site meter

Jumat, 12 Juni 2009

Dari Alun-alun Sampai Tegalega

Tegalega, sebuah daerah yang berada di Bandung Tengah, kini diusik permasalahan rumit. Tamannya tak terawat dan kotor. Praktek prostitusi kian marak. Pedagang kaki lima semakin banyak jumlahnya. Preman-preman sudah tanpa sungkan-sungkan lagi bertindak kriminal. Ini merupakan sebagian masalah yang sampai saat ini belum mendapat perhatian khusus. Padahal letaknya di gerbang tol Padalarang yang menjadi salah satu pintu masuk ke kota Bandung dari Jakarta, sungguh sangat strategis. Letaknya yang tak jauh dari pusat kota Alun-alun menjadikan kawasan ini selalu ramai oleh lalu lalang kendaraan pribadi ataupun angkutan kota (angkot).

Menyebut Tegalega, mengingatkan kita akan masa 40 tahun silam. Saat itu, Soekarno, Presiden pertama Indonesia, melakukan pidato politik untuk menggembleng semangat perjuangan Irian Barat pada Rapat Raksasa Merah Putih di Lapangan Tegalega. Jadi tidaklah berlebihan jika Taman Tegalega memiliki makna sejarah sendiri. Bahkan tepat di hadapannya, Musium Sri Baduga milik pemerintah Jawa Barat, berdiri dengan megahnya.
Lalu kesan apa yang tersisa dari Taman Tegalega saat ini ? Lihatlah potret penertiban wanita tuna susila (WTS), pembersihan pedagang kaki lima, preman-preman yang suka merongrong masyarakat sekitar, pengamen-pengamen kecil jalanan yang suka main paksa ketika meminta uang pada penumpang angkot. Potret Tegalega yang krisis fisik dan sosialnya semakin memburuk sepertinya sudah dianggap lumrah. Seperti krisis negara yang tak kunjung reda, masyarakat sepertinya sudah kebal, tutup mata, telinga atau bahkan tertutup hatinya.

Semrawutnya lapangan Tegalega merupakan sebagian potret pesona Bandung yang kian memudar. Menurut penduduk yang telah lama menetap di sini, wajah Bandung kini sudah tidak geulis seperti dulu lagi. Begitu banyak lahan hijau yang dijadikan kompleks perumahan yang padat dan berhimpit, udara kota pun tidak sesejuk dulu, krisis air bersih di beberapa daerah, dan macet yang mulai biasa terjadi pada jam-jam sibuk.

Meningkatnya jumlah penduduk memang diakui menambah permasalahan suatu kota. Lihat Jakarta, kota megapolitan itu semakin sesak oleh persoalan-persoalan fisik tata kota dan masalah-masalah sosial yang semakin kompleks. Bandung bukan hanya berperan sebagai pusat pemerintahan propinsi Jawa Barat, tapi juga telah berkembang menjadi kota bisnis, pendidikan, industri dan pariwisata yang penting di Indonesia. Dengan jumlah penduduk kota Bandung sebesar (sensus 1998) dan kepadatan penduduk 868 per km2 (BPS, 1995) bukan tak mungkin Bandung akan menjadi Jakarta kedua. Taman Tegalega, menjadi salah satu bagian potret kota yang hampir pecah itu. Tegalega memang tak sendirian, sebelum ini bahkan hingga sekarang, Taman Alun-alun yang terletak di depan Masjid Agung Bandung pun punya masalah sama.
Alun-alun adalah suatu daerah yang terletak di pusat kota Bandung dan sebuah taman kota antara pusat perbelanjaan Palaguna dan Dalem Kaum. Taman Alun-alun ini menjadi tempat singgah masyarakat yang baru berbelanja atau sekedar melepas lelah. Di sebelah selatan alun-alun terdapat pendopo kota Bandung yang pernah menjadi pusat pemerintahan, sedangkan di sebelah baratnya terdapat Mesjid Agung, yang telah berdiri sejak lama dan menjadi salah satu objek kunjungan andalan kota kembang ini. Diakui memang, mesjid besar ini menjadi simbol kebanggaan masyarakat Parijs van Java yang menambah kesemarakan dan kenyamanan kota Bandung. Tak jauh dari Alun-alun terdapat pusat perhentian taksi dan halte bus dalam kota yang menambah keramaian dan kepadatan lalu lintas kawasan ini.

Letaknya yang strategis ini menjadikan Alun-alun sebagai objek wisata primadona bagi wisatawan domestik dan mancanegara. Sehingga pusat perbelanjaan yang ada di Alun-alun ini menjadi tempat mencari oleh-oleh khas Parahyangan. Potensi ini “ditangkap” oleh para pedagang kaki lima (PKL). Belanja di swalayan atau toko memang agak mahal sehingga kaki lima menjadi tempat belanja alternatif bagi masyarakat. “Barang-barangnya tak kalah keren dengan toko, bisa ditawar lagi,” ujar Henny, salah seorang pembeli. Sebuah tas yang bermerek Elle, misalnya, di toko harganya bisa di atas seratus ribu, di emperan bisa ditawar sampai dua puluh ribuan. Memang menggiurkan, entah kualitas barangnya.

Potensi pasar ini mengundang “gairah” bisnis para pedagang kaki lima yang makin hari jumlahnya semakin bertambah. “Masa 1998 lalu, jumlah PKL itu hanya sekitar seribu orang, tapi sekarang jumlahnya sudah ratusan ribu,” ungkap Taufik Rachman, Kepala Dinas Pertanian yang juga mantan kepala dinas pertamanan ini. Peningkatan jumlah PKL ini menambah persoalan baru seperti semakin tak rapi dan bersihnya Taman Alun-alun bahkan pertengkaran sesama pedagang. Praktek-praktek preman dan tukang catut pun semakin marak, walau markas polisi lalu lintas ditempatkan di sana. Belum lagi pada malam hari, Alun-alun dikenal sebagai tempat “transaksi seks” para pekcum (perek cuma-cuma) dengan lelaki hidung belang.
Lagi-lagi, si taman yang bisu itu menjadi kambing hitam perilaku rusaknya manusia. Persoalan yang sudah menyangkut masalah sosial dan ekonomi itulah yang menyebabkan kawasan taman Alun-alun diblokir. Jadilah para pedagang berjualan di luar areal taman dan taman pun kembali difungsikan sebagai tempat rekreasi atau melepas lelah. Kawasan taman tetap menjadi tanggung jawab dinas pertamanan dan di luar areal itu menjadi tanggung jawab kotamadya dengan pengelola teknis khusus.

Pemblokiran kawasan Taman Alun-alun bukan berarti semua masalah telah selesai. Seiring dengan krisis ekonomi, persoalan sosial muncul semakin beragam. Pengangguran dan kesenjangan ekonomi memang menimbulkan permasalahan baru. Preman-preman berkeliaran dan melakukan tindak kriminal seperti mencopet dan berkelahi, pengamen jalanan yang kongkow-kongkow di persimpangan ataupun pinggir jalan bukan menjadi permasalahan ketertiban kota saja. Tak jarang, fasilitas umum di sekitar taman, seperti telepon umum, toilet umum menjadi sasaran “usil” mereka. Tetapi jika semua itu dihadapkan pada alasan krisis ekonomi dan ketidakadilan pembangunan negara selama ini, menjadi benarkah hal demikian ?

Bandung, 2002

1 komentar: