site meter

Sabtu, 29 Agustus 2009

Dia Sama Seperti Kita

BBM naik. Tarif listrik juga. Tarif telpon pun begitu. Semua yang bernama rakyat teriak. Demonstrasi dimana-mana. Angkot mogok. Pengusaha dan buruh (yang dulu saling acuh) , kini bersama-sama singsingkan lengan. Gambar, patung, foto presiden dan wakilnya pun dibakar. “Drama-drama” rakyat dipentaskan di jalan-jalan. Di hadapan istana presiden dan gedung perwakilan rakyat, ratusan bahkan ribuan orang berteriak. Tapi (mungkin) oleh para penghuni gedung-gedung itu, teriakan yang bernada tanya dan ancaman dianggap sebuah pernyataan retoris. Hanya didengar, disimak, dan tak perlu dijawab. Sang presiden pun tak kunjung bicara. Mengapa diam ?
Tak ada yang bisa menjawab mengapa presiden masih tetap diam. Hanya para menteri yang sibuk jumpa pers. Itu pun hanya menjawab pertanyaan yang sudah diucapkan pada jumpa pers lalu. Pemerintah tetap pada sikapnya. Bahwa kebijakan ini tak bisa diganggu gugat. “Kita akan langsung memberikan subsidi kepada yang tidak mampu !” Di ruang lain, sang wapres pun ikut bersuara. “ Ajukan protes ke DPR, dong ! Biar disampaikan lewat hak DPR yang ada. Jangan pake demonstrasi yang anarkis.”
Semua orang tak puas. Sebab sang “Mega” tak jua bicara. Padahal rakyat sudah “minta perhatian”. Bahkan sudah memancing “amarah” sang “Mega” dengan membakar gambar dan poster-posternya. Namun sang “Mega” tidak juga mengundang wartawan, mengadakan jumpa pers, ngomong langsung dengan rakyat. Singkatnya, langsung berhadapan dengan keberatan rakyat terhadap kebijakan yang (katanya) tak populer itu.
Mega, itu juga sebutan untuk awan. Dan sang “Mega” memang tetap jadi awan. Di atas sana, berarak-arak berjalan diterbangkan angin. Bagaimana awan turun ke bumi ? Bagaimana kita mungkin berdekatan dengan awan ? Bisa ! Dengan menggunakan pesawat ! Tapi itu pun hanya bisa dilihat. Tetap saja tak mampu disentuh.
Kehabisan akalkah sang “Mega” ? Mungkin ! Lidah rasanya kelu, harus bicara apa. Toh, rakyat juga sedang marah. Sia-sia saja. Biar sajalah marah-marah, kebijakan pun tak mungkin diubah, nanti juga rakyat capek sendiri. Makanya, sang “Mega” lebih pilih diam. Rasul pun mengajarkan, jangan ladeni orang marah. Lebih baik wudhu, katanya.
Tapi sayang, sang “Mega” hanya mencontoh Rasul untuk wudhu ketika rakyat sedang marah. Mengapa rakyat marah, sang “Mega” tak mau tahu. Sayang, sang “Mega” tak contoh Rasul untuk lainnya. Sikap lainnya sebagai seorang pemimpin negara !
Logika awam bilang, yang bikin defisit APBN itu kan, para pejabat, para konglomerat yang berhutang triliunan rupiah. Lalu mengapa rakyat yang harus menanggung sialnya ? Dan logika sang “Mega” (bersama para menteri dan staf ahlinya) pun tak beda dengan logika awam. (Tanpa menyalahkan tuduhan awam itu), bahwa akhirnya defisit APBN itu pun hanya bisa ditutup dengan kenaikan BBM dan lainnya. Hingga keluarlah kebijakan 2 Januari 2003 itu.
Agar dianggap sama-sama gunakan logika, sang “Mega” pun sama dengan awam. Bukan hanya sang “Mega” yang paham teori ekonomi, rakyat pun mengerti. Jadi untuk apa diterangkan lagi ? Toh, rakyat sudah mengerti. Makanya, lebih baik diam. Hanya akan debat kusir, kan ? Rasul pun mengatakan demikian. Daripada ngomong yang tidak bermanfaat, lebih baik diam saja.
Tapi sayang, sang “Mega” untuk kedua kalinya, cuma mencontoh Rasul untuk yang ini saja. Daripada debat kusir, malah membangkitkan amarah, lebih baik diam sajalah. Tapi mengapa rakyat harus bertanya dan berdebat kepada “kerasnya” hati sang “Mega”, ia tak mau tahu. Sayang, sang “Mega” tak contoh Rasul untuk sikapnya sebagai seorang pemimpin pemerintahan.
Rasul (dan para sahabat / khulafaur rasyidin) banyak memberi contoh bagaimana seorang pemimpin mengambil langkah yang bijak di tengah kondisi rakyat yang krisis. Para pemimpin siap memotong hartanya. Para orang kaya “ditarik” hatinya untuk menafkahkan hartanya. Para pemimpin dan keluarganya memilih untuk lebih dulu lapar daripada rakyatnya. Para “penghisap darah rakyat” dihukum seberat-beratnya. Tanpa perlu meminta pertimbangan dari para ahli, sesuatu yang tak benar itu memang sudah tampak. Maka sang pemimpin pun tak segan gunakan “tangan besinya” sebagai seorang pemimpin yang coba bersikap adil. Tak lagi dengan hanya bicara. Para pemimpin segera bertindak dengan kebijakan-kebijakan yang langsung dilaksanakan.
Tapi mengapa sang “Mega” tak lakukan hal itu, bicara dan bertindak dengan “tangan besinya” ? Dia pun sudah tahu bagaimana bobroknya mental para pejabat dan konglomerat “hitam” itu. Dia pun sudah pernah rasakan tertindasnya rakyat oleh sikap penguasa (pada masa 27 Juli 1992 dulu). Dia cukup katakan pada sidang kabinet, “BBM dan lainnya tak perlu kita naikkan. Tapi mulai bulan ini hingga setahun ke depan, pendapatan kita dipotong sekian persen. Diikuti oleh para pejabat eselon satu dan dua. Juga pejabat-pejabat daerah. Persentase pajak kita pun dinaikkan sekian persen. Semuanya itu akan diaudit oleh BPK dan tim independen dari rakyat. Para konglomerat “hitam” yang membangkang itu, disita kekayaannya jika tak mau membayar hutang kepada negara. Dengan demikian, rakyat pun tidak akan dikorbankan oleh defisit APBN kita.”
Tapi sang “Mega” bukan Rasul ataupun khulafaur rasyidin. Mega hanya seorang wanita, mantan ibu rumah tangga yang kini jadi presiden. Dia sangat hati-hati, tak ingin diktator, katanya. Makanya ia perlu banyak tim ahli. Apalagi kepada para “orang kaya” dan pejabat. Dia takut mati seperti mantan Ketua MA yang ditembak oleh Tommy Soeharto itu. Pasti banyak “orang kaya” dan pejabat yang marah kalau saja dia lakukan kebijakan demikian. Sebab mereka akan bilang, “Itu tidak adil buat kami.” Walau dengan langkah seperti itu, mereka tetap bisa makan lebih dari tiga kali. Hanya menunya saja yang lebih irit. Dan iritnya menu itu yang mereka katakan tak adil. Jangan samakan ia dengan wanita-wanita mujahid seperti Fatimah az Zahrah ataupun Khadijah binti Khuwailid. Mereka yang mengorbankan harta dan nyawa buat kepentingan rakyat. Mereka yang tak takut mati karena yakin hanya Allah, pemilik kehidupan, yang akan menentukan mati dan hidup makhluk-Nya. Mereka inilah yang disebut pemimpin masyarakat.
Tapi sayang, sang “Mega” hanya orang awam. Logikanya pun sama seperti awam. Sikapnya pun sama seperti sikap awam, takut-takut (atau bahkan memang menikmati segala fasilitas kesenangan ketika menjabat presiden) Sehingga, sia-sialah rakyat awam bicara dengan sang “Mega”, meminta petunjuk dan restu. Posisi kita sederajat dengannya. Lalu untuk apa meminta padanya ? Meminta petunjuk dan restu biasanya dengan “sesuatu” yang lebih tinggi dari kita. Dengan manusia yang berilmu, bijaksana dan zuhud dari kehidupan dunia. Lebih tinggi lagi, dengan Allah, sang penggerak segalanya. Rabb, yang memiliki seluruh langit dan bumi (bukan hanya pemilik rumah mewah di Bukit Sentul sana !).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar