site meter

Sabtu, 29 Agustus 2009

Di Batas Serambi

Cinta membuatku tak bernyawa saat ini. Seperti orang yang koma, badanku tak bergerak normal ketika cinta menghinggapinya. Apakah ini cinta mati ?

“Happy valentine, honey,” dia menelponku setengah satu malam. Aku sudah terlelap saat itu. Valentine ? 10 tahun aku tak pernah mendengar ucapan itu. Hanya cinta monyetku yang pernah mengirimkan puisi valentine-nya saat aku berusia 12 tahun. Selanjutnya, aku melewati hari itu dengan biasa-biasa saja.
Apalah artinya sebuah hari, kupikir. Dan siapalah yang membuat hari. Lalu mengapa kita harus mengagungkan hari. Pertanyaan ini membuat pertengkaran kecil di antara kami. “Hari itu hanya alat. Dia akan jadi momen untuk mengingat cinta kita,” katanya membela. Ah, bullshit. “Tanpa hari kasih sayang ini pun, aku tetap menyayangimu,” aku menanggapinya, dingin. “Kau terlalu serius, sayang !”
Aku mengenalnya empat bulan lalu. Dalam sebuah acara serius yang bertajuk Refleksi Pergerakan Mahasiswa. Bisalah dibayangkan, aku memang serius. Judul acaranya pun mengerikan, kata teman-temanku yang gaul. Pertemuan yang biasa saja. Kita pernah berbicara agak serius dalam beberapa momen. Selebihnya, normal. Hingga ia memberiku nomor telponnya. Memintaku menghubunginya segera.
“Aku lihat kau punya potensi militan. Dan itu sangat penting bagi pembentukan kader. Apalagi perempuan, sangat jarang yang mau berbicara politik.” Awal pembicaraan kami yang berlanjut dengan pembicaraan berikutnya. Telpon dan email. Aku lupa wajahnya. Kabur. Aku hanya ingat perutnya yang gendut. Dan ia hanya ingat bahwa aku berkacamata. Selebihnya, imajinasi.
Diskusi-diskusi pada ruang maya membuat imajinasi kami berkembang baik. Membayangkan bagaimana gayanya ketika menelpon. Mengirim email, membaca kata-katanya yang sangat puitis. Tiga bulan menjadi waktu yang singkat untuk mengenalnya. Tiga bulan pun membuat rekening telpon kami gila-gilaan.
Kami mabuk kepayang. Kata-kata telah menghipnotis kesadaran kami. Kehidupan tak normal dalam hari-hari imajinasi. “Aku mencintaimu,” pukul 12 malam, ia ucapkan dengan jujur. “Aku menggugatmu, sekarang. Kau terlalu angkuh sebagai seorang perempuan. Tak bisakah kau lepaskan egomu malam ini saja, sayang ?”
Perempuan ? Hampir tiap saat kata-kata itu hadir dalam keseharian kita. Tapi malam itu terdengar berbeda. Darahku bergejolak. Ya Tuhan, jantungku berdetak kencang. Tiba-tiba aku sangat lemas. “Masihkah di sana, honey ?” Aku menangis. “Oh, tidak, aku telah membuatmu terluka ?” Aku menggeleng. “Cinta apakah ini ?” tanyaku ketika menyadari bahwa dia tak melihat gelengan kepalaku. “Masihkah kau tanyakan itu padahal kau seorang perempuan. Seharusnya kau lebih peka dariku.”
Sayangnya lama sudah aku tak menjadi perempuan jika perempuan berarti kepekaan, emosional, dan kelembutan. Aku hampir kehilangan keperempuananku. Dan malam itu ia telah membangkitkan kembali fitrahku. Menggelegar. Selanjutnya, aku disentuh dengan kata-kata manis ; sayang, honey, cintaku, sweetheart, permata, yang bertaburan dalam setiap surat dan telponnya. Bahkan ia mampu memaksaku berolahraga agar sehat dan kurusan. Padahal sebelumnya aku tak pernah peduli dengan tubuhku yang tinggi besar ini.
“Renungkan sejenak … Arti hadirmu di sini…. Jangan pernah ingkari….Dirimu adalah wanita.” Lagu Dewa 19 itu dihadiahkannya padaku. Lagi-lagi aku tersentak, lama aku tak peduli dengan musik. Hanya sekedar mendengar tanpa pernah diapresiasikan. “Kau akan lihat bagaimana lirik-lirik lagu itu mengandung makna yang sangat dalam.” Mulailah aku menghapalnya dan berapresiasi. Ternyata, menyenangkan.
Hari-hari berjalan sangat berbeda selama perkenalan ini. Seperti pengakuannya, ia pun mengalami hari-hari yang tak normal. Setiap hari aku merasa harus ke warnet atau ke wartel untuk menelponmu walau sesaat.” Tiap saat menulis dan menyampaikan materi di seminar-seminar, aku mengingat keluguanmu.” Kalau saja dia tahu bahwa aku pun sering bermimpi bercumbu dengannya.
“Kita harus rasional. Pasangan kita yang sesungguhnya ada di luar sana. Kita adalah pasangan maya, kau kekasih gelapku.” Dia telah punya kekasih tiga tahun yang lalu. Sementara aku juga dekat dengan seorang pria hampir dua tahun yang lalu. Dan saat ini, hubungan kami masing-masing sedang kritis. Di sisi yang kosong itulah kami saling berbagi. Kami merasa dekat dan cocok. Itu membuat kami terbuai.
Tapi alam bicara lain. Kami yang maya sekarang menjadi sangat nyata. “Aku sungguh mencintaimu. Aku merasa sangat dekat denganmu.” Aku hampir gila ketika akhirnya kami bertemu kembali. Kopi darat, seperti itulah. Di sebuah restoran sederhana di tengah hiruk pikuk Jakarta, ia memegang tanganku dengan erat. “Mengapa kau begitu dingin, sayang ?”
Cinta membuatku tak bernyawa saat ini. Seperti orang yang koma, badanku tak bergerak normal ketika cinta menghinggapinya. Apakah ini cinta mati ? “Kau terlalu mengada-ada, itu imajinasimu saja,” sahabatku berkomentar sambil tertawa. Kencan pertama itu kembali menorehkan keyakinan bahwa aku memang seorang perempuan.
“Feminis akan marah jika kau selalu bicara tentang keperempuananmu. Mengapa kelemahan perasaan itu yang harus kau sibukkan ?” temanku yang sesama aktivis itu terlihat kesal. Aku bukan diriku yang dulu lagi, ”Kau sangat lemah oleh kata-kata cinta.”
“Mengapa laki-laki seperti dia yang membuatmu gila seperti ini.” Dia yang tak kaya, aktivis jalanan yang tak teratur hidupnya. Pekerjaan sehari-harinya adalah penulis. Sesekali mengisi seminar-seminar politik dan budaya. Teman-temannya pun orang-orang keras yang ditempa oleh alam politik yang kejam. “Kau akan menderita. Kau butuh orang yang mapan. Dia sangat rapuh secara ekonomi dan psikologis.”
Telingaku seperi tuli. Mataku menjadi buta. Aku tak lagi peduli apa kata orang. Aku yang menjalaninya merasa bahagia. Dia telah mengembalikan jiwa perempuanku. Aku bisa menangis dengan sangat jujur di hadapannya. Bahkan cemburu dengan ekspresif. Mengucapkan kata-kata yang manis dan lembut. Memperhatikan hal-hal kecil yang sering luput selama ini. Berapresiasi terhadap musik, film dan perkembangan budaya pop masa kini. Sentuhan-sentuhan itu membuat diriku hampir sempurna menjadi perempuan. “Kau itu perempuan, teman. Tiap hari kau gunakan rok. Apakah itu tak cukup ?”
Penampilan itu nyatanya tidak substantif. Rok yang kukenakan selama enam tahun ini terasa seperti kebiasaan tanpa makna. Aku kenakan rok itu pertama kali ketika aku disindir seperti laki-laki. Aku marah besar saat itu. Sejak itulah aku ingin teguhkan hati dan meyakinkan orang-orang bahwa aku sungguh perempuan.
Tapi jiwaku tumbuh tidak normal seperti perempuan. Aku sering kesal ketika melihat perempuan menangis lalu direngkuh pasangannya. Aku katakan pada temanku yang cemburu pada kekasihnya bahwa ia terlalu berlebihan. Aku pun sangat malas duduk bersama perempuan-perempuan yang obrolannya hanya sekitar mode terbaru, lelaki dan cara-cara mempercantik diri. Aku sangat marah melihat teman dekatku begitu pasrah ketika kekasihnya berselingkuh dengan wanita lain. Aku berontak terhadap kelemahan-kelemahan perempuan.
Tapi kali ini aku pun mengalami bagian jiwa seperti mereka. Larut dalam perasaan. Emosional wanita memang lebih tinggi dari rasionalitasnya. Tapi itukah konstruksi sosial yang harus terus diaminkan ? Batin memang bergulat tapi aku terus menikmati tiap proses emosi itu. Kenapa aku merasa senang ya ?
“Ini beresiko, sayang. Kau harus ke daerah perang. Di sana kau akan dilihat sebagai mata-mata. Baik oleh GAM ataupun TNI.” Kami bertengkar. Aku akan pulang ke Aceh, tanah kelahiranku. Aku akan melakukan penelitian sosial tentang konflik-konflik kelompok di sana. “Ini tanggung jawab keilmuanku. Aku ingin berbuat sesuatu walau sangat tak berarti.” Kadang aku pun tak habis pikir mengapa hatiku lebih keras. Padahal sinar matanya yang teduh itu sering membuat aku luluh. Pandangan cintanya tak mampu menahan air mataku menetes perlahan. Tapi aku tetap ingin berangkat. “Sayang, biarkan itu menjadi tugasku. Kau harus tetap menjadi ratuku yang tak boleh memikul beban berat.” Aku tahu dia sangat menyayangiku, ”Sayang, sadarkah kau berhadapan dengan gadis yang sangat apatis. Konflik yang tak kunjung selesai telah menghabiskan asaku tentang masa depan.” Saat ini kesempatan berbuat itu datang, haruskah aku lari ?
Aku berangkat bersama beberapa orang tim ahli peneliti dari kajian sosial politik masyarakat dalam dan luar negeri. Sekitar sepuluh orang berangkat ke Aceh dengan menggunakan pesawat. Sepanjang perjalanan, kenangan masa kecil terekam dengan baik. Saat aku pertama kali belajar mengaji. Guruku yang bergaya pria tempo dulu itu sering mencubit pipiku yang gemuk. Lalu aku akan menggelitik kakinya dari bolongan kaus kakinya yang sudah lusuh. Ia sering mencari-cariku atau membujukku yang sangat malas kalau disuruh mengaji. Darinya kumengenal huruf-huruf arab pertama kali. “Pak guru ditabrak mobil siang tadi.” Aku menangis ketika tak dibolehkan menemaninya ke pembaringan terakhir. Ups, air mataku meleleh, “Kita telah tiba di bandara Sultan Iskandar Muda Banda Aceh. Sampai jumpa pada penerbangan berikutnya …….”
“Sayang, taukah aku melihat dengan mata kepalaku sendiri si Bakar ditembak waktu minum kopi di keude,” aku bercerita dengannya di telpon. Dia tak lihat tanganku pun telah terbalut perban. Aku sedang bersama Bakar ketika dua orang yang tak kami kenal melemparkan tembakan beberapa kali ke arah keude. Tanganku kena serpihan kaca hingga harus dijahit. “Sayangku, kau masih sehat-sehat saja, kan ?” Tuhan, aku tak ingin membuatnya khawatir. Aku tahu dia pun sedang menyelesaikan bukunya tentang penyingkapan bisnis elit di Aceh. Aku tak ingin konsentrasinya terganggu, itu buku perdana yang ditulisnya sendiri. “Aku akan balik segera dan bukumu pun harus selesai ya ?” pintaku sambil menahan nyeri tanganku. “Aku yang akan menyusulmu ke sana, kita akan segera menikah di Mesjid Raya.”
Hampir sebulan kami melakukan analisis situasi. Aku dan dua orang peneliti lainnya kebagian di Aceh Utara. Salah satu daerah konflik yang sangat rawan. Kami menginap di rumah Teungku Nasir di Lhokseumawe, ibukota Aceh Utara. Tiap hari kami harus berjalan-jalan ke beberapa kecamatan ; Lhoksukon, Krueng Geukueh, Matangkuli, dan Bireuen. Hampir tiap hari pulalah kami mendengar korban penembakan oleh orang tak dikenal. Tetangga Teungku Nasir, Bang Rusli namanya, diculik seminggu lalu dan belum kembali. Ia hanya pedagang sayur di Pasar pasar yang tak pernah mengerti politik. “Abang memang pernah ikut demo di masjid raya. Tapi cuma sekali, ia ketakutan, “ kata istrinya yang terus menangis di hadapan Teungku Nasir. Aku tak mampu menahan air mata ketika melihat tiga orang anak Bang Rusli tertidur di pangkuan ibunya dan dua orang berada di dekapanku. Tuhan, aku benci peperangan. Kau lihat bahwa kami, rakyat yang lemah tak kuat lagi melihat perang.
Hari-hari selanjutnya penuh cerita duka dan suka. Hampir tiap hari kabar kematian menerpa telinga dan membunuh mata hati kami. Air mata telah kering dan kerongkongan tak mampu lagi bersuara. Kematian menjadi dendang musim panas dan dingin. Dadaku sering sesak, lama sudah asmaku tak kambuh. “Sayang, aku berangkat dengan pesawat garuda pagi ini. Jemput aku di bandara ya ?” Hari itu adalah hari yang membahagiakan bagiku. Pangeran dansa yang akan mempersuntingku akan datang ke sini. Kami akan menikah di Masjid Raya Baiturrahman dua hari lagi, 14 Februari 2001. “Perhatian … perhatian …. Pesawat Garuda dengan nomor penerbangan GA 234 dari Jakarta dengan tujuan Banda Aceh mengalami kecelakaan di sekitar Lhokseumawe. Tembakan misterius dari ketinggian ….. “ Aku tak ingat apa-apa lagi setelah itu. Dadaku sesak, aku merasa melayang di udara. Hampa.
Dari nisan yang bersebelahan tergores tulisan mami yang terlihat kaku, “Kasih, karya besar ini kupersembahkan padamu.” Mami telah menemukan kata-kata itu di catatan akhir penelitianku dan di sampul buku karya pertama kekasihku. Sama.

(untuk kenangan manis di sepanjang jalan Solo, 2001)
Catatan : keude = warung
Mami = panggilan untuk ibu

Reani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar