site meter

Sabtu, 29 Agustus 2009

Kekuasaan Otoriter Dari Gerakan Penindasan Menuju Politik Hegemoni

RESENSI BUKU
(dimuat di HU Galamedia Bandung Februari 2001)


Judul : Kekuasaan Otoriter
Dari Gerakan Penindasan Menuju Politik Hegemoni
(Studi atas Pidato-pidato Politik Soeharto)
Penulis : Eriyanto
Penerbit: Insist dan Pustaka Pelajar
Hal : 270 hal

Berapa milyar jumlah penduduk dunia saat ini ? Sejumlah itulah anda akan mampu membuat buku yang tak ada penghabisannya tentang keunikan jiwa manusia. Manusia yang dinamis adalah hakikat pengetahuan yang harus dimiliki dalam memahami kompleksitas jiwanya. Ketika kompleksitas jiwa manusia coba dipahami secara sistematis melalui pendekatan ilmu maka jadilah ia salah satu referensi bagaimana kita memahami jiwa manusia dengan lebih “bijak”.

Soeharto bebas dari tuntutan pengadilan. Daftar penyakitnya hampir memenuhi setengah halaman Harian Kompas ( Jumat 29/10/2000). Tidak lama berselang setelah keputusan bebas dari pengadilan diumumkan, massa pun mengamuk. Pro dan kontra. Yang pro berasumsi, dimaafkan sajalah, orang tua yang sakit itu sudah tak berdaya lagi. Lagipula tak bisa dipungkiri, dia pun telah menorehkan jasanya bagi negeri ini. Sementara yang kontra tetap pada pendirian bahwa sumber keterpurukan bangsa ini adalah Soeharto. Dibebaskannya Soeharto dari tuntutan hukum tidak akan menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa ini.

Buku karangan Eriyanto ini mencoba menganalisis perilaku politik seorang “Soeharto” yang monumental dalam sejarah Indonesia. Analisis dilakukannya dengan mempelajari struktur Pidato Kenegaraan Soeharto setiap tanggal 16 Agustus (1990-1997). Diakui memiliki kelemahan karena pidato resmi kenegaraan itu ; pertama, tidak langsung ditulis oleh Soeharto sehingga tidak mencerminkan watak psikologis Soeharto yang sebenarnya dan kedua, ditulis oleh para pembantunya yang pasti senantiasa menuliskan hal yang baik-baik saja.

Kelemahan itu bukan berarti bahwa buku ini tak bermanfaat sama sekali. Pidato yang isinya baik-baik saja dan sangat datar ini malah menarik perhatian penulis hingga dijadikannya skripsi untuk menyelesaikan studinya di jurusan Ilmu Komunikasi UGM. Pidato politik dan kondisi empiris yang ternyata memiliki kesenjangan sangat jauh ini mengindikasikan adanya manipulasi politik yang dilakukan selama Soeharto berkuasa. Isi pidato yang tidak menunjukkan kondisi ril masyarakat menjadi sangat wajar ketika Anda mengetahui bahwa pidato itu dibuat satu tahun sebelum pidato itu dibacakan. (misalnya pidato untuk tahun 1996 ditulis pada tahun 1995). Ironisnya, pidato ini pun menjadi pola bagi kebijakan-kebijakan kekuasaan di bawah presiden sehingga membentuk suatu struktur sekaligus tekstur yang mapan, yang kata penulisnya dapat diproduksi dan direproduksi dalam kesempatan yang berbeda.

Memahami Soeharto melalui pidato-pidato politiknya bukan hanya sebuah pemahaman tekstual. Soeharto sebagai pribadi, seorang Jawa, dan sebagai mantan prajurit adalah realitas psikologis sosial yang juga harus kita ketahui dan pahami. Realitas empiris Soeharto itulah yang melatarbelakangi bagaimana ia mampu mendapatkan dan mempertahankan kekuasaanya.

Pandangan Soeharto dan Soekarno terhadap komunis terlihat sangat ekstrim. Soekarno yang sangat rasional karena berlatar belakang pendidikan tinggi, banyak membaca buku dan sering melakukan diskusi ini menjadi tampak ragu-ragu ketika banyaknya desakan untuk segera membubarkan PKI. PKI dianggapnya sebagai sebuah organisasi besar, rapi, sistematis dan solid dalam hal teori dan praksis yang teruji. Satu hal yang tidak dimiliki oleh kelompok manapun termasuk kelompok Islam dan ABRI. Pemahamannya terhadap ideologi PKI membuatnya merasa bahwa memberangus PKI dengan paksa bukan suatu hal yang mudah. Perjuangan bawah tanah dengan wujud yang sangat halus masih dapat mereka lakukan karena kekuatan basis ideologis organisasi ini.

Sementara bagi Soeharto _anak desa dan seorang prajurit_ yang sebagian besar kebijakannya berdasarkan pada an act of faith (perbuatan yang berdasarkan keyakinan) begitu sangat yakin akan dirinya bahwa PKI memang harus dibubarkan. Pemikiran yang tidak dilandasi rasionalitas ini menyebabkan ia menjadi begitu “garang” untuk melenyapkan PKI dengan cara apapun.

Fusi partai politik pada tahun 1973 adalah salah satu wujud perilaku politik Soeharto yang didasarkan pada pemahaman falsafah kekuasan Jawa mengenai makna keselarasan. Dalam keselarasan tidak dikenal wacana konflik. Konflik yang bersumber dari keanekeragaman atau perbedaan-perbedaan dianggap sebagai rongrong yang akan merusak makna kesaktian seorang pemimpin. Seorang disebut sakti jika kekuasaannya monopolistik (berada dalam satu tangan sang raja). Jika terjadi perdebatan akibat perbedaan-perbedaan wacana yang memungkinkan adanya distribusi kekuasaan , kesaktian sang penguasa dianggap mulai lemah. Ini tidak boleh terjadi sehingga pengendalian politis harus dilakukan untuk menghindari hal itu. Penggabungan beberapa partai politik (parpol) menjadi tiga partai ; PPP, Golkar, PDI akhirnya menjadi keputusan politik Soeharto. Penyeragaman ideologi Pancasila pun dilakukan terhadap partai-partai ini. Dengan sikap alus Jawanya, Soeharto tidak terlihat memaksa hal ini segera diterima oleh seluruh rakyat. Secara verbal memang tak terlihat adanya pemaksaan tetapi strategi politisnya menunjukkan hal lain. Peristiwa berdarah Tanjung Priok yang dilakukan militer terhadap masyarakat untuk menolak kebijakan ini menunjukkan kemisteriusan sikap alus dan bijaksananya seorang bapak yang bernama Soeharto. Bagaimana mungkin seorang pemimpin yang penampilannya begitu bersih dan tenang dapat membiarkan terjadinya pembunuhan massal yang tidak berperikemanusiaan ? Juga pembunuhan-pembunuhan, penculikan, dan teror-teror yang terjadi di Aceh, Timor Timor, dan Irian Jaya yang sampai saat ini masih menjadi misteri besar. Apakah darah dan nyawa rakyat kecil yang tak tahu apa-apa menjadi halal bagi kekuasaan satu orang yang tidak boleh berkurang kesaktiannya karena alasan mitos irasional ?

Untuk memahami kajian ini, penulis menjelaskan dengan sistematis bagaimana kekuasaan gerakan penindasan dan politik hegemoni ini dibangun oleh Soeharto dengan sangat halus dan rapi. Mulai dari tema-tema yang menjadi jargon kekuasaan orde baru hingga pada bentuk-bentuk konsolidasi kekuasaan politik melalui produksi wacana, kata-kata dan pembakuan bahasa secara formal (Proyek Pembinaan dan Pengembangan Bahasa).

Skripsi yang dijadikan buku ini ditulis dengan sistematik ini mungkin tidak begitu dipahami oleh awam. Analisis wacana digunakan dalam memahami makna pidato politik Soeharto yang dijelaskan pada awal bab terdengar kurang akrab bagi mereka yang tidak mendalami penelitian dalam ilmu sosial atau komunikasi kontemporer. Bagi para akademisi, pengamat, pembuat kebijakan, ilmuwan, buku ini menjadi alternatif wacana yang hampir jarang terdapat di Indonesia. Tapi setidaknya, buku ini mampu memberikan kontribusi pemikiran kepada kita tentang apa yang harus dilakukan untuk menghadapi Soeharto yang masih “dingin” dan penuh misteri. Menjadi perenungan apakah pengadilan Soeharto dianggap penting dengan hanya menghitung kembali jumlah kerugian secara materil/ekonomi ? Apakah kerugian sosial (social cos)t yang telah membuat peradaban bangsa ini terpuruk dan pola pikir serta perilaku korup hampir pada setiap elemen kehidupan yang telah dipupuk selama 32 tahun oleh pemerintahan orde baru menjadi “terlupakan” dalam semangat pengadilan Soeharto (juga keluarga dan kroni-kroninya) ? Bahkan untuk mengkritisi masih adakah “Soeharto-soeharto” baru lahir pada pemerintahan kita saat ini ? Atau malah kita sendiri pelaku-pelaku kerusakan besar bangsa ini ?

1 komentar:

  1. Terimakasih telah menguals buku INSISTPress. Rehal buku ikut dilansirkan di: http://blog.insist.or.id/insistpress/?p=14329

    BalasHapus