site meter

Senin, 08 Februari 2010

Bung Pren "On the Block"

Bung Pren adalah tokoh kita di PenaPensil, hasil guratan tangan Adepepe Sutrisna, ayah dari Raka Athaya yang saat ini masih beraktivitas di TV One Jakarta. Bung Pren adalah tokoh tentang seorang pengusaha yang memiliki banyak ide cerdas namun seringnya salah kaprah.

Kolom TaSaRo : How to Write a Novel

PenaPensil memberikan ruang bagi Tasaro, novelis yang beken dengan Galaksi Kinanti dan juga "pekerja" di Salamadani Publishing untuk berbagi tentang bagaimana teori membuat sebuah novel. Kerja Keras!

Jawab dulu pertanyaan ini ketika kita hendak menulis NOVEL

1.Siapa tokoh utama kita ?
2.Apa yang paling diinginkannya ?
3.Siapa yang akan menghalangi impiannya ?
4.Alur jatuh bangun macam apa yang membuat tokoh tercerahkan ?
5.Cara penuh perjuangan seperti apa yang dijalani tokoh kita saat memperoleh
kemenangan ?
6.Adegan dramatik seperti apa yang dialami tokoh untuk meraih kemenangan ?
7.Ending seperti apa yang anda pilih ?

Bau Pesing, Toilet Tau!

Bukan hal yang aneh, bau pesing di toilet. Memang begitulah asalnya. Manusia mengeluarkan air seni, keringat, faeces. Semua itu kotoran. Metabolisme tubuh. Alami. Sunnatullah.

Namun, bau pesing yang terus saja berlangsung lama di KA. Dari zaman baheula hingga sekarang, ini luar biasa. Adakah solusi bagaimana bau pesing dapat hilang dari kereta api? Bisakah toiletnya diberi karbol? Biar ilang dikit gitu lo baunya. Gimana yah?

Inikah yang disebut dengan Kesejahteraan?

KA, sarana transportasi darat yang menyenangkan. Sepertinya senangnya kita menyanyikan lagu ini pada masa kecil.

"Naik kereta api tut tut
Siapa hendak turut
Ke Bandung Surabaya
Bolehlah naik dengan percuma
Ayo, kawanku lekas naik
keretaku tak berhenti lama"

Sepanjang perjalanan naik KA, Sang Penguasa menyuguhkan coretan-coretan indah ini ; sungai, sawah, pegunungan. Horizon. api. Berjejer. Awan. Tak terkatakan.

Namun, situasi ini juga pasti tak luput dalam pandangan kita. Gubug-gubug reot yang tidak memenuhi standar layak disebut rumah sehat apalagi kuat. Entah sejak kapan rumah itu dibangun dan berapa biaya untuk membangunnya. Bagaimana mereka bisa hidup dalam situasi seperti itu? Hingga tak heran, jika pelemparan batu ke jendela KA yang sedang berjalan oleh sekelompok orang atau oknum dianggap biasa-biasa saja. Inikah ekspresi, huh?

Pertama kali saya naik KA memang di Tanah Jawa. Saya hendak mendaftarkan diri kuliah saat itu.
"Coba saja daftar ke swasta, jaga-jaga kalau kamu tidak diterima di PTN," begitu kata ayah saya.

Saya mencoba UI Depok saat itu. kali pertama ditemani selanjutnya saya pergi sendiri. Masih segar dalam ingatan saya saat naik KA dari Depok - Jakarta, seorang wanita terjatuh. Ia terlalu di pinggir. Darahnya muncrat. Menyeramkan. Bagaimana tidak. KRL terlalu padat. Berdesak-desakan. Belum lagi pemandangan orang-orang yang duduk di atas. Ini masih berlabgsung hingga sekarang. Belum banyak berubah. Sekali waktu saya hendak ke Mampang. Naik KA dari stasiun UI. Tak sengaja melihat tulisan Kanji di gerbong depan KA.
"Hmmm, di Jepangkah kita? Mengapa tulisan Kanji ada disana?"

Saya sampaikan itu pada suami.
"Yah, iyalah, wong kita beli bekas."

Saya memang belum pernah menimati bagaimana bagusnya KA di negeri orang. Tayangan TV dan info-info di media rasanya sudah cukup menggambarkan bagaimana nyamannya naik KA disana. Terang aja membaca buku di dalam KA menjadi kesenangan tersendiri di luar sana. Urusan KA dilakukan dengan benar! Jika saja, pemerintah dapat "melihat" ini, mengurusnya dengan tepat, tentu angka kematian dan kenakalan di KA akan dapat diminimalisir. Kita terus menunggu untuk ini. Semoga saja bukan lagi basa-basi.

Selamat Jalan, Gus!

Tidak sengaja, TVRI menayangkan potongan "omongan" Gus Dur tentang riba dan bunga bank dan saya menontonnya. Gus Dur tampak masih muda saat itu. Entah tahun berapa dokumenter itu dibuat. Tokoh besar NU itu menerangkan perihal kelebihan pinjaman kepada bank.
"Tidak ada masalah," katanya. Benarkah demikian?
Rasanya, saya harus kembali membuka-buka kitab suci untuk cross check soal ini. Saya berharap Dus Dur baik-baik saja. Selamat jalan, Gus!

ASHURA

Yose Rizal! Apa hubunganmu dengan pahlawan Philipina itu? Namakah yang kebetulan sama atau orangtuamu yang sengaja memberikan nama itu agar kau seperkasa Jose Rizal, Philipino itu?

Yose, kita pernah kenal masa kuliah dulu. Namun maafkan aku tak tau banyak dirimu. Jurusan kita berbeda, Se! Facebook kembali mempertemukan kita. Sore Sabtu, aku online disana, mengetikkan cinta dubidubidam di status updatesku. Kau menyapaku, "Sudah membaca buku Ayu Utami terbaru?"

"Ah, tentu belum Yose. Buku yang lamanya saja belum pernah kulahap apalagi yang terbaru. Apa kau mau menghadiahkan buku itu untukku agar segera kubaca dan kuposting untuk PenaPensil?

Yose, kita berjanji hari Minggu, pukul 1 siang di Jalan Jaksa, Jakarta untuk bicara soal PenaPensil. Kupikir nyambunglah karena ternyata kau membuka taman bacaan Ashura di gerbang Unpad Jatinangor, tempat kuliah kita dulu. Aku berangkat pagi dari Bandung menuju gambir.
"Naik bajaj aja ke Jalan Jaksa," katamu. Sekitar jam 12 siang KA tiba digambir. Belum telat. Aku memilih naik ojeg, hanya 15 ribu.
"Kau tau Jakarta?"
"Masih di Indonesia, kan?" jawabku.
"Lo kasih gw alamat, biar gw cari."

Yose, betul katamu, Jalan Jaksa tak terlalu jauh dari Gambir. Namun tak terlalu tepat karena bisalah dihitung berapa bule yang mondar-mandir disana. Countable, you know! Jam 1 kau tak datang, aku masih berharap kau selamat dan baik-baik saja. Menunggumu di Evita Cafe dan Resto, memesan sepiring roti bakar berisi keju. Yah, gw terpaksa jadi bule juga siang itu. Makan roti!

Bukan untuk sekedar berhemat karena ongkos semakin tipis, namun rasanya perutku memang sudah terlalu gendut untuk terlalu banyak menikmati makanan enak.

Jarum terus berjalan. Kau belum datang juga, Se. Apa aku yang tak jelas lagi dengan tampangmu. Soalnya sudah lama sekali, Bung! Untuk mengusir kekesalan dan kekhawatiran, aku pun terpaksa makan bakso, nimbrung dengan anak-anak muda, gadis-gadis ceria yang lagi praktek bahasa Inggris dan wawancara. Seorang bule keren asal Malaysia menjadi sasaran mereka.
"Ih, kok cakep, sih?"
Hhmmm. Orang cakep kok ya ditanya-tanya? Ada-ada saja.

Yose, kesabaranku habis juga. Rasanya Jakarta sudah terlalu panas buatku. Jam 14.30 kau tak muncul juga. Aku mondar-mandir mancari-cari tempat makan yang mungkin enak buat berteduh. Kucoba kontak teman-teman lama kita. Namun tak ada yang jelas info yang kudapat, Se. Hanya mereka-reka termasuk soal Ashura.

Aku mencari Ashura hari ini, tanggal 8 Februari 2010. Naik Damri dari depan Gasibu menuju Jatinangor. Persis seperti zaman kuliah dulu. Masih kunikmati indahnya silhoutte Manglayang. Segar. Unpad terlihat lebih rapi sekarang. Namun, sayang, waktuku tak cukup banyak untuk menyapa dosen-dosen dan menyambangi sekretariat dJatinangor, markas pers Mahasiswa. Walau kuingin. Itu tempat favorit sekaligus rumah menyenangkan masa muda dulu. Semoga nafas itu masih ada disana sampai sekarang. Ashura! Tepat seperti katamu, ada di gerbang Unpad, sisi kanan jika masuk dari Jalan Raya Bandung-Sumedang. Taman bacaan Komik.
"Pak Yose di Jakarta. Ini ada nomer telpon istrinya."

Ok, Yose ... kita belum dipertemukan di Jakarta bahkan di Jatinangor, tempat dimana kau "menanamkan" bisnismu. Hamun, aku akan coba mengontakmu walau lewat istrimu. untuk sekedar bertanya, "Are you fine? How about PenaPensil?"