site meter

Selasa, 13 Juli 2010

on the laptop

akhirnya berjumpa juga saya dengan salah seorang penulis buku "Reconstruction After Disasters : Lessons from Aceh". Best takzim for Mr Ismet Fanany, Indonesians, long in Melbourne. "Kita mengikuti perintah Tuhan untuk bertebaran di muka bumi," begitu katanya menanggapi komentar saya tentang "kegemarannya" bertualang dan merantau.
Tak banyak yang ingin saya bagi untuk anda hanya sekedar menyampaikan bahwa saya respek untuk segala bentuk kegiatan riset yang kemudian dipublikasikan dalam sebuah buku. Riset butuh konsentrasi dan dana yang tidak sedikit sehingga dokumentasi dalam buku akan memberikan kontribusi berharga bagi warisan informasi untuk generasi penerus bangsa. Catatan sejarah tersimpan disana.
Viva piala dunia:) Ihhh, world cup pisan ... Kok lagunya keren amat yak???

From on the Laptop
Jakarta July 3, 2010

Part 3
Apa yang saya bincangkan ketika ketemu Mr Ismet? Yah, perkara humaniora atau ARTS. ART itu seni. Mr Ismet adalah dosen di Aussie, dimana Opera House ada disana dan Adelaide, adalah sebuah nama kota. “Aku pernah ke Bandung setelah dari Padang, kota itu pernah disinggahi lalu berlanjut di Malang. Agaknya jalanku memang jauh. Amerika menyapa setelah itu, apa pun kukerjakan disana hingga aku bertemu Rebecca, gadis Amerika yang telah memberiku dua orang anak yang kini sudah besar. Kami sekarang menetap di Melbourne. Deakin menitipkan banyak mahasiswa yang ingin belajar tentang Indonesia sehingga tiap tahun aku harus mampir ke Negara ini. Namun, sayang … lama kampung tak kusinggahi.”
Pak Ismet yang terhormat, terima kasih atas keramahan anda membayarkan kamar semalam saja di Jakarta. Saya harus belajar lagi menggesek kartu kunci kamar agar bisa beristirahat dengan enak. Namun sayang, dari lantai empat hotel bintang 5 itu saya tidak melihat Cikapundung. Rasanya agak sedikit rindu saya melihat keruhnya air sungai yang membelah sebagian besar Jakarta itu. Saya berjalan ke arah Ancol – Tanjung Priok , mungkin dulu Fatahillah pernah main2 disini. Air di sungai masih keruh, sepertinya ketika hujan deras turun, Cengkareng masih sedikit terganggu dengan air laut akan yang naik ke daratan.

Part 1
Back to Jakarta, it’s a pleasure. A big place in Indonesia. Le Meridien, it’s a hidden hotel. When u across Sudirman street you can see it, “le Meridien”, hhhummm. Why I can’t see clearly? My one glass was lost and I learn to see without glasses. Yap, I must try it and don’t be hesitate asking a answer, how the way I can reach it? Don’t forget, back to Jakarta is back to le Meridien!!

Part 2
Membawa pakaian basah ke sebuah hotel, emang baru nyuci dimana? Sungai Cikapundungkah? Tak terlihat dari sini. Dari lantai 4 “le Meridien” yang terlihat adalah deru kendaraan melaju dalam kecepatan rata-rata. Mencuci di sungai lama tak kita lakoni ketika tinggal di sebuah kota modern sebab air yang deras sudah disalurkan dengan sangat rapi melalui pipa-pipa yang dapat diakses dengan keran air. Sensasi mencuci di sungai mungkin hanya hadir dalam imajinasi seperti ingatan akan bidadari yang turun dari kahyangan ke bumi lalu mandi di sungai-sungai tanpa kembang tujuh rupa.