site meter

Jumat, 12 Juni 2009

Sesaat Bersama Pirous

Prof A.D. Pirous
Pelukis Kaligrafi Internasional Asal Aceh,
Guru Besar Seni Rupa ITB

Tenang dan diam, kesan pertama ketika bertemu dengan A.D Pirous di kediamannya, perumahan Cisitu Indah, daerah Bandung Utara. A.D. Pirous, seniman yang namanya monumental dalam perjalanan karya seni lukis kaligrafi Indonesia. Nama pelukis berdarah Aceh ini berdiri dalam jajaran pelukis Indonesia seperti Afandi, Ahmad Sadali, Popo Iskandar dan beberapa nama besar lainnya. Wajahnya khas orang Aceh dengan garis wajah yang keras dan pandangan mata yang tajam. Sekilas terlihat garang tapi ketika berbicara tentang seni, kehalusan dan kepekaan perasaanya sebagai seorang seniman tersibak.
Abdul Djalil Pirous, nama lengkapnya. Dilahirkan di Meulaboh, Aceh Barat pada 11 Maret 1932. Pirous, nama panggilannya, dilahirkan dari seorang ibu bernama Hamidah, seorang penyulam hias benang emas (kasab) di Meulaboh. Sementara ayahnya, Mouna Pirous Nur Muhammad adalah seorang pemilik perkebunan karet. Lahir sebagai anak kelima dari enam saudara, Pirous menjalani masa kecilnya di Aceh. Tanah kelahiran yang selalu menjadi sumber inspirasi karya-karyanya. Sembilan buah lukisannya yang yang berbicara tentang kekuatan hikayat Perang Sabil dan tindak kekerasan dalam perjuangan rakyat Aceh melawan Belanda masa lalu menjadi bukti bahwa semangat, sejarah dan budaya Aceh masih melekat dalam kesehariannya.
Pirous dikenal sebagai perintis lukisan kaligrafi di Indonesia yang mampu menguasai warna sebagai bahasa pembentuk suasana relijius yang kusuk. Alumnus Seni Rupa ITB yang juga pernah belajar Desain Grafis dan Seni Grafis pada Rocherter Institute of Technology Amerika Serikat ini terpanggil pertama kalinya untuk membuat lukisan kaligrafi ketika berada di Amerika (1970). “ Ketika saya berada di Amerika dan berhadapan dengan karya-karya
agung seni kaligrafi tradisional Timur Tengah yang disaksikan di Museum Metropolitan New York. Sehingga saya sangat tergugah untuk membuat lukisan kaligafi. Seakan-akan kembali pada alam masa kecil saya di Aceh.”

Masa kecilnya dihabiskan di Meulaboh, sebuah kota di barat Aceh. Kota yang sangat menonjol dengan hasil seni kriya, seni tari, dan sulam benang emasnya. Kehidupan di Meulaboh, sama seperti daerah lainnya di Aceh, diwarnai oleh semangat Islam yang kental dalam keseharian masyarakatnya. Latar belakang itulah yang membentuk Pirous tumbuh menjadi seorang seniman, seorang muslim dan berdarah Aceh. “Sebuah kombinasi yang memberikan peluang kepada saya untuk berwawasan dalam konteks seperti itu”, katanya. Seorang seniman yang tak pernah lupa asal “kulitnya”. Seperti gagasan yang pernah diungkapkannya,”…bahwa sewajarnyalah seseorang seniman peka terhadap kebudayaan silamnya dan arif dalam menyimak dinamika kebudayaan sekarang yang sedang berkembang, paduan sikap inilah yang akan menempatkan kita berpijak lebih kukuh pada bumi dan lingkungan sendiri dalam berjalan menempuh arus perkembangan kebudayaan dunia,”

Ibunya yang seorang penyulam benang emas tak pernah bekerja sendirian. Ia selalu dibantu oleh anak-anaknya termasuk Pirous. Kain yang akan disulam sebelumnya disket dulu lalu dilukis dengan kalam dan tinta. Mengaduk tinta yang diperlukan untuk melukis sulaman menjadi tugasnya saat itu. Tugas ini dikerjakan pada waktu malam, sebab pagi harinya ia harus belajar di sekolah dasar (sekolah Belanda) dan sorenya harus belajar mengaji di sekolah agama. Pada masa pergolakan melawan Belanda (1948), ia sudah memasuki kesatuan Tentara Pelajar (TP) di Aceh dengan pangkat kopral. Ketika tahun 1950, Pirous melanjutkan Sekolah Menengah Pertama (SMP) ke Medan dan duduk di bangku kelas tiga. Ia juga ikut bergabung dalam bagian perjuangan yang bernama Markas Pertahanan Semesta bagian propaganda. Membuat poster-poster yang membangkitkan semangat perjuangan menjadi tugas Pirous bersama teman-temannya.

Ketika sekolah di SMA “Prayatna” Medan, Pirous mendapat bimbingan menggambar dari Hasan Siregar (alm), seorang pelukis senior dari kelompok Angkatan Seni Rupa Indonesia Medan. Satu hal yang sangat menggugah semangat seninya adalah saat pertama kali ia melihat pameran besar karya pelukis-pelukis Jakarta di Medan. Dorongan dari Hasan Siregar ditambah pengalamannya dalam melihat dua kali pameran di Medan telah menumbuhkan semangatnya untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan seni rupa di Bandung.

Bandung, kota dengan silhuet kehijauan alam pegunungannya menjadi pilihan Pirous hingga saat ini. Awal perjalanan seninya ketika sekolah di Seni Rupa ITB, pergaulan bersama seniman-seniman muda saat itu hingga bertemu dengan seorang kembang Priangan, Erna Garnasih, putri Daeng Sutigna (Alm)_ tokoh kesenian dan kebudayaan Sunda_ yang akhirnya menjadi istrinya hingga saat ini. Bersama Erna yang juga seorang pelukis, Pirous dikaruniai tiga orang anak, dua orang putri dan satu orang putra.

Saat ini Pirous masih mengajar di Institut Teknologi Bandung (ITB). Menjadi seorang dosen pada jurusan Desain Komunikasi Visual adalah salah satu bentuk pengabdian pada dunia pendidikan. Untuk menyesuaikan diri dengan kondisi kesehatan saat ini, Pirous lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah. Ia masih terus melukis, menjadi konsultan seni, dan mempersiapkan penulisan buku biografinya. Bahkan kalau tidak ada halangan, Maret 2002 nanti Pirous akan melakukan pameran tunggalnya di Jakarta. “Sebuah pameran retrospektif, pemahaman kembali 40 tahun perjalanan hidup saya dalam dunia seni,” ujarnya.

Berbagai pameran tunggal dan kelompok telah dilakukannya di dalam dan luar negeri. Pameran tunggal pernah dilakukan di Chase Manhattan Bank, Jakarta dalam Pameran Lukisan Kaligrafi (1972), Pameran Seni Grafis Kaligrafi (Cetak Saring) di tempat yang sama (1976), Pameran Retrospektif Lukisan Etsa, Cetak Saring antara 1960-1985 di TIM Jakarta, dan Pameran Grafis di St. Martin Art School, London. Beberapa penghargaan telah diperolehnya diantaranya Seni Grafis Terbaik pada Art Show Napels, New York (1970), pemenang Terbaik Biennale Seni Lukis Indonesia-I dan II di Dewan Kesenian Jakarta (1974), Silver Prize Medal pada Seoul International Arts Competition (1984) dan Anugerah Seni dari Pemerintah RI (1985). Pirous juga pernah mendapat undangan kunjungan kebudayaan dari USIS Jakarta ke Amerika Serikat (1985), ke Inggris dari British Council (1986) dan 30 hari untuk Print Workshop dari Fukuoka Museum (1989).

Seni lukis kaligrafi bagi Pirous adalah sebuah upaya memahami alam yang terbentang di sekitar dan dalam diri kita sendiri. Alam dengan segala tanda-tandanya adalah input yang bisa digali dan disikapi hingga kita akan menemukan sendiri pengalaman-pengalaman spiritual. Menurutnya, pancaran relijiusitas yang kusuk akan selalu terpancar dari tulisan ayat-ayat Al Quran yang menjadi sumber utama lukisan kaligrafinya. “Al Quran itu adalah suatu kompilasi spiritual yang memang sudah bernilai sangat tinggi,” katanya.

Sebagai seorang seniman, Pirous begitu sangat menghargai nilai-nilai budaya dan sejarah bangsa. Karakteristik khas tiap daerah adalah nilai-nilai budaya yang harus dimunculkan dan dikembangkan. Festival Istiqlal (FI) I pada 1991 yang menyedot perhatian besar itu adalah salah satu cetusan ide Pirous bersama teman-temannya. Kegiatan yang bertujuan untuk mengangkat nilai-nilai budaya Islam yang selama ini terabaikan dan tidak pernah difokuskan menjadi kekuatan moral bangsa. Menurutnya, strategi kebudayaan seperti ini harus mampu menyatu dalam nafas kehidupan bangsa. “Tetapi pada FI II (1995) mulai tampak maksud-maksud politis pemerintah untuk menggunakan ini sebagai kekuatan politik. Maksud saya, alangkah baiknya FI tetap menjadi suatu strategi kebudayaan.”

Sebagai seorang seniman bertaraf internasional, karya-karyanya bertebaran dan menjadi koleksi The National Museum of Modern Art, Baghdad (grafis), Museum Al Quran, Bahrain (lukisan), Margareth Thatcher, London (lukisan), Museum Istana Presiden RI (lukisan), Slovenj Gradec Gallery, Slovenia Yugoslavia (grafis) dan beberapa tempat lainnya

Kajian sejarah dan budaya pun menarik perhatian Pirous selain di bidang seni. Tak jarang ia diminta untuk berbicara pada seminar-seminar khususnya pada masalah-masalah Aceh. Pada sebuah diskusi Forum Rektor di Bandung, ia pernah mengatakan, ”Dalam lintasan sejarah Aceh yang sarat dengan pergolakan dan darah, seyogyanya tergambar bahwa kultur kekerasan bukan sesuatu yang asing bagi Aceh. Mereka telah harus menerima keadaan itu tanpa berkelit walaupun harus menghadapinya dengan pengorbanan jiwa dan resiko yang sangat tinggi. Perlakuan politik kekerasan di Aceh bukan tidak mungkin akan menciptakan wajah penjajah masa lalu yang berbaur dengan wajah TNI masa kini, di samping nyanyian Hikayat Perang Sabil itu dapat bergema kembali. Mungkin hanya dengan kebijakan dan kearifan tindak politik yang tinggi dan komprehensif, kita akan terhindar dari situasi kekerasan yang menakutkan itu.”
Pirous adalah satu dari ribuan orang yang terus mencari makna kehidupan dalam pilihannya sebagai seorang seniman. Seorang muslim yang senantiasa menghadirkan nafas spiritualitas dalam karya-karyanya. Seorang putra dari tanah Serambi Mekah yang punya sejarah dan budaya khas tersendiri. Seorang manusia yang selalu ingin menularkan semangatnya pada orang-orang muda seperti saya. “Bicara dengannya adalah sebuah pengalaman penularan semangat dan gairah untuk melakukan sesuatu yang bermakna,” kata beberapa mahasiswa yang selalu diterimanya dengan tangan terbuka. Sebuah oase di padang pasir, setitik air jernih bersahaja di tengah arus globalisasi budaya masa kini !

“Rakyat Aceh Tidak Boleh Kehilangan Passion…”

Ditemui di rumahnya yang asri, sebuah daerah perumahan di Bandung Utara, Pirous menerima kehadiran saya dengan ramah. Menggunakan baju bermotif hitam putih dengan stelan celana panjang hitam, Pirous tampak lebih muda di usianya yang sudah 68 tahun. Pembicaraan satu setengah jam itu terasa membuat saya malu oleh jiwa Pirous yang begitu bersemangat bercerita tentang masyarakat Aceh, Hikayat Perang Sabil dan masa depan Aceh. Semangat inilah yang ingin ditularkannya kepada generasi muda Aceh, seperti saya. “Sebuah need of achievement (keinginan untuk mencapai sesuatu) harus disebarkan kepada masyarakat Aceh. Tugas mulia yang harus disebarkan oleh media massa, “katanya dengan bersemangat. Berikut petikan wawancaranya mengenai kondisi Aceh kontemporer.

Sebagai seorang seniman berdarah Aceh, apakah pendapat Anda tentang kondisi Aceh saat ini ?
Sebagai seniman lalu sebagai seorang putra yang berdarah Aceh kemudian berkembang menjadi seniman. Dan dari awal saya juga seorang muslim. Jadi, seorang muslim, seniman, dan berasal dari Aceh. Ini adalah kombinasi yang memberi peluang bagi saya untuk berwawasan dalam konteks seperti itu. Ketika Aceh bergolak dalam perjuangan dan persoalan-persoalan politik di tanah air ini, saya juga tersentak. Di galeri saya, banyak sekali lukisan-lukisan yang bertemakan Hikayat Prang Sabil. Itu sebenarnya suatu peringatan kepada pemerintah sekarang bahwa ada suatu trauma perjuangan rakyat Aceh melawan Belanda dulu. Rakyat Aceh tidak pernah bisa ditekan Belanda karena adanya sumber pembakar semangat yaitu Hikayat Perang Sabil. Sekarang, saya dengar Hikayat itu dibaca lagi oleh orang-orang Aceh. Kalau dulu ia bermuara pada kebencian terhadap Belanda, saya takut sekarang itu malah bermuara pada kebencian terhadap TNI. Hal ini tidak akan pernah berhenti karena kita akan menghadapi perang saudara yang tak pernah selesai. Ini tidak boleh terjadi karena kita sesama bangsa harus rukun dan damai. Hal-hal inilah yang tercuat dalam karya-karya saya. Di samping unsur-unsur dekoratif dan kekuatan seni rupa tradisional Aceh yang selalu menjadi bagian yang terelakkan dalam karya-karya saya.

Bagaimana dengan masa depan Aceh ?
Kita lihat di dunia ini, semua perjuangan suatu kelompok kecil melawan kekuasaan yang menghimpitnya, tidak pernah terkalahkan. Kita lihat Afrika Selatan dan contoh-contoh lain di dunia ini , semua lambat laun akan sampai ke muaranya juga. Mengenai Aceh, jika memang perjuangan ini murni lillahi ta’ala, untuk mengangkat harkat bangsa Aceh ke taraf yang lebih tinggi, saya rasa akan sampai pada kepada apa yang mereka inginkan. Karena apapun yang kita rancang, itu adalah rancangan manusia. Yang menentukan, tetap yang di atas. Mungkin hanya soal waktu saja. Tuhan akan melihatnya sebagai upaya yang dilakukan untuk merubah nasibnya sendiri. Seperti dalam Al Quran dikatakan “tidak ada orang yang bisa merubah nasib seseorang atau suatu bangsa kalau tidak mereka sendiri yang akan merubahnya.”

Salah satu lukisan di Galeri anda menggambarkan tokoh Teuku Umar dengan pedang di tangannya yang dikelilingi oleh untaian Hikayat Perang Sabil. Apakah maknanya ?
Teuku Umar adalah tokoh perlawanan rakyat Aceh terhadap Belanda yang betul-betul tewas dalam perjuangannya. Saya rasa itu adalah akibat dari suatu keyakinan dan kobaran semangat Hikayat Perang Sabil itu sendiri. Maka itu di latar belakang Teuku Umar sebagai sentral terdapat untaian hikayat perang yang merupakan kunci makna hikayat itu sendiri, seperti yang tertulis jelas, “Nibak matee di rumoh inong, bahle keunong senjata kape, nibak matee di ateuh tilam, bahle lam syah prang syahid meugeulee” (daripada mati di rumah istri lebih baik tewas kena senjata kafir. Daripada maut meninggal di atas tempat tidur lebih baik ikut perang yang membuat kita tewas syahid di garis pertama). Itulah sebabnya mengapa hikayat ini begitu menggelorakan semangat perjuangan dalam perlawanan terhadap musuh.

Bagaimana dengan perjuangan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ?
Saya rasa, sah-sah saja mereka melakukan itu karena memang Aceh punya sejarah sendiri. Pemahaman kita tentang proses sejarah lahirnya republik ini dapat dilihat dari beberapa sudut. Dari segi republik, Aceh adalah bagiannya. Tetapi dari sudut perjuangan orang Aceh sendiri, tidak demikian adanya. Seperti yang kita ketahui sampai Perang Dunia II pecah, Aceh itu secara total tidak mengaku takluk kepada Belanda. Kita tahu saat itu Belanda berada dalam tangsi-tangsi militer di beberapa kabupaten. Ini menunjukkan kekuatan angkatan senjata Belanda itu tidak meyeluruh. Sebelumnya juga terjadi banyak pemberontakan yang tak pernah ditaklukkan sempurna oleh Belanda. Hingga republik ini lahir lalu Aceh dijadikan bagiannya, wajar sekali kalau mereka mengatakan “ Kami tidak pernah takluk kepada Belanda. Kalau memang republik ini berasal dari suatu nederlands indie, suatu jajahan Belanda.” Apalagi jika ditarik perjuangan sejarah Iskandar muda dan seterusnya, Aceh selalu bergolak melawan penguasa luar. Jadi lumrah saja mereka punya sikap seperti itu. Sudut pandang yang berbeda. Berbeda tempat tegak, berlainan yang nampak.

Bagaimana dengan sikap pemerintah yang tetap mempertahankan Aceh sebagai bagian dari Republik ini ?
Saya sangat mendukung perjuangan politik dan diplomasi, bukan perjuangan fisik dalam arti kekerasan. Itu hanya berlaku dalam situasi yang panik saja. Terjadi dalam situasi yang penuh tekanan tapi bukan untuk seterusnya. Sebab, pada masa perang dengan Belanda, perlawanan fisik itu pun tidak menyelesaikan persoalan. Aceh tidak pernah bisa ditaklukkan dengan kekerasan dan Belanda tidak pernah bisa diusir dengan kekerasan pula. Oleh kerena itu, perundingan-perundingan adalah langkah yang paling baik dimana era hak asasi manusia saat ini begitu diangkat.

Perlukah saat ini muncul tokoh-tokoh seperti Cut Nyak Dhien, Teuku Umar dan lain-lain ?
Itulah saya katakan, tokoh-tokoh seperti Cut Nyak Dhien, Teuku Cik di Tiro, Teuku Umar dan lain sebagainya adalah tokoh-tokoh perjuangan fisik. Mereka itu pahlawan tapi pahlawan yang kalah. Mereka itu tewas dan tertangkap. Teuku Umar tewas, Cut Nyak Dhien meninggal dalam pengasingan di Sumedang. Semuanya pahlawan. Sekarang adalah waktu untuk gerakan perjuangan politik, berunding, bertahan, argumentasi, reasoning yang baik dan menerawang ke depan. Kemudian membuat persahabatan dengan sebanyak orang lalu berusaha menarik simpati serta dukungan moral.

Sementara perjuangan diplomatis dilakukan oleh segelintir orang yang dipercaya dan berkompeten, apa yang harus terus dilakukan oleh masyarakat Aceh yang lain ?
Saya rasa, rakyat di sana juga harus belajar patient (sabar). Tetapi tidak boleh kehilangan passion yaitu suatu nafas atau gairah mencapai sesuatu. Gairah yang tinggi tapi tetap terkendali. Rakyat harus terus-menerus meningkatkan pengertian-pengertian politik dan masalah-masalah yang selama ini selalu didekati dengan emosional. Tapi mulailah dengan suatu pikiran-pikiran rasional yaitu dengan pendidikan. Rakyat Aceh jangan terlena dengan menumpang di atas kesuburan tanah Aceh sehingga mereka itu lupa kewajibannya untuk terus belajar meningkatkan kehidupannya sendiri. Kehidupan di Aceh itu relatif sangat mudah. Orang tidak akan kelaparan asalkan ia mau saja untuk bergerak. Tanahnya yang subur, sungai dan laut yang banyak ikannya, hutan yang lebat. Itu membuat rakyat Aceh terpesona dan mabuk dalam kedamaian dan kesuburan itu. Padahal itu semuanya adalah modal untuk meningkatkan kualitas manusianya. Dengan pendidikan yang meningkat, pengertian dan kesadaran-kesadaran politik pada hal-hal yang sifatnya non fisik tadi akan menjadi lebih besar. Menurut saya, sekarang yang sangat penting adalah meningkatkan sekolah kejuruan menengah. Sekolah kejuruan menengah yang didirikan untuk meningkatkan income per kapita agar rakyat Aceh itu terlepas dari kemiskinan yang sebenarnya tidak perlu karena alamnya yang subur tadi. Bila Aceh miskin, itu karena sumber daya manusianya yang rendah. Buatlah sekolah-sekolah pertanian, perikanan, dan kerajinan (craft) yang lebih banyak. Pengembangan sekolah-sekolah kejuruan ini ditambah universitas yang ada di Banda Aceh sekarang, saya rasa tingkat kehidupan masyarakat akan meningkat. Jika sudah meningkat pikirannya menjadi lebih jernih dan emosionalnya akan dikendalikan oleh rasionalitasnya.

Selain sumber daya alam, kekuatan apa lagi yang menjadi modal bagi kemajuan masyarakat Aceh ?
Mental. Boleh dikatakan, Aceh itu mempunyai suatu mentalitas yang sangat mantap karena dasar-dasar agama Islam yang kuat. Itu tidak boleh goyang. Itu harus dikembangkan dengan pikiran-pikiran yang modern. Kehidupan meunasah harus dikembangkan dengan baik. Pemuda-pemuda itu lebih baik menghabiskan waktunya di meunasah-meunasah (masjid-masjid). Meunasah yang mendidik mental dan iman. Ditambah pengetahuan umum di sekolah-sekolah. Daripada menghabiskan waktunya di jalan-jalan. Dan ini jangan dilakukan dengan fanatisme buta tapi dengan fanatisme modern. Artinya kita cinta kepada negeri, tanah air dan agama tapi juga tidak menolak hal-hal yang akan meningkatkan kualitas kehidupan kita secara modern. Salah satu yang diminta oleh perjuangan rakyat Aceh sejak lama itu adalah agar pembangunan di Aceh itu diselaraskan dengan aspirasi dan mentalitas rakyat Aceh sebagai masyarakat muslim yang taat. Jangan terjadi tabrakan-tabrakan di dalam pengembangan pembangunan Aceh. Misalnya jangan sampai pantai-pantai Pulau Sabang itu sama saja dengan pantai-pantai Kuta di Bali. Atau kehidupan masyarakat kota-kota di Aceh sama seperti kondisi masyarakat di kota-kota lain seperti Jakarta dan Bangkok.

Dimuat di Tabloid Kontras, Nanggroe Aceh Darussalam, 2000.

1 komentar: