site meter

Sabtu, 29 Agustus 2009

(Pembantaian Teungku Bantaqiyah dan Santri-santrinya)

RESENSI BUKU

Judul : Tragedi Anak Bangsa
(Pembantaian Teungku Bantaqiyah dan Santri-santrinya)
Penulis : Amran Zamzani
bersama tim penulis : Teuku Kemal Fasya dkk
Penerbit : PT Bina Rena Pariwara,
Cetakan I : Feb 2001
Hal : 248 hal + xxvi
Pengantar : Nurcholish Madjid dan Emil Salim

Penguburan dilakukan tanpa upacara dan doa-doa
Tidak ada penghormatan
Tak ada taburan bunga
Yang ada hanyalah kebengisan memancar dari wajah yang penuh loreng
Ada kemarahan besar di sorot mata mereka
Entah karena apa. Entah untuk apa !

Kata-kata yang tertulis pada buku ini (hal 57) terasa begitu menyayat dan mengiris-iris hati. Rekaman media lokal/ nasional dan laporan beberapa tim pencari fakta tindak kekerasan telah menambah daftar panjang tragedi yang tak pernah tersingkap di negeri ini khususnya di bumi Aceh. Beutong Ateuh adalah sebuah kemukiman (kumpulan beberapa desa) yang letaknya terpencil di lembah Gunung Singgah Mata (Aceh Barat) yang berada dalam gugusan Pegunungan Bukit Barisan. Medannya cukup sulit dengan batu bercadas dan tanah liat yang licin. Udara dan mata air pegunungan yang masih bersih menjadi ciri khas daerah pegunungan seperti ini. Masyarakat petani yang sederhana dengan kehidupan religius yang masih kental menjadi sebuah keseimbangan komunitas. Tapi kedamaian itu tiba-tiba menjadi langit kelabu pada 23 Juli 1999. Tragedi kemanusiaan yang menggenangkan darah-darah tak berdosa dan air mata ketakutan telah terukir dalam catatan sejarah Beutong Ateuh yang anonim. Catatan yang terukir dalam hati-hati para janda dan anak-anak kecil yang kehilangan bapaknya telah menyisakan ruang-ruang trauma dan dendam yang tak berbatas.
Rekaman tragis itu tersibak sebagiannya dalam buku ini, “Tragedi Anak Bangsa, Pembantaian Teungku Bantaqiyah dan Santri-santrinya.” Teungku Bantaqiyah, pemimpin dayah (pasantren) di Beutong Ateuh, bersama santri-santrinya telah menjadi salah satu korban dari ribuan korban kemanusiaan di Aceh yang tak jelas rimbanya hingga saat ini. Dengan dalih pembersihan tokoh-tokoh pemberontakan yang akan mengancam keutuhan bangsa dan negara, darah Teungku Bantaqiyah pun menjadi halal. Berawal dari sebuah surat telegram rahasia dari Danrem 011/LW Kolonel Inf. Syafnil Armen yang berisi perintah : cari, temukan, dekati dan tangkap tokoh GPK dan simpatisannya hidup atau mati, dimulailah skenario pembantaian itu.

Darah kemanusiaan yang telah mengiuris-iris hati ini tak harus melupakan kekritisan rasio dan kepekaan nurani untuk melihat pola operasi militer ini. Pembunuhan dengan dalih operasi militer terhadap Bantaqiyah terlihat sangat janggal. Tuduhan terhadap Bantaqiyah yang telah menjadikan pasantrennya sebagai markas militer GAM sehingga perlu ditangani dengan operasi yang sangat canggih menjadi salah satu contoh rapuhnya sistem intelijen yang dimiliki oleh TNI. Pasantren Bantaqiyah ini luasnya hanya kurang seperempat hektar, dinding papannya pun sudah lapuk, lapangan sekitarnya itu pun tidak ditumbuhi pohon-pohon besar yang memungkinkan adanya ruang rahasia bagi persenjataan. Lokasi galian dalam meunasah yang dicurigai sebagai tempat penanaman senjata pun nyatanya nihil. Kompleks ini hanya sebuah pasantren tradisional yang sangat sederhana. Lalu mengapa pola pembantaian yang cukup canggih dirancang sedemikian rupa ?

Penghilangan identitas korban, “tertutupnya” informasi yang baru diketahui media setelah tiga hari kejadian, surat “akal-akalan” mengenai pernyataan penduduk terhadap minornya kredibilitas Bantaqiyah menjadi bukti beberapa manipulasi yang dilakukan oleh TNI dalam menutup realitas yang sebenarnya. TNI dalam hal ini memiliki kekuatan simbol yang lebih besar dari seorang Bantaqiyah yang hanya menjadi tokoh lokal yang telah tercoreng namanya dengan tuduhan-tuduhan makar dan subversif terhadap pemerintah. Kekuatan simbol dan akses informasi TNI/ pemerintah yang lebih besar menjadikannya mampu mendefinisikan realitasnya sendiri dalam ruang-ruang publik di media massa.

Amran Zamzani, bersama tim penulis lainnya, Teuku Kemal Fasya dkk adalah putra-putra Aceh yang coba merekam tragedi sadis dan mengenaskan ini. Ditulis dengan gaya bertutur, layaknya sebuah novel, buku ini mengajak anda bergulat dengan akal dan rasa. Sebuah cerita nyata yang bukan sebuah mimpi dan ketakutan. Peristiwa ini terjadi sungguh di hadapan kita dengan para korban saudara-saudara atau kerabat terdekat kita. Sumber-sumber yang diperoleh dari media massa lokal dan nasional serta laporan-laporan tim pencari fakta menjadi dialektika ruang publik ketika dimunculkan pada sebuah media. Latar belakang para penulis yang merupakan aktivis masalah-masalah kemanusiaan menjadikan buku ini terasa lebih menyentuh sisi-sisi humanis kita. Ritme buku ini menggugat ketidakadilan yang dilakukan oleh negara terhadap rakyat tak berdaya. Buku ini menyentuh hati-hati kita yang mulai membatu melihat kekerasan yang telah menjadi kebenaran dan kebiasaan. Tetapi ada pekerjaan yang tersisa dari beberapa bagian buku ini, rekayasa kekerasan militer yang terjadi selama ini sudah saatnya terungkap dan tersibak. Kekerasan militer yang menjadi salah satu bagian dari ranah kehidupan yang lebih besar, kekuasaan politik di negara yang bernama Indonesia.

Buku ini mengajak agar kita dapat melihat dengan perspektif yang lebih luas terhadap sebuah tragedi yang terjadi di hadapan kita. Persoalan Bantaqiyah harus dilihat dalam konteks ruang dan waktu yang lebih proporsional. Pembantaian terhadap Bantaqiyah bukanlah sebuah persoalan pemberontakan yang harus segera dihabiskan. Apalagi dengan pola-pola militerisme yang menyisakan banyak persoalan, sebuah trauma dan dendam antara generasi. Gerakan Jubah Putih _yang dicurigai melakukan aksi-aksi penjualan ganja dan salah satu basis GAM_ Bantaqiyah harus dilihat pada sisi, mengapa hal tersebut bisa terjadi ?

Pembangunan kawasan industri modern Arun (1982) dan Mobil Oil (1984) di Lhokseumawe di tengah-tengah kemiskinan daerah-daerah Aceh yang lain telah memunculkan persoalan baru. Laju pembangunan secara fisik materil tidak diimbangi oleh kemampuan daya serap masyarakat lokal. Masyarakat asli semakin terpinggirkan dan pemerintah orde baru masa itu tak pernah memperhitungkan ekses sosial seperti ini. Eksploitasi sumber daya alam bagi keuntungan pusat tak memberikan kemakmuran bagi masyarakat asli.

Ketimpangan sosial telah memunculkan “kecemburuan sosial” ditambah lagi ekses kehidupan modern daerah industri yang mulai merasuki tatanan sosial setempat. Cultural lag dan cultural shock yang terjadi pun akhirnya tidak menemukan saluran dialogis. Kosongnya semangat demokrasi masa orde baru telah menutup ruang-ruang dialog antara masyarakat dan penguasa. Dalam setting sosial seperti itulah Bantaqiyah bersama Kelompok Jubah Putih muncul sebagai sebuah simbol protes dan perlawanan terhadap ketimpangan dan ekses modernisasi industri. Nilai-nilai modern berhadapan ekstrim dengan nilai-nilai tradisional Aceh yang sangat kuat. Semangat kekeluargaan dan agamis masyarakat Aceh berhadapan dengan gaya kehidupan modern yang individualistis dan hedonis. Pertarungan dua kontinum ini tidak menemukan ruang publik yang komunikatif sehingga berjalan dalam logikanya masing-masing.

Kekuatan dominan dipegang oleh pihak-pihak yang memiliki kekuatan simbol yang lebih kuat dan besar. Hingga jadilah kelompok-kelompok sosial seperti Jubah Putihnya Bantaqiyah yang tidak memiliki kekuatan simbol yang berarti menjadi terus terpinggirkan. Dan ketika gerakan ini hadir mengancam eksistensi kelompok-kelompok dominan (pemerintah, kelas-kelas borjuis) maka ia dianggap sebagai pengacau keamanan (baca : pemberontak). Jadilah sebuah “pembersihan” dengan pola militerisme _gaya kekuasaannya orde baru_ terhadap kelompok-kelompok terpinggirkan (baca sekali lagi : pemberontak) seperti Bantaqiyah.

Buku ini layak dibaca oleh siapapun manusia yang tak ingin kepekaan kemanusiaannya terkikis oleh kekerasan-kekerasan yang semakin hari terjadi dengan “biasa” di negeri ini. Kekerasan dalam arti fisik ataupun kekerasan-kekerasan simbolik yang terjadi sangat halus bahkan tak disadari oleh kita. Karena siapapun anda yang memiliki kekuatan ; senjata, pengetahuan, modal, dan akses informasi, akan sangat mungkin melakukan berbagai bentuk kekerasan. Berhati-hatilah !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar