site meter

Sabtu, 29 Agustus 2009

Ketika “Katanya” Telah Menjadi Tuhan

Suatu saat ketika terjadi “peperangan” antar kelompok mahasiswa, perang isu pun terjadi dengan hebat. Seorang mahasiswi mengaku,” Katanya sih perkelahian itu dimulai dari pelecehan ke seorang cewek kampus X.” Esoknya salah seorang teman pun mengatakan, “Katanya, anak-anak kampus Y, udah pada siap dengan bambu runcing, pokoknya serem deh.” Yang lain pun menyelutuk, “Katanya, kampus X udah siap untuk men-sweeping fakultas-fakultas.” Seorang teman dengan kesalnya bertanya, “Kata siapa ?” Tak ada jawaban. Tiba-tiba, “Hm … kata bapak kos gue, deng”

Cerita itu benar terjadi, saya mendengarnya sendiri. Tak ada istimewa dengan kata-kata yang selalu muncul dari mulut orang-orang ketika menginformasikan sesuatu dari “katanya”. Kata-kata itu menjadi biasa bahkan saking bisanya kita tak pernah sadar akan makna dan dampaknya.

Jika dilihat dari struktur kata yang membentuknya, “katanya” berasal dari kata : kata dan imbuhan -nya. Kata dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti unsur bahasa yang diucapkan atau dituliskan yang merupakan pernyataan kesatuan perasaan dan pikiran yang dapat dipergunakan dalam berbahasa. Sedangkan -nya berarti kata ganti dia (orang ketiga tunggal) ataupun kata ganti milik. Berarti di sini, pertama, “katanya” dapat berarti pernyataan kesatuan perasaan dan pikiran milik “dia”, atau sebut saja pernyataan lisan atau tulisan yang memang keluar dari pikiran “dia” sendiri. Sedangkan yang kedua dapat bermakna “dia” hanya menjadi penyambung informasi yang diterimanya dari orang lain.

Pemaknaan ini sering menjadi campur aduk sehingga sering kita misunderstanding atau mis-persepsi terhadap informasi yang saat ini berselieweran dengan bebas di sekitar kita. Hingga tak jarang, kita selalu mengalami mis-komunikasi atau kegagalan komunikasi dengan orang lain. Hal ini bukan hanya mengganggu komunikasi antar persona atau kelompok kita saja tapi bisa menjadi penyebab dan pemicu konflik antar masyarakat. Makanya jangan heran, jika tiba-tiba sekelompok massa diberitakan “menyerbu” seseorang yang “katanya” telah menyudutkan idolanya ataupun sebuah konflik sosial semakin memanas ketika, “Katanya masyarakat kampung sebelah sudah siap menyerang kembali kampung kita.”

“Siapa yang menguasai informasi, ia akan menguasai dunia”, demikian ungkap Alvin Toffler. Era informasi saat ini, memungkinkan setiap orang dapat menjadi sumber informasi. Rasanya akan sangat ketinggalan, ketika kita terlewat memperoleh informasi dan menjadi suatu kebanggaan ketika kita mampu mengatakan, “Begini katanya …”

***

Kita tak pernah bertanya, siapakah “katanya” atau mengapa “katanya”. Ketika apa dan bagaimana “katanya” sampai ke telinga kita, kita akan kembali katakan “katanya” pada orang lain, seakan-akan itu kata kita. Hingga akhirnya setiap orang sudah cukup percaya dengan apa dan bagaimana “katanya” lalu menjadikannya Tuhan.

Tuhan dalam bahasa Arab disebut ilah bisa berarti benda abstrak (nafsu atau keinginan pribadi) dan nyata (Fir’aun, raja, pohon besar). Berdasarkan logika Al Quran, Tuhan berarti sesuatu yang dianggap penting sedemikian rupa oleh manusia sehingga merelakan dirinya dikuasai (didominasi) oleh sesuatu itu (Kuliah Tauhid, Imaduddin Abdulrahim, 1979, Pustaka Bandung). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Tuhan berarti yang diyakini, dipuja, dan disembah oleh manusia sebagai yang Maha Kuasa, Maha Perkasa dan sebagainya atau juga sebagai sesuatu yang dianggap Tuhan.
.
Ketika “katanya” telah mendominasi kesadaran rasio dan emosional kita, saat itu pula “katanya” telah menjadi Tuhan. Sebagian masyarakat kita yang tidak pernah kritis dengan segala informasi yang diterimanya saat ini, tak menyadari bahwa “katanya” telah menjadi Tuhan baru bagi dirinya. Begitu banyak peristiwa baku hantam antar etnis, agama, dan kelompok yang sering dipicu oleh “katanya” akibat keengganan kita bersikap kritis dengan melakukan cek dan ricek.

***

Bukan hanya dalam komunikasi antar persona atau kelompok saja, kesadaran kritis terhadap segala informasi yang kita terima juga harus dilakukan dalam menghadapi pemberitaan media massa saat ini. Kebebasan pers saat ini di satu sisi memang menjadi jalan demokratisasi komunikasi karena kemerdekaan ruang publik ini. Tetapi pada sisi lain, kebebasan ini telah memungkinkan munculnya “penguasa-penguasa” baru yang menggunakan media massa sebagai alat kekuasaannya. Kerja jurnalistik adalah pengumpulan, penangkapan, dan pengungkapan fakta dan data. Fakta dalam jurnalistik bukan hanya realitas sosiologis saja tapi juga ucapan seseorang yang dianggap berkompeten atau berhubungan berbicara sesuai fenomena yang diangkat. Orang-orang inilah yang disebut sebagai narasumber. Oleh sang wartawan, ucapan atau pernyataan narasumber ini ditulis menjadi sebuah berita yang berjudul “katanya”.

Seorang narasumber oleh Aristoteles harus memiliki pikiran, akhlak, dan maksud yang baik yang disebut dengan etos. Dengan kata lain, seorang narasumber haruslah mereka yang memiliki modal ; kredibilitas, atraksi, dan kekuasaan. Kredibilitas menyangkut persepsi orang lain terhadap keahlian dan watak kita. Dalam atraksi, kita bicara mengenai pesona fisik ataupun inner beauty seperti karisma. Sedangkan kekuasaan merupakan kemampuan untuk mempengaruhi orang lain. Gramsci mengatakan, dalam sebuah kekuasaan, kekuatan senjata atau militer narasumber harus dikombinasikan dengan kepemimpinan moral dan intelektual. Bahkan menurut Foucoult, seseorang yang dianggap memiliki “pengetahuan” pun mampu menjadi penguasa informasi “katanya”

Dengan modal-modal yang dimilikinya di atas, narasumber sering dipandang sebagai orang yang lebih tahu dibandingkan masyarakat awam. Pandangan “sang super” ini menjadi sebuah pengharaman atas kesalahannya sebagai narasumber. Ucapan “sang super” ini akhirnya menjadi kebenaran pengetahuan. Kebenaran pengetahuan itu pun melenakan sebagian kita untuk melihat bahwa “katanya” bukanlah Tuhan, ia sama seperti kita, manusia. Sehingga pengharaman kita atas kesalahan “katanya” menjadi ambivalen dengan kesadaran kita akan tidak mungkinnya manusia melepaskan diri dari perbuatan dosa atau kesalahan. Saya hanya ingin katakan, waspadalah terhadap “katanya”, dimana saja !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar