site meter

Sabtu, 29 Agustus 2009

Globalisasi Kemanusiaan

Semoga hanya sebuah syair,

Ketika laut ditanami ranjau
dan kapal-kapal urung berlayar
kubangun sendiri laut di hatiku
lebih luas
lebih dalam
laut kulayari sampai jauh
sampai ke teluk-Mu
Ketika bukit-bukitan dan gunung-gunung digunduli
dan dirampas kecelakaan
berjuta burung pun kau usir dari kehidupan
kubikin sendiri gunung di hatiku
lebih tinggi
lebih hijau
gunung kudaki sampai ke puncaknya

(HS Djurtatap, Tadarus Puisi di TIM)

Baju Global, Pemikiran Lokal

Beberapa teman pernah mengatakan, yang namanya militer Indonesia itu gayanya gagah seperti Rambo. Badannya kekar, garis mukanya keras, dan selalu membawa senjata. Senjatanya model SS, M-16, ditambah kendaraan seperti panser, buatan Indonesia dan luar negeri. Tapi sayang, kalau Rambo bisa bertarung sendiri di hutan Vietnam yang luas sementara militer Indonesia hanya berani sweeping kalau pergi bersama-sama. Padahal peralatan militernya jauh lebih lengkap. Ternyata, itu tidak menjamin keberanian mentalnya ketika berhadapan dengan sekelompok orang yang disebut kelompok sipil bersenjata.
Lain lagi cerita tentang Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Badan tegap, berjambang, sorot mata tajam, kulit agak hitam, bisa berbahasa Aceh, maka bergabunglah bersama GAM ! GAM jauh lebih gagah dari militer. Bukan hanya penampilan tapi juga kecerdasan dalam strategi perangnya. Strategi gerilya ala Rambo. Senjatanya _ AK-47, M-16, GLM, Manggis_ buatan Indonesia dan luar negeri. Handphone _ sarana the connecting people _ ataupun handy talky (HT) produknya Amerika dan Korea adalah gaya sebagian orang-orang GAM. Kecerdasan strategi yang dimiliki Kopassus disinyalir juga menjadi ciri strategi GAM sehingga wajar saja pasukan seperti brimob atau polisi biasa tak mampu berbuat apa-apa. “Ya .. seperti film-film action di TV-TV itulah … “
Lain dengan gaya pejabat pemerintah daerah. Mereka mengendarai mobil dinas Toyota Kijang, memegang handphone produk Amerika dan Jepang yang berganti-ganti modelnya, memakai safari yang terbuat dari wool Australia yang sebenarnya sangat gerah kalau digunakan di daerah sepanas Aceh ditambah dasi merek Gianni Versace yang dibeli ketika berjalan-jalan ke luar kota untuk urusan dinas.
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pun tak ketinggalan. Kehadirannya bertambah marak ketika kasus Aceh mengemuka setelah Mei 1998 lalu. Hampir semua membawa isu demokratisasi, pelanggaran HAM, pemberdayaan masyarakat, dan demiliterisme. Mereka mendapatkan dana pergerakan dari bantuan luar negeri atau dalam negeri. Jaringannya pun bukan hanya di Indonesia tapi juga negara-negara seperti Amerika, Eropa, dan Asia. Hingga terkadang menjadi sangat wajar ketika handphone atau laptop menjadi salah satu kebutuhannya. Safari plus dasi pun terpaksa selalu dikenakan untuk menghadiri seminar di hotel-hotel atau restoran-restoran. Katanya ini semua untuk negosiasi dan transformasi wacana.
Masyarakat awam malah memilih diam dalam kondisi konflik seperti ini. Lebih baik nongkrong di rumah sambil nonton telenovela di RCTI, “Kuch-Kuch Hota Hai” di Video Compact Disc (VCD), “Hikayat Hang Tuah” di TV3 Malaysia. Hampir semua menggunakan TV merek Sony atau Sharp. Sebagian saluran TV asing dapat dicapai oleh parabola. Ibu-ibu memasak memakai kompor gas Hitachi atau Hock. membuat es di kulkas Toshiba atau memanggang kue di microwave. Sementara sang bapak merokok dengan Dji Sam Soe, menggunakan sepatu Spotec atau kemeja bermerek Yves Saint Laurent.
Teman saya yang calon dokter pernah bilang, kalau sebagian besar mahasiswa di Aceh suka nongkrong di kedai kopi. Minum kopi dan makan martabak telur sambil nonton MTV dan sesekali mengisap rokok Sampoerna . Celana Levi’s, kemeja Hammer, dan topi Sport yang mereka kenakan terlihat casual, katanya. Sementara sebagian mahasiswinya terlihat di sudut-sudut pusat belanja dan pasar. Menggunakan kerudung atau selendang dengan paduan kemeja Country Fiesta dan celana Lee.
Itulah realitas masyarakat yang begitu kaya dengan kemasan dan simbol-simbol. Merek-merek di atas adalah produk global. Sebagian besar diproduksi oleh negara seperti Amerika, Jepang, Korea, dan Prancis. Tapi kita dengan mudah menemuinya di sudut-sudut kota kecil seperti Aceh. Jarak ribuan mil antara Aceh dan Amerika bukanlah penghalang kedekatan psikologis masyarakat Aceh terhadap produk-produk Amerika. Amerika hadir di Aceh dalam wujud pakaian, film dan makanannya. Siapa yang tak kenal celana Lee, Rambo, dan Kentucky ?
Penulis tak ingin menyalahkan Amerika dan negara-negara lain dengan produk-produknya. Globalisasi media yang tak kenal tapal batas (borderless) saat ini telah menyebabkan akulturasi sedemikian rupa terhadap pusat-pusat kebudayaan. Masalahnya adalah ketika globalisasi hanya memperkaya gaya hidup kita tetapi bukan kehidupan itu sendiri. Hingga jadilah kita bangsa imitasi yang tak memiliki identitas dan karakter khas. Sementara kekayaan hidup hanya dapat ditemukan pada keluasan pikiran dan kejernihan hati nurani. Bagaimana kekayaan hidup akan dimiliki jika menurut Alexander Solzhenitsyn, globalisasi tidak menjadikan jiwa semakin tumbuh malah membuatnya semakin dangkal dan kehidupan spiritual pun menurun. Mengapa gaya global kita tak terlihat juga pada pemikiran yang universal ?

Globalisasi Permasalahan Aceh


Syair di atas menggambarkan bagaimana sikap kolektif masyarakat yang merasa gagal melakukan perubahan dengan cara masing-masing dan akhirnya mengambil sikap mundur dan mencari jalan lain untuk mendapatkan kepuasan pribadi (Kompas, 28 Juni 2000) . Saya khawatir, Aceh pun akan mengalami hal yang sama. Permasalahan Aceh yang semakin berlarut-larut seperti tak menunjukkan titik terang. Beberapa solusi yang ditawarkan _ meredeka, otonomi khusus dan referendum _ selalu menjadi diskusi yang tak pernah selesai. Pada akhirnya, pulanglah kita dengan pikiran masing-masing lalu perjuangan akan tetap dilanjutkan sendiri-sendiri. Aku berjuang sebagai bangsa Aceh, kamu berpikir sebagai orang Indonesia dan kalian adalah orang-orang yang tak mengerti sejarah. Titik.
Sampai kapanpun jika kondisi terus dibiarkan seperti ini, perdamaian dan kemerdekaan tak akan penah diraih. Bukan hanya di Aceh tapi di seluruh negara yang ada di dunia ini. Hingga sebuah perdamaian, kemerdekaan dan cinta kasih sebuah negeri hanyalah menjadi bagian dari bunga tidur kita.
Globalisasi gaya telah kita lakukan dengan sadar. Maka saatnya sudah globalisasi pikir dan hati kita lakukan juga pada masalah Aceh. Caranya cukup sederhana, mulailah dengan menarik nafas Anda dalam-dalam dan keluarkan, kosongkan pikiran, pusatkan perhatian, bersihkan hati dari keduniawian dan tetap bertahan. Ini bukan gaya Shaolin, hanya salah satu cara untuk berkonsentrasi. Sebab globalisasi pikir dan hati merupakan pembicaraan masalah content (isi) yang substansial bukan lagi sekedar gaya yang artifisial.
Globalisasi pikir terhadap masalah Aceh dapat dilakukan dalam dua hal. Pertama, Aceh dipandang sebagai konteks kemanusiaan yang universal dan kedua, Aceh dilihat sebagai salah satu bagian dunia yang saling ketergantungan (interdependency) dan saling keterkaitan (interconnection) dengan bagian-bagian lainnya.
Permasalahan ketidakadilan dan kekerasan baik secara politik, ekonomi, budaya, hukum, dan militer merupakan isu kemanusiaan universal. Manusia sebagai makhluk individu memiliki kualitas pribadi yang berpotensi untuk memprodukai ketidakadilan dan kekerasan. Bibit-bibit itu oleh Gede Prama disebut sebagai Aku. Keakuan tersebut bersumber dari keyakinan dan perasaan yang selalu benar, harga diri yang tinggi, dan keserakahan terhadap harta. Perasaan dan keyakinan seperti ini terdapat dalam setiap diri manusia, dimana dan kapan pun. Ini berarti, setiap tindakan yang disebabkan oleh penggalian berlebihan (hyper exploration) secara negatif akan melanggar nilai-nilai kemanusiaan universal. Dan harus diajukan ke pengadilan kemanusiaan universal. Kondisi yang terjadi saat ini di Aceh pun harus dilihat dalam konteks seperti itu. Baik militer, pemerintah daerah, GAM, mahasiswa, LSM, masyarakat awam yang melanggar nilai-nilai kemanusiaan universal ini harus dijadikan musuh bersama. Penghancuran musuh bersama ini bukan dengan kembali melakukan pelanggaran kemanusiaan. Tapi merupakan gerakan penggalangan opini dan kekuatan kritis masyarakat global untuk mengendalikan sumber-sumber keakuan yang berlebihan itu. Dalam perspektisf Islam, hal ini merupakan penafsiran terhadap ayat tawashau bil haq watawashau bis shabr, saling nasihat-menasihati dalam kebenaran dan saling nasihat-menasihati dengan kesabaran.
Aceh secara de facto dan de jure selama 55 tahun telah menjadi bagian dari Indonesia walau menurut perspektif GAM, Aceh merupakan sebuah bangsa yang berdaulat dan telah merdeka jauh sebelum Indonesia merdeka. Lepas dari itu semua, globalisasi yang tanpa kenal tapal batas itu nyatanya semakin lama semakin mengaburkan eksistensi kenegaraan itu sendiri. .
Era global yang ditandai oleh saling ketergantungan (interdependency) dan saling keterkaitan (interconnection) tidak hanya terjadi antar negara tapi juga antar individu. Ini berakibat pada dunia yang terasa semakin kecil, batas antara negara semakin kabur, kedaulatan negara dan integritas teritorial makin terkikis maknanya. Lihatlah bagaimana internet _ media komunikasi global _ dapat menerbangkan kita ke seluruh dunia tanpa harus mengurus paspor, membayar visa dan membeli tiket pesawat. Pada era ini terjadi beberapa perubahan mendasar diantaranya ; bergesernya konstelasi politik global dari kerangka bipolar menjadi multipolar, meningkatnya peranan kekuatan-kekuatan non-pemerintah dalam hubungan tata negara, menguatnya gejala ketergantungan, dan munculnya isu-isu baru dalam agenda internasional seperti Hak Azasi Manusia (HAM), intervensi humaniter, demokrasi dan demokratisasi, good governance, dan lingkungan hidup.
Tantangan masa depan yang berdampak global pada seluruh aspek kehidupan ini pun harus tergambar dalam pergerakan yang dilakukan masyarakat sipil. Setiap elemen masyarakat sipil harus saling bersatu untuk menghadapi guncangan terhadap pengurangan atau restriksi hak-hak mereka. Oleh karena itulah pandangan bahwa telah terjadi pengingkaran sejarah sehingga Aceh tak layak menjadi bagian dari negara kesatuan RI terlihat berjalan di tempat. Pemahaman terhadap sejarah adalah kesadaran akan dimensi ruang dan waktu. Dimensi waktu sejarah berarti bicara mengenai pemetaan masa lalu, merumuskan kesadaran masa kini dan menangkap bayang-bayang konkret tantangan masa depan. Sedangkan dimensi ruang berarti adanya konteks yang aktual antara dinamika masyarakat dengan dimensi waktu yang telah dijelaskan di atas. Ketika pergerakan menggugat sejarah tidak berpijak pada logika ini maka tak pernah ada lagi pembicaraan rasional yang bijaksana. Sebuah hadits Rasulullah mengingatkan, “Jika hari ini lebih baik daripada hari kemarin maka ia orang yang beruntung, jika hari ini hari ini sama dengan hari kemarin maka ia orang yang merugi, jika hari ini lebih buruk dari hari kemarin maka ia orang yang celaka.”
Kemudian, kita harus melakukan globalisasi hati. Ia dilakukan oleh individu, keluarga, masyarakat, bangsa yang berpegang pada kebenaran, menjunjung perdamaian, menghindari perampasan harta dan nyawa yang bukan haknya dan memiliki kecintaan pada sesama manusia ciptaan Tuhan. Secara praksis, ini adalah kegiatan reflektif yang dilakukan oleh hati nurani terhadap segala perkataan dan perbuatan selama ini. Begitu banyak fitnah, prasangka, dan kedengkian yang bersarang di hati kita sehingga tindakan yang dilakukan selama ini menjadi begitu emosional. Potensi keakuan yang melekat pada hati manusia lebih bersandar pada materi dan keduniawian. Dalam sebuah kandungan kitab Durratun Nashihin dikatakan, “Barangsiapa mementingkan urusan dunia menjadi tujuan dan kesibukan utamanya maka akan melekat pada hatinya empat perkara :
Kegelisahan yang tidak akan pernah hilang,
Kesibukan yang tidak akan habis-habisnya
Kemiskinan yang tidak akan mencapai kekayaan
Harapan yang tidak akan mencapai akhirnya
Akhirnya, globalisasi aksi menjadi wujud kerja pikir dan hati.. “Think globally, act locally. Berpikir secara global tapi tindakan dilakukan secara lokal. Ketidakadilan dan kekerasan dalam seluruh aspek kehidupan di Aceh harus menjadi isu-isu universal di media global. Sehingga masa depan Aceh seharusnya juga berada dalam perencanaan masa depan global dan bukan menjadi masalah orang-orang Aceh saja. Sementara nilai-nilai perdamaian, cinta kasih dan kemerdekaan harus menjadi tindakan lokal setiap individu, keluarga, dan masyarakat Aceh. Tindakan lokal ini pada saatnya akan seperti bola salju (snowball) bagi tindakan-tindakan lokal lainnya dalam pentas global.

Bandung, Oktober 2000

Tidak ada komentar:

Posting Komentar