site meter

Selasa, 19 Januari 2010

"Barangkali Ini Hanya Takdir Sejarah Saja"

Namanya Fuad Mardhatillah. Panggil saja "Bang Fuad". Dilahirkan 49 tahun lalu di Banda Aceh. Pernah melewatkan pendidikan di Bandung, Banda Aceh hingga Canada. Sebagai seorang aktivis LSM dan pengajar Ilmu Filsafat di Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Bang Fuad juga pernah memegang peranan penting pada masa Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh, after tsunami 2004. Tak heran, jika latar belakang dan pengalaman kerja yang banyak berhubungan dengan dunia pendidikan, telah menarik hati Kuntoro Mangkusubroto, Kepala BRR Aceh-Nias saat itu untuk menempatkan Bang Fuad pada posisi Deputi Agama dan Sosial Budaya Di BRR (Maret 2005 - Agustus 2006).

Saat ini selain masih "setia" mengajar di IAIN Ar Raniry Banda Aceh dan aktif di Aceh Institute, bersama-sama pemerintah daerah , Bang Fuad juga ikut membantu merancang program reformasi pendidikan Kabupaten Bireun. Walau Bang Fuad mengakuinya hanya sebagai takdir sejarah, namun kharisma seorang Fuad Mardhatillah telah menggerakkan tangan Pak Kun, begitu mantan Kepala BRR Aceh-Nias itu biasa disapa, menelpon langsung ayah dari empat anak ini dan memintanya memegang posisi "panas" di BRR 2005 silam.

Pertama saya mengenal Bang Fuad, dia selalu bergairah berbicara soal buku. Bahkan seperti yang diakuinya, pada masa BRR masih menjalankan tugas di Aceh, praktisi perbukuan Indonesia seperti Pak Hernowo dan intelektual muslim beken Jalaluddin Rahmat, adalah sebagian orang yang pernah diundang untuk mengisi Workshop penyusunan modul Sekolah Membaca-Menulis "Serampoe Teumuleh" yang dulu pernah diprakarsainya sewaktu di BRR (2007-2008).

"Saya juga membeli 15 judul buku karangan Bapak Hernowo yang berbicara tentang membaca dan menulis", akunya.

Hingga saat ini saya masih berdialog dengannya, Bang Fuad juga masih saja antusias untuk menerbitkan bukunya sendiri. Bukan sekedar kepuasan intelektual atau formalitas simbolik belaka, menuliskan banyak cerita dalam rekaman ingatan yang tersisa tentu warisan yang tak ternilai harganya. Insyaallah, jika tak ada aral, pada Maret 2010, bersama Ismet Fanany, seorang dosen di Deakin University Melbourne akan terbit sebuah buku berjudul "Post-Disaster Reconstruction".

Jangan lewatkan!

WE ACCEPT DINAR AS CURRENCY

"Mau dong CD-nya," begitu dua orang gadis cantik menghampiri stand saya ketika saya mengikuti Pasar Islam di MUI Depok.

"Waduh, gak dijual, Mbak,kalo di-copy boleh.Collected items, soalnya."
Seorang Bapak yang bekerja di salah satu BMT Depok pun mengatakan,"Kayaknya gak nemu lagi di pasaran."

"Iya atuh, soalnya saya gak beli di pasar, tapi di kios belakang Masjid Salman:)"
Berhubung istrinya mengelola salah satu TPA di daerah Gas Alam Depok, jadi jualah saya memberinya copy-an CD yang bertajuk "Khilafah Islam" itu.

CD bagus. Apa yang menarik dari sini?
"Kita baru buka butik kerudung di Parijs van Java Mall, apa yah yang menarik dari sini?"
"Bukankah sudah biasa di sebuah mall, di bagian depan pintu suka tertulis
We Accept VISA, MASTERCARD, AMEX etc?
Bukankah menjadi menarik jika WE ACCEPT DINAR DIRHAM, disematkan disana?
Sebab DINAR DIRHAM adalah CURRENCY. Tentu tak ada yang bisa dan mau menolaknya. Simple, bukan?