site meter

Sabtu, 29 Agustus 2009

Semangat Otonomi dalam UMPTN

Albert Einstein, si jenius legendaris itu bukanlah seorang mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Amerika Serikat. Pada masa kecilnya, Eistein disebut anak bodoh dan aneh. Kondisi keluarga yang miskin membuatnya tak mampu bersekolah seperti anak-anak lain seusianya. Namun kemudian dunia menyadari sebenarnya Einstein adalah seorang jenius ketika teori relativitas itu diungkapkannya.
Ia tidak dilahirkan oleh sebuah institusi pendidikan tinggi yang mengasah kemampuan akademis siswanya dengan sistematis. Padahal potensi kecerdasannya jauh lebih baik dari seorang mahasiswa yang mampu menikmati bangku kuliah. Banyak orang seperti Einstein, memiliki potensi tapi tak mampu sekolah secara formal. Maka terkuburlah ia dalam sebuah persaingan masuk PTN, sekolah milik negara yang menawarkan biaya murah.
Apakah potensi itu harus terkubur dalam sebuah persaingan Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) yang tidak jelas mekanismenya ? Lalu sistem UMPTN yang bagaimanakah yang relevan dengan tuntutan yang berkembang sekarang , dengan sebuah semangat otonomi ?

Semangat dan jiwa otonomi daerah atau desentralisme telah diundangkan dalam Undang-undang (UU) No 22/99 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25/99 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Prinsip sebuah daerah otonom di sini adalah kewenangan dan tanggung jawab menyelenggarakan kepentingan masyarakat berdasarkan prinsip keterbukaan, partisipasi masyarakat, dan pertanggungjawaban kepada masyarakat, termasuk didalamnya sektor pendidikan. Pendidikan nasional yang selama ini diatur secara sentralistik menimbulkan tumpang tindihnya perencanaan pendidikan di negara kita. Akibatnya permasalahan pendidikan menjadi pekerjaan tambal sulam yang tak jelas bentuknya.

UMPTN yang menjadi salah satu mekanisme penerimaan mahasiswa di PTN pun mulai dipertanyakan keefektifannya. Mulai dari sistem rayonisasi (rayon A,B,C), materi ujian yang disamaratakan, standar penilaian yang tidak transparan, dan proses seleksi yang dilakukan terpusat Sehingga tidak jelas, untuk siapakah UMPTN ini diberlakukan ? Untuk orang-orang pintar dan kayakah ? Atau untuk orang-orang yang tak mampu tapi pintar ? Kondisi ini pula yang menyebabkan kesenjangan antara Jawa-luar Jawa dan sekolah favorit-tidak favorit. Jawa dan sekolah favorit akan diuntungkan dalam hal ini. Sementara luar Jawa dan sekolah tidak favorit menjadi semakin terpuruk keberadaannya.

***

Tujuan UMPTN seperti yang tercantum dalam petunjuk pendaftaran UMPTN 1999 adalah memilih calon mahasiswa baru yang mempunyai kemampuan akademik untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan di PTN sesuai dengan batas waktu ditetapkan. Secara eksplisit terlihat bahwa penerimaan mahasiswa di PTN didasarkan pada kemampuan akademis semata. Masalah pemerataan strata sosial dan letak geografis tidak menjadi pertimbangan dalam hal ini. Akhirnya, potensi-potensi terbaik daerah akan “lari” ke Jawa untuk mendapatkan pendidikan yang jauh lebih maju. Kondisi ini akan menjadi sebuah lingkaran setan. Bagaimana daerah akan meningkatkan kualitas pendidikannya kalau orang-orang terbaiknya tidak membangun daerahnya bersama-sama ? Selain pembenahan pada sistem pendidikannya, proses penerimaan mahasiswa baru di PTN pun sudah saatnya dilihat kembali keberadaanya. Ada beberapa hal yang menjadi perhatian kita dalam proses UMPTN ini.

Pertama, sistem rayonisasi. Dalam sistem rayon, PTN-PTN dibagi atas wilayah rayon A,B, dan C. Rayon A meliputi PTN di wilayah Sumatera, Kalimantan Barat, DKI Jakarta dan Jawa Barat (Jabar). Rayon B meliputi PTN yang berada di Jawa Tengah (Jateng), Yogyakarta, Kalimantan Selatan (Kalsel), Kalimantan Tengah (Kalteng) dan Kalimantan Timur (Kaltim). Rayon C meliputi PTN yang ada di wilayah Jawa Timur (Jatim), Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku dan Irian Jaya. Tiap rayon dikoordinasikan oleh koordinator rayon. Biasanya yang ditunjuk adalah rektor salah satu PTN di rayon tersebut. Soal-soal UMPTN ini nantinya dibedakan atas rayon-rayon. Perbedaan itu pun terlihat tak terlalu prinsip. Dalam satu rayon saja, perbedaan materi pelajaran itu ada. Sekolah di Bengkulu misalnya akan berbeda kualitas pengembangan kurikulumnya dengan sekolah di Jakarta atau Jawa Barat. Sehingga penyamarataan seperti ini terlihat tidak adil dan tidak jelas. Lalu hal ini menjadi tumpang tindih dengan adanya PUML (Panitia Ujian Masuk Lokal).

Kedua, materi ujian yang disamaratakan. Dalam hal ini, PTN sebuah daerah tidak memiliki keleluasaan untuk mengatur materi-materi pelajaran yang menjadi prioritas kebutuhan daerah setempat. Sehingga PTN-PTN di daerah tidak memiliki kekhasannya. Misalnya, Aceh yang memiliki sumber daya perkebunan, perairan dan pertambangan. Maka pengembangan materi kurikulumnya diarahkan pada kondisi setempat yang dominan. Dengan sistem UMPTN, pengembangan materi dan pengayaan logika berpikir disamakan. Padahal kondisi alam, sarana dan prasarana yang berbeda-beda itu menyebabkan perbedaan pengembangan materi pengajaran dan wawasan para siswa.

Ketiga, standar penilaian yang tidak transparan. Metode penghitungan benar dan salah tak pernah diketahui oleh masyarakat. Berapa standar minimal yang harus diperoleh siswa untuk dapat masuk pada jurusan pilihannya ? Sistem komputerisasi yang dilakukan terlihat seperti sebuah permainan “mengundi” dan untung-untungan. Semua peserta UMPTN akan diurutkan berdasarkan nilai ujiannya. Lalu dialokasikan pada program studi pilihannya dengan ketentuan bahwa peserta yang mendapat nilai lebih baik akan diprioritaskan. Jika masih ada tempat kosong pada program studi pilihan pertama. Ia akan diterima di program studi pilihan pertama. Jika tempat itu telah penuh maka ia akan diterima di pilihan kedua, bila tempat itu juga masih kosong. Jika kedua-duanya telah penuh maka ia tidak akan diterima walaupun nilainya masih cukup tinggi. Dengan kondisi ini, siswa akan “takut” untuk memilih jurusan yang dinginkannya, sehingga ia memilih jurusan yang tak diminatinya tapi memiliki peluang lulus lebih besar. Akhirnya ketika benar-benar lulus pada pilihan yang tidak disukainya, ia memilih untuk tidak meneruskannya atau meneruskannya dengan “ogah-ogahan”. Kesempatan yang mungkin menjadi keinginan siswa yang lain tapi kurang beruntung nasibnya.

Keempat, proses seleksi yang terpusat. Kondisi ini memungkinkannya “tangan-tangan” kotor ikut menentukan lulus tidaknya seorang siswa dalam UMPTN. Praktek-praktek kolusi dan nepotisme berpeluang besar dalam proses yang terpusat ini.

***

Winarno Surachmad, dalam sebuah diskusi bersama Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) mengatakan, reformasi fundamental yang harus diselesaikan dalam pendidikan kita adalah merumuskan landasan falsafah pendidikan yang selama ini belum kita punyai. Mantan rektor IKIP Jakarta (kini Universitas Negeri Jakarta) yang juga pakar pendidikan ini menjelaskan, kekacauan dan kerancuan dalam pendidikan kita, mulai dari masalah kurikulum, akreditasi, Evalusi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas), hingga masalah-masalah teknis lainnya seperti proses pembelajaran di kelas diakibatkan oleh ketiadaan landasan falsafah pendidikan. Kita terjebak dalam persoalan-persoalan teknis-metodologis yang tak jelas membawa kita pada suatu pencapaian (visi). Filosofi pendidikan yang jelas akan membentuk frame yang sama dalam pemikiran kita, sehingga heterogenitas kurikulum dan metode pengajaran tidak lagi menjadi persoalan. Kurikulum yang berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya merupakan konsekuensi demokratisasi pendidikan. Inilah inti pendidikan yang memberi penghargaan pada manusia dan konteksnya.
Kini hampir 55 tahun kita sudah merdeka. Permasalahan ini pun menjadi sebuah benang kusut. Kita sudah berada dalam sebuah kolam keruh. Mau tidak mau, suka tidak suka kita harus membersihkan air sungai itu. Seperti kata Winarno, “dual strategy : sambil membenahi semua ini kita benahi pula landasannya. Ibarat rumah yang sedang terbakar. Ambil saja apa yang bisa, tetapi sambil itu kita cari jalan bagaimana supaya api tidak menjalar lebih luas.”

Semangat otonomi daerah walau masih terdengar pro dan kontra seharusnya juga menjadi inspirasi bagi perubahan orientasi pendidikan kita. Paradigma pembangunan otonomi yang bergeser pada pemberdayaan rakyat ini pun seharusnya juga menjadi “semangat” dalam paradigma sistem pendidikan. Pendidikan yang perencanaan dan pelaksanaannya didasarkan pada kemampuan (sumber daya) yang dimiliki oleh daerah. Lalu perencanaan dan pelaksanaan dilakukan dengan menumbuhkan inisiatif dan kreativitas masyarakat.

Masalah UMPTN dalam kajian ini juga termasuk ke dalam masalah teknis sistem pendidikan kita. Itu merupakan efek dari bobroknya sistem pendidikan yang tidak memiliki landasan filosofis. Sambil bersama-sama landasan filosofi dibenahi, proses UMPTN ini pun juga harus dikritisi. Jangan sampai pula ia menjadi salah satu kaki gurita yang akan menjerat tubuh kita sendiri.

Pola sentralistik dalam seleksi UMPTN harus dilihat dari beberapa sisi. Pertama, ini bisa menjadi sebuah peluang bagi kekuasaan atas ke bawah (top-down) Pusat mengatur segalanya, dari materi ujian sampai penentuan kelulusan. Standardisasi yang tidak dialogis antara target pusat dengan kondisi daerah melahirkan kesenjangan sosial baru. Jadilah sebuah “kemandulan” dalam strategi pendidikan daerah.
Kedua, sistem ini tidak mendorong terbentuknya demokratisasi pendidikan. Keragaman kurikulum, metode, strategi pembelajaran, penentuan standardisasi kebutuhan yang berbeda-beda pada tiap daerah merupakan bentuk demokrasi dalam pendidikan.
Ketiga, metode ujian pilihan ganda yang berprinsip “soal dalam UMPTN harus bisa dijawab dengan fastest solutions (penyelsaian tercepat) telah “menyuburkan” tumbuhnya bimbingan-bimbingan belajar yang lebih berorientasi bisnis dan kuantitas kelulusan. Tumbuhnya metode belajar seperti ini akan mengubur makna belajar itu sendiri.

Akhirnya siswa tak menjalani proses dan makna hakiki yang harus dilakukan oleh seorang penuntut ilmu. Jadilah mereka, generasi-generasi “karbitan” atau generasi instan yang tidak kuat landasan ilmunya. Tumbuhlah generasi yang menyelesaikan pendidikannya hanya untuk sebuah gelar dan mendapatkan pekerjaan.


(dimuat di HU Galamedia 3 Juli 2000)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar