnya.
Permasalahan ketidakadilan dan kekerasan baik secara politik, ekonomi, budaya, hukum, dan militer merupakan isu kemanusiaan universal. Manusia sebagai makhluk individu memiliki kualitas pribadi yang berpotensi untuk memprodukai ketidakadilan dan kekerasan. Bibit-bibit itu oleh Gede Prama disebut sebagai Aku. Keakuan tersebut bersumber dari keyakinan dan perasaan yang selalu benar, harga diri yang tinggi, dan keserakahan terhadap harta. Perasaan dan keyakinan seperti ini terdapat dalam setiap diri manusia, dimana dan kapan pun. Ini berarti, setiap tindakan yang disebabkan oleh penggalian berlebihan (hyper exploration) secara negatif akan melanggar nilai-nilai kemanusiaan universal. Dan harus diajukan ke pengadilan kemanusiaan universal. Kondisi yang terjadi saat ini di Aceh pun harus dilihat dalam konteks seperti itu. Baik militer, pemerintah daerah, GAM, mahasiswa, LSM, masyarakat awam yang melanggar nilai-nilai kemanusiaan universal ini harus dijadikan musuh bersama. Penghancuran musuh bersama ini bukan dengan kembali melakukan pelanggaran kemanusiaan. Tapi merupakan gerakan penggalangan opini dan kekuatan kritis masyarakat global untuk mengendalikan sumber-sumber keakuan yang berlebihan itu. Dalam perspektisf Islam, hal ini merupakan penafsiran terhadap ayat tawashau bil haq watawashau bis shabr, saling nasihat-menasihati dalam kebenaran dan saling nasihat-menasihati dengan kesabaran.
Aceh secara de facto dan de jure selama 55 tahun telah menjadi bagian dari Indonesia walau menurut perspektif GAM, Aceh merupakan sebuah bangsa yang berdaulat dan telah merdeka jauh sebelum Indonesia merdeka. Lepas dari itu semua, globalisasi yang tanpa kenal tapal batas itu nyatanya semakin lama semakin mengaburkan eksistensi kenegaraan itu sendiri. .
Era global yang ditandai oleh saling ketergantungan (interdependency) dan saling keterkaitan (interconnection) tidak hanya terjadi antar negara tapi juga antar individu. Ini berakibat pada dunia yang terasa semakin kecil, batas antara negara semakin kabur, kedaulatan negara dan integritas teritorial makin terkikis maknanya. Lihatlah bagaimana internet _ media komunikasi global _ dapat menerbangkan kita ke seluruh dunia tanpa harus mengurus paspor, membayar visa dan membeli tiket pesawat. Pada era ini terjadi beberapa perubahan mendasar diantaranya ; bergesernya konstelasi politik global dari kerangka bipolar menjadi multipolar, meningkatnya peranan kekuatan-kekuatan non-pemerintah dalam hubungan tata negara, menguatnya gejala ketergantungan, dan munculnya isu-isu baru dalam agenda internasional seperti Hak Azasi Manusia (HAM), intervensi humaniter, demokrasi dan demokratisasi, good governance, dan lingkungan hidup.
Tantangan masa depan yang berdampak global pada seluruh aspek kehidupan ini pun harus tergambar dalam pergerakan yang dilakukan masyarakat sipil. Setiap elemen masyarakat sipil harus saling bersatu untuk menghadapi guncangan terhadap pengurangan atau restriksi hak-hak mereka. Oleh karena itulah pandangan bahwa telah terjadi pengingkaran sejarah sehingga Aceh tak layak menjadi bagian dari negara kesatuan RI terlihat berjalan di tempat. Pemahaman terhadap sejarah adalah kesadaran akan dimensi ruang dan waktu. Dimensi waktu sejarah berarti bicara mengenai pemetaan masa lalu, merumuskan kesadaran masa kini dan menangkap bayang-bayang konkret tantangan masa depan. Sedangkan dimensi ruang berarti adanya konteks yang aktual antara dinamika masyarakat dengan dimensi waktu yang telah dijelaskan di atas. Ketika pergerakan menggugat sejarah tidak berpijak pada logika ini maka tak pernah ada lagi pembicaraan rasional yang bijaksana. Sebuah hadits Rasulullah mengingatkan, “Jika hari ini lebih baik daripada hari kemarin maka ia orang yang beruntung, jika hari ini hari ini sama dengan hari kemarin maka ia orang yang merugi, jika hari ini lebih buruk dari hari kemarin maka ia orang yang celaka.”
Kemudian, kita harus melakukan globalisasi hati. Ia dilakukan oleh individu, keluarga, masyarakat, bangsa yang berpegang pada kebenaran, menjunjung perdamaian, menghindari perampasan harta dan nyawa yang bukan haknya dan memiliki kecintaan pada sesama manusia ciptaan Tuhan. Secara praksis, ini adalah kegiatan reflektif yang dilakukan oleh hati nurani terhadap segala perkataan dan perbuatan selama ini. Begitu banyak fitnah, prasangka, dan kedengkian yang bersarang di hati kita sehingga tindakan yang dilakukan selama ini menjadi begitu emosional. Potensi keakuan yang melekat pada hati manusia lebih bersandar pada materi dan keduniawian. Dalam sebuah kandungan kitab Durratun Nashihin dikatakan, “Barangsiapa mementingkan urusan dunia menjadi tujuan dan kesibukan utamanya maka akan melekat pada hatinya empat perkara :
Kegelisahan yang tidak akan pernah hilang,
Kesibukan yang tidak akan habis-habisnya
Kemiskinan yang tidak akan mencapai kekayaan
Harapan yang tidak akan mencapai akhirnya
Akhirnya, globalisasi aksi menjadi wujud kerja pikir dan hati.. “Think globally, act locally. Berpikir secara global tapi tindakan dilakukan secara lokal. Ketidakadilan dan kekerasan dalam seluruh aspek kehidupan di Aceh harus menjadi isu-isu universal di media global. Sehingga masa depan Aceh seharusnya juga berada dalam perencanaan masa depan global dan bukan menjadi masalah orang-orang Aceh saja. Sementara nilai-nilai perdamaian, cinta kasih dan kemerdekaan harus menjadi tindakan lokal setiap individu, keluarga, dan masyarakat Aceh. Tindakan lokal ini pada saatnya akan seperti bola salju (snowball) bagi tindakan-tindakan lokal lainnya dalam pentas global.

Bandung, Oktober 2000

Biodiversity On the Stairs

Ketika teman-teman ’97 bicara tentang buku the one and only ini, dalam 2 jam kemudian, aku berpikir tentang “tangga”.

Ketika seseorang ingin melangkah ke tempat yang lebih tinggi, tangga menjadi salah satu pilihannya (selain escalator yang disebut tangga berjalan atau lift, si tangga terbang). Tangga dapat dibaca sebagai sebuah symbol ; step by step, rendah – tinggi, dan ringan – berat.

Step by step, berarti langkah satu-satu. Ini menunjukkan posisi dinamis, tidak stagnan. Sedangkan rendah – tinggi, berarti tiap langkah dinamis dalam menapaki tangga menunjukkan posisi progress dari tempat yang rendah menuju tempat yang lebih tinggi. Sementara ringan – berat, berarti semakin melangkah pada tangga yang lebih tinggi, tekanan pada fisik dan psikis akan semakin berat (coba bayangkan, kalo sudah berada di puncak lalu melihat ke bawah?!)

Hmmmm …. Bahasan sok ilmiah ini awalnya memang untuk menarik perhatian. Kalo anda masih membaca sampe kalimat ini, tandanya anda memang masih tertarik melanjutkan bualan saya ini. Baiklah dilanjutkan … !

Pada 5 tahun yang lalu (tepatnya 1997), pengumuman UMPTN di koran2 itu telah memaksa sekitar 200 anak “bergabung” di sebuah kampus kecil bernama “Ilmu Komunikasi”. Datang dari berbagai latar belakang sosial yang berbeda. Ada yang dari daerah2 kecil hingga metropolitan seperti Jakarta. Setumpuk kebanggaan dan segepok harapan terbebani di pundak tiap 200 kepala itu. Dimulailah cerita tentang : menuai masa depan !

Masa depan disimbolkan dengan puncak sebuah bangunan. Untuk mencapai itulah, diperlukan tangga-tangga yang harus ditapaki oleh tiap 200 kepala itu. Dengan beragamnya latar belakang kehidupan tadi, proses meniti masa depan ini akan diceritakan melalui kisah : biodiversity on the stairs.

Potret Serambi Mekah di Persimpangan Jalan

Judul : Aceh di Persimpangan Jalan
Penulis : Syarifudin Tippe
Editor : Fairus M. Nur Ibrahim dkk
Kata Pengantar : Indria Samego
Cetakan Pertama : November 2000
Penerbit : Pustaka Cidesindo
Hal : 150 + xxviii


Berita kematian hampir tiap hari mengisi halaman-halaman harian Serambi Indonesia, koran lokal Aceh. Penembakan oleh orang yang tak dikenal, penculikan yang hilang ditelan rimba, pembakaran entah oleh siapa yang telah menambah daftar korban kemanusiaan. Saking lazimnya, daftar korban ini telah menjadi perhitungan kuantitatif, seperti yang diungkapkan oleh Nikita Krushev, mantan PM Uni Soviet, “One man death is a tragedy, but a million’s death is statistic.” Masing-masing pihak saling menuding. Pihak TNI mengatakan ini kerjaan GAM, sementara GAM memastikan semua ini ulah kebiadaban TNI. Masyarakat awam memilih diam, pemerintah daerah tak berani berkutik biar cari selamat, ulama hanya diam (mungkin hanya mampu berdoa), dan mahasiswa gamang diintimidasi oleh kekuatan-kekutan bersenjata.

Aceh berada di persimpangan jalan yang menakutkan. Mau ke kanan, ada jurang. Ke kiri, banyak binatang buas. Ibarat makan buah simalakama, konflik di Aceh ibarat benang kusut yang tak jelas awal ujungnya. Penyelesaian konflik datang dari berbagai macam pihak ; operasi militer untuk menumpas GAM yang disebut oleh TNI sebagai gerakan separatis, otonomi daerah dari pemerintah, referendum yang asalnya dari intelektual muda, dan kemerdekaan teritori dari GAM sebagai sesuatu yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Solusi konflik bukan malah memberikan titik terang tapi malah menjadi sama rumitnya dengan permasalahan. Sampai kapankah Aceh akan membelokkan kemudinya, ke kiri, kanan, lurus atau tetap berhenti di persimpangan jalannya ?

Ungkapan kerisauan akan kerumitan konflik Aceh ini terungkap sebagiannya dalam buku ini. Ditulis oleh seorang perwira TNI, Syarifuddin Tippe, yang menjalani tugas militer di Aceh sejak 1999. Putra Makassar ini selain aktif di lapangan juga aktif dalam kegiatan belajar-mengajar. Sebutan sebagai perwira akademik, rasanya pantas dilekatkan padanya. Usai menamatkan pendidikan di AKABRI Darat (1975) ia ditempatkan di berbagai daerah seperti Kalimantan Barat, Bogor, Magelang, Sumatera Selatan, Bandung, Jakarta, dan kini di Banda Aceh sebagai Danrem 012/ Teuku Umar. Pada 1990 ia menyelesaikan pendidikan di Seskoad lalu mengikuti Sesko Comparative di AS (1992), dan DMS (Defence Management Seminary) di Australia (1994). Setelah menyelesaikan pendidikan S 1 di Universitas Terbuka, sang kolonel ini pun melanjutkan pendidikan S 2 di Universitas Jayabaya, Pascasarjana Hubungan Internasional (1998).

Pengikut Award

Dalam sebuah diskusi di “ruang maya” di sebuah mailing list komunitas Aceh, ada yang ingin saya bagi : oleh-oleh berpikir ! Hancurnya WTC pada 11 September lalu, mau tidak mau merubah tren isu diskusi yang selama ini berputar pada persoalan konflik Aceh. Saya pikir, ini bukan latah, mau tidak mau suka tidak suka, tragedi itu memang telah menggerogoti “kemapanan ideologis” kita selama ini. “Made in Amerika” yang bukan hanya melekat pada barang-barang konsumsi kita tapi juga pada “kepala-kepala” kita yang bernama : pola pikir !

Salah seorang peserta diskusi dengan sangat emosi menulis “ . Maafkan saya kalau terpaksa katakan : kita terlalu sering emosional dan reaktif. Walau harus dimaklumi, mungkin memang itulah sifat manusia (Indonesia ?). Kita benar-benar baru berani teriak : bunuh “Amerika” ketika hampir semua suara mengecam kebiadabannya terhadap Afganistan. Atau ketika simbol-simbol kedigdayaan ekonomi dan pertahanannya dihancurkan terorisme yang tak jelas siapa sampai sekarang, nyali kita yang langsung “ciut”, negara super power itu saja bisa hancur ? Tapi coba flash back, siapa yang berani “menahan” ketergantungan ekonomi dan teknologinya terhadap Amerika sebelum WTC hancur oleh teroris ? Kita malah “berlomba-lomba” ulurkan tangan pada Amerika dengan garansi “US Aid” atau sangat bangga jawab “Baru pulang dari New York”. Kalau saja boleh mencatat, hanya Irak dan Iran, salah satu negara yang memang berani pasang wajah “ogah” bersalaman dengan Amerika, jauh sebelum WTC hancur. Lalu sekarang malah kita yang teriak-teriak bak pahlawan dan pejuang jihad militan. Bukannya salah atau terlambat, tapi sepertinya terlalu banyak “komunitas” orang-orang seperti ini di negara kita : para pengikut absurd !

Mengutip sebuah tulisan Jacob Soemardjo (Harian Kompas), seorang budayawan yang juga dosen seni, ada beberapa karakteristik komunitas pengikut ; dia ada di luar organisasi, massa yang amorf, tak berbentuk, tak dapat dipetakan, tak dapat diduga, hanya memahami bagian-bagian dari struktur pemikiran yang utuh, berpotensi sebagai pengkhianat, dan menjadi korban tak bernama yang mati sia-sia

Dengan sangat hormat surat ini dilanjutkan kepada :
1. Gerakan-gerakan pengikut yang mengatasnamakan diri sebagai gerakan yang wajib diikuti
2. Organisasi-organisasi pengikut yang selalu saja ingin diikuti
3. Lembaga-lembaga sosial yang selalu memaksa untuk harus diikuti
4. Tokoh-tokoh masyarakat yang merasa dirinya pantas menjadi kiblat para pengikut sejati
5. Pemimpin-pemimpin yang merasa dirinya titisan Sang Abadi yang pantas diikuti
6. Siapapun dia yang menjadi pengikut hingga kini.

JUMUD

“Jumud … jumud … jumud …”
“Kenapa kamu ?”
“Ya, jumud !”
“Tau, tapi ya napa ?”
“Kok malah napa ? Tau jumud kan ?”
Acil bengong. Garuk-garuk kepala. Ya jelas tau dong. Jumud kan …
“Hehehe … iya ya ?”
“Makanya jangan tanya kenapa ? Tau juga kagak !”
Blup ! Merah padam. Wajahnya Acil. Sialan !”


Acil buka-buka Kamus Besar Bahasa Indonesia. Nothing. Jumud … jumud … Yang ada juga Jumat. Lha, itu kan nama hari ? Lembar … lembar … lembar … Pluk, matanya tertutup. Hampir dua jam ia cari : jumud. Sia-sia. Tertidur Acil di antara kamus-kamus. Bahasa Indonesia. Inggris. Jerman. Prancis. Jepang.
Sudah seminggu ini, Nimla terlihat be-te. Wajahnya cemberut. Tak ada lagi senyum. Bicaranya sedikit.
“Kenapa Nimla ?”
“Kenapa Nimla ?”
Nimla, kenapa ? Kok mirip teletubbies ya ?

Bandung, 30 Oktober 2001
Buat : Mama seorang … !
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Lama Nimla tak berkirim surat. Maapin Nimla ya, Ma ? Dibilangin sibuk, iya juga. Dikatakan tidak, gimana ya ? Tapi yang jelas, Nimla lagi jumud.
Mama sayang …
Mama pasti ingat, tiga tahun lalu, ketika Nimla minta restumu untuk pindah sekolah ke sini, “Nimla bosan, Ma !”
Nimla bukan tak bersyukur, terlahir dari keluarga berkecukupan. Memiliki mama sepertimu. Tegar dan tidak cengeng walau telah ditinggal papa. Tapi, Mama pasti ingat, “Kenapa mereka tetap miskin, Ma ?”
Coba liat, di sekelilingnya pipa-pipa gas yang memroduksi gas jutaan dolar. Tapi mana tetesan kesejahteraan buat masyarakat di luar pagar-pagar besi itu, Ma ? Pertanyaan itu tak pernah mama jawab. “Bersyukurlah,” hanya satu kata itu.
“Apa itu syukur, Ma ?”
Lagi-lagi tak pernah ada jawaban. Hingga Nimla mohon padamu, bolehkah Nimla pergi dari sini, Ma ? Mencari arti syukur ?
Sekarang, Nimla kembali bosan. Berharap bertemu dengan syukur, nihil. Nimla pernah berbangga padamu, Ma. Di sini, Nimla mengaji dengan benar. Juga kenakan jilbab, bukan hanya ke sekolah. Tapi lagi-lagi, Nimla tanya apa itu syukur pada guru ngaji, “Inilah ayat-ayatnya … “

Mata air – Air mata

Saya teringat dengan diskusi bersama seorang teman di internet, “Jangan terlalu pusing dengan banjir di Jakarta. Dimana-mana banjir di dunia ini, selalu berawal dari mata air dan berakhir dengan air mata.” Kata-kata itu cukup melekat pada ingatanku karena dalam satu bulan ini diskusi kami memang berkisar pada persoalan “mata”. Sambil mengakui bahwa teman saya itu memang cerdas, saya pun berpikir untuk melanjutkan kisahnya.

Pada beberapa minggu lalu Jakarta banjir. Media massa “sibuk” menceritakan berbagai kisah di balik tragedi ini. Rumah yang hanya terlihat atapnya. Sungai Ciliwung yang meluap. Tempat pengungsian para korban. “Kepusingan” pemerintah dalam menangani bencana yang “out of prediction”. Beberapa orang dinyatakan tewas. Hari itu (Sabtu, 2/2/02), banjir telah turun dari langit lalu bermuara di kelopak mata.

Air mata tragedi itu telah mengingatkan saya pada mata air yang tidak dijaga oleh kita. Mata air yang (seharusnya) dijaga oleh akar pepohonan. Tapi pohon-pohon itu malah kita tebang dengan penuh hawa nafsu keuntungan ekonomi. Hutan dibuka untuk berladang. Kayu dan daunnya dibakar. Setelahnya ditinggal begitu saja. Hutan menjadi gundul. Tanah menjadi tandus, lalu disebutlah ia lahan tidur.

Belum habis itu, di atas akar yang tak lagi berbatang dan berdaun, kita bangun estat-estat mewah (sekarang malah collaps dengan terbukanya skandal kecurangan proyek developer). Estat-estat mewah yang akhirnya menjadi ukuran status sosial itu dibangun di atas mata air yang kehilangan tempat bernaungnya, akar. Kemana mata air harus mengalirkan dirinya dengan tenang, tak ada akar yang menahan alirannya. Mata air pun berjalan dengan tak punya “pegangan” apa-apa.

Mata air tak pernah berniat untuk membenamkan kita dengan airmatanya. Ia malah dengan ikhlas simpan airmatanya, di akar yang kokoh ... tapi sayang, kitalah yang telah rusakkan mata hati untuk tetap menjaga akar, dimana mata air harus menyimpan air matanya. Mata air tak minta banyak, hanya minta jagalah akar (karena ia tak mampu lakukan kerja itu sendiri). Mata air tak minta banyak, ia malah berikan lebih dengan cinta tanpa pamrih : memberikan kita air mata. Air mata yang malah suburkan sawah, tempat tumbuhnya beras yang kita makan Air mata yang kita minum agar tetap bertahan hidup. Air mata yang kita gunakan untuk mencuci pakaian-pakaian kita yang kotor akibat keringat dan debu. Air mata yang kita pakai untuk mencuci beras, sayur, dan bahan makanan lain agar kita tetap hidup dan sehat. Jadi mengapa harus salahkan mata air (baca : banjir) ketika kita hancurkan “tanah” dan “akar” kehidupannya ?