site meter

Jumat, 14 Januari 2011

"Menjatuhkan Presiden", Sebuah Praktek Kekerasan Berbahasa?

Saya ingin bertanya, anda mengikuti Pemilu Presiden RI 2009 lalu?
Jangan lanjutkan membaca jika anda bilang tidak sebab sudah pasti saya akan menebak bahwa anda masih di bawah umur, belum bisa bikin SIM, dan masih minta jajan dengan orangtua. Singkatnya, anda belum dewasa!

Saya agak sedikit pusing dengan beberapa pemberitaan di media massa (TV dan beberapa koran) yang masih saja terus "memanaskan" suasana. Bukan juga sebuah alasan bahwa media memang seharusnya demikian. Hanya dengan membaca kitab suci dan mengingat Allah, hati menjadi tenang. Anda setuju dengan hal ini? Jika setuju maka anda juga harus setuju dengan logika berikutnya, orang-orang yang senantiasa dekat dengan kitab suci dan Allah lah yang akan membuat suasana menjadi cair dan dingin. Tak ada yang harus dijatuhkan sebab berkuasanya seorang pemimpin adalah sebuah keniscayaan bahwa rakyat memang sudah menjatuhkan pilihannya. Kekuatan apa yang ada dalam hubungan kekuasaan saat ini? Adakah kasus penuntasan MegaKasus menjadi tanggung jawab penuh SBY?

Saya mendapat kiriman sebuah paper yang mengisahkan apa yang dilakukan SBY and his team dalam menangani Aceh setelah tsunami 2004 silam. Beberapa catatan yang masih saja saya simpan ketika Aceh teramat pilu masa DOM-Jeda Kemanusiaan-MOU Helsinki bersama keresahan-kersahan para aktivis gerakan yang tengah saya bikin kisah lanjutannya. Masa itu, kita butuh pemimpin yang kuat dan berani, bukan sekedar gila kuasa dan pongah akan seragam. Pemimpin yang kuatlah yang akan bisa melakukan kaderisasi pada generasi di bawahnya. Pemimpin yang sadar apa yang harus ia lakukan jika sudah tak lagi memiliki kekuatan pada suatu masa. Cobalah kembali buka, bagaimana Rasulullah SAW menyiapkan para sahabat, memberikan ceramah, dan bermain dengan anak-anak dari putri yang amat dicintainya (Fatimah az Zahra), Hasan dan Husayn.

Sebagai seorang warganegara, saya ikut Pemilu sebab sudah terlanjur memiliki KTP. Gara-gara itulah saya terdeteksi oleh panitia PEMILU untuk ikut mencoblos dan mencoreng Presiden pilihan. Saya memilih JK. Pertama, bukan karena JK sempat barengan ama SBY tapi karena saya tau JK itu tidak beda-beda banget ama SBY. Kedua, karena JK punya perusahaan jadi saya pikir dia orang yang sudah cukup berpengalaman melihat dinamika organisasi. Ketiga, karena JK orang Makassar, satu kampung dengan Habibie. Keempat, karena saya gak mungkin melakukan shooting di dalam kamar pemilih. Disana hanya ada pulpen dan jempol saya pun sudah dinodai oleh tinta biru itu.

Hmmm ... lalu? Yang menang : SBY. Saya marah? Gak bisa! Soalnya saya tau SBY itu sobatan ama JK. SBY gak mungkin bisa masuk Aceh kalau gak ada JK. Jadi? Penjatuhan terhadap posisi SBY adalah kriminalitas dan itu sama sekali tidak scientific. Darimanakah rumor ini mencuat? Adakah itu yang disebut wacana? Tidak! Itu konspirasi dan skenario. Wacana membutuhkan rasionalitas dan ilmu pengetahuan sebagai pisau analisisnya. Saya tidak suka jika kekerasan berbahasa itu masih saja dipertontonkan oleh media massa. Rasanya, para aktor di balik media massa sebaiknya kembali belajar menggunakan bahasa-bahasa yang menyenangkan ketika harus memublikasikan news dan views-nya. Tidak salah juga bila kita kembali membuka buku, membeli kamus-kamus yang ditulis para pendahulu walau memang sudah tidak ada lagi di dunia. Itu jariyah mereka.

Kita pernah mengalami situasi yang tidak menguntungkan ketika suatu masa, sekelompok mahasiswa yang setengah hati dalam melihat dinamika perubahan politik ternyata lebih doyan bicara tentang uang dan cinta daripada ikut membantu para sesepuh yang kebingungan dengan realitas politik di lapangan dan melihat catatan2 yang tertulis di atas kertas. Kelabilan kelompok muda telah menyakitkan kelompok lainnya hingga menjatuhkan kesehatan jiwa dan raga. Apakah kekerasan bahasa ini datang dari media massa atau mahasiswa? Entahlah. Apapun alasannya, prepare yourself untuk bersaing dengan SBY atau para tetua lainnya jika ingin ikut dan menjadi bagian dari lingkaran kekuasaan sebuah negara. Tuntaskan kerja yang tersisa, kembali belajar untuk bermain dengan sehat. Itu lebih baik daripada tidak melakukan apa-apa. Percayalah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar