site meter

Sabtu, 29 Agustus 2009

Universitas Negeri Antah Barantah : Catatan Kritis

Teman saya yang menjadi dosen di daerah sana pernah bilang,”Pendidikan tinggi kita payah. Obsesinya mau jadi universitas riset tapi sistemnya malah dibangun untuk menjadi universitas dagang.” Dia dosen muda. Entah kenapa dia bicara begitu kesalnya. Katanya, dia “dijegal” waktu ikut test CPNS dengan alasan administrasi. Padahal dia cukup pintar, alumnus universitas wahid di negeri ini, dan punya idealisme tinggi untuk memajukan pendidikan di daerah yang masih rendah mutu pendidikannya. “Aku tak mau memberi “jaminan” untuk ikut tes masuk CPNS, katanya.” Ya, mungkin itu salah satu jawaban penyebab kegagalannya, tak ada “jaminan”.

Cerita teman saya di atas adalah salah satu masalah pelik dalam sistem pendidikan kita. Jika sistem pendidikan diibaratkan sebuah komputer maka komponen-komponen yang melingkupinya ada hardware (gedung kuliah, perpustakaan, laboratorium, penerbitan universitas, sarana kegiatan mahasiswa dan penunjang lainnya), software (kurikulum, jadwal perkuliahan, materi pengajaran), dan brainware (dosen, mahasiswa). Sebuah pendidikan tinggi yang berorientasi riset, tidak bisa tidak unsur-unsur ini harus dipenuhi.

Mari kita bicara tentang gedung kuliah, perpustakaan, dan laboratorium. Berapa jumlah mahasiswa ? Dengan jumlah sedemikian berapa daya tampung yang layak bagi sebuah ruang kelas ? Berapa luas perpustakaan yang pantas untuk memenuhi jumlah mahasiwa ? Berapa jumlah bukunya ? Bagaimana kualitas buku-bukunya ? Bagaimana desain ruang perpustakaan yang nyaman untuk membaca ? Bagaimana sarana jaringan komputernya ? Berapa jumlah laboratorium yang dibutuhkan oleh masing-masing jurusan baik eksak maupun non eksak ? Bagaimana dengan keberadaan penerbitan universitas yang menjadi “pabrik” pengolah buku-buku teks perkuliahan dan terbitan riset-riset ilmiah para dosen ? Dan sarana unit-unit kegiatan mahasiswa sebagai tempat ilmu informal yang tak diperoleh di bangku kuliah ?

Peningkatan jumlah mahasiswa tidak dibarengi dengan peningkatan fasilitas di ruang kelas, perpustakaan, laboratorium. Dan yang terjadi ; kelas menjadi demikian sesak oleh mahasiswa yang over capacity, dosen harus cepat-cepat mengajar karena kelas akan dipakai oleh dosen lain, buku-buku perpustakaan menjadi rebutan karena jumlahnya yang minim, laboratorium hanya menjadi tempat mendengarkan ceramah “asisten” karena alat-alatnya yang minim.

Lalu bagaimana dengan kurikulum yang tak pernah konsisten dan terarah ? Mata kuliah yang tak sistematis ? Jadwal kuliah yang tak pernah tepat waktu sehingga mengganggu jumlah minggu efektif dalam satu semester ? Materi perkuliahan yang stagnan ? Mengapa mahasiswa diorientasikan hanya untuk menghapal catatan agar dapat menjawab soal-soal ujian ? Bagaimana proses rekruitmen dosen ? Mengapa tak ada tahapan seleksi yang terbuka ? Bagaimana proses penerimaan mahasiswa ? Layakkah sistem UMPTN dipertahankan keberadaannya ? Bagaimana hasil penelitian ilmiah mahasiswa ? Apakah bermanfaat bagi pengembangan keilmuan dan kebutuhan masyarakat ?

Ambil sebuah masalah. Perpustakaan dan penerbitan universitas menjadi salah satu ciri sebuah universitas riset. Keduanya menyimpan nilai sebuah ilmu. Buku-buku, jurnal ilmiah, hasil-hasil skripsi, tesis, dan disertasi ada di sini. Dan penerbitan menjadi sebuah pabrik bagi terbitan-terbitan kebutuhan universitas. Tapi cobalah hitung, berapa banyak universitas negeri di Indonesia yang memiliki penerbit sendiri ? Atau memiliki perpustakaan yang memadai ? Banyak teman yang mengeluh dari daerah-daerah lain. Mereka begitu sulit menemukan buku bermutu. Saya pikir ini hanya ganjalan pribadi tapi hampir semua teman-teman di daerah manapun merasakan hal yang sama. Walau mereka agak sedikit terperangah,”Masa di Pulau Jawa seperti itu juga ?”

Tidak usah jauh-jauh, coba ini kita kritisi. Jangan berharap muluk dengan obsesi universitas riset kalau prasarana yang dua ini tak segera dibenahi. Karena buku-buku dan terbitan ilmiah menjadi urat nadi sebuah pendidikan tinggi. Menjadi kondisi yang mendukung kreativitas dosen dan mahasiswa dalam menghasilkan karya-karya ilmiah. Hingga pada tataran yang paling ideal, dapat memperluas khazanah keilmuan dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Bukan hal yang mustahil, hal ini mendorong suasana ilmiah yang kondusif.

Saya pernah “berjalan-jalan” ke Universitas Harvard di AS. Hanya dengan modal www.harvard.edu. Universitas bergengsi ini memang nyatanya membuat saya iri. Melihatnya melalui alam virtual telah membuat ruang mimpi dalam pikiran saya. Seandainya universitas di negeri kita …. Punya gedung yang megah, banyak professor, banyak jurnal ilmiah karya para dosennya, perpustakaan yang buku-bukunya bisa dibaca bebas 24 jam, unit-unit mahasiswa yang menunjukkan kompleksitas mahasiswanya….. Ups, cukup sampai disini. Saya tak mau melanjutkannya. Seorang teman membangunkan saya, “Kamu sedang bermimpi. AS negara maju. Sementara kita masih sibuk dengan masalah krisis. “ Saya marah. Bukan karena dibangunkan tapi karena kita selalu merasa kalah. Pantas saja mereka menyebut kita negara terbelakang (negara dunia ketiga). Punya harapan saja sepertinya haram. Semoga bukan apologi dari ketidakinginan. ! Wallahu’alam.

(ditebitkan di Tabloid Mahasiswa dJatinagor Fikom Unpad Edisi VII)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar