site meter

Sabtu, 29 Agustus 2009

Gambar “Bola” Ulil

"Tulisan apa, sih ?” tanya saya pada sang (pendamping hidup).

“Itu lho tulisan Ulil di Kompas.”

Apa yang aneh dengan tulisan Ulil. Siapa Ulil ? Yang saya tahu, dia temannya si Komo, bukan ? Si Ulat yang jahil, tokoh “ciptaan” Kak Seto, idolanya anak itu.

“Tulisan Ulil 18 November lalu bikin heboh. Ada lagi diskusinya di Metro TV. Dia menghina Islam. Dia bilang, pake jilbab itu tidak wajib. Masa’ sih sebegitunya ?” ujar suami saya sewot.

“Terus !?”

“Dengan mengatasnamakan Jaringan Islam Liberal, dia menafsirkan Al Quran seenak perutnya. Emangnya dia ahli tafsir ?”

“Eh, kok sewot ?”

“Jelas sewot, dong. Masa’ kamu sebagai muslimah diam-diam saja ?”

“Ya enggak, dong ! Tapi saya kan belum baca Kompasnya, Mas.”

Suami saya pun tersenyum manis. “Ini tulisannya !”

Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam, demikian judul artikel opini Ulil di Kompas beberapa waktu lalu. Dua kali saya ulang membacanya. Sangat hati-hati, khawatir nantinya akan sewot tanpa alasan.

Saya kembali bolak-balik sudut koran yang lain. Kali ini Republika. Sudut Resonansi yang ditulis Ifdhal Kasim pada 26 Desember lalu juga bahas tentang Ulil. Menyikapi reaksi Forum Ulama Umat Indonesia (FUUI), sekumpulan ulama dari Jawa Tengah, Barat, dan Timur yang menuntut dibongkarnya jaringan yang telah melakukan kegiatan sistematis untuk menghina Allah, Rasul, dan Islam dan menjatuhkan hukuman mati terhadap orang seperti “Ulil” yang dianggap sengaja mendiskreditkan Islam.

Saya memang belajar tentang bagaimana menuliskannya sebuah pendapat. Pelajaran itu bernama : “Penulisan Artikel”. Walau tak ada teori yang baku, kata sang guru, ada standar-standar kualitas tulisan (yang disebut dalam jurnalistik sebagai views ini) yang disepakati umum. Salah satunya adalah koherensi ide yang merefleksikan utuhnya pikiran kita dalam menyampaikan sebuah gagasan yang bersifat argumentatif (apalagi persuasif). Ah, terlalu ilmiah kedengarannya. Sederhananya, apakah gagasan-gagasan kita dalam tulisan itu dapat dimengerti oleh pembaca ?

Ada beberapa faktor mengapa seseorang dapat mengerti gagasan yang ditulis oleh orang lain. Pertama, ketika sang penulis juga memang sudah sangat paham dengan gagasannya sendiri. Bagaimana mungkin kita dapat jelaskan bentuk bola pada seorang anak jika kita tidak pernah melihat bola itu sendiri ?

Kedua, kita mampu “menggambarkan” gagasan itu melalui kata-kata yang jelas dan runut yang diterima oleh telinga atau mata seseorang. Pesan-pesan ini ditangkap oleh indera kita, yang akan direspon oleh otak kita yang disebut Harun Yahya sebagai ruang kosong dan gelap itu. Nah, koherensi ide (keterkaitan ide antar paragraf) merupakan garis-garis sketsa yang pada akhirnya akan membuat gambar utuh tentang gagasan kita itu. Dari cara membaca “tulisan” ini, bahkan makna psikologis penulis yang tersirat dapat tersurat (walau tak disebut sebagai kebenaran mutlak).

Dengan bersandarkan pada dua pemahaman awam itulah, saya “membaca” tulisan Ulil. Seperti juga Ulil yang mengatakan, sah-sah saja orang punya pendapat sendiri, saya ingin katakan juga bahwa saya juga punya pendapat tentang tulisan Ulil. Menurut saya, Ulil telah gagal menggambarkan “bolanya” sendiri. Mengapa ?

Saya bukan seorang yang paham benar untuk berdebat tentang penafsiran teks Islam. Bilang saja, pemahaman saya pun sangat awam atau yang disebut orang-orang “taqlid” oleh kalangan Islam Liberal (IL)-nya Ulil. Tapi ketika membaca tulisan Ulil, saya yang orang awam ini pun merasa semakin awam. Saya tak mengerti makna yang ingin disampaikan Ulil. Dengan sudut pandang seorang yang pernah belajar “menulis” itulah, saya tidak mengerti gambar “bola” dalam tulisan Ulil.

Pesan-pesan Ulil dalam tulisannya di Kompas itu, terlihat jelas tidak memiliki koherensi ide (atau sebutlah tidak konsisten). Malah kalau dilihat dengan lebih dalam, antar paragraf malah saling menegasikan. Lihatlah beberapa contohnya.”.... Keadilan itu tidak bisa hanya dikhotbahkan tetapi harus diwujudkan dalam bentuk sistem dan aturan main, undang-undang, dan sebagainya, dan diwujudkan dalam perbuatan.” Lalu kalimat berikutnya, Ulil malah menuliskan, “ Upaya menegakkan syariat Islam, bagi saya, adalah wujud ketidakberdayaan umat Islam dalam menghadapi masalah yang mengimpi mereka dan menyelesaikannya dengan cara rasional.”
Dua kalimat tersebut, diletakkan berurutan. Bagaimana mungkin, ide pembentukan sistem dan aturan main yang oleh kalimat pertama bernada positif lalu ditolak kembali dalam kalimat berikutnya. Jika Ulil ingin menolak syariat Islam (notabene adalah sebuah pembentukan sistem dan aturan main), jelaskan dulu bentuk sistem seperti apa yang dimaksud kalimat pertama.

Dalam kalimat lain, Ulil menyebutkan bahwa agama adalah urusan pribadi. Lalu mengapa dia “sewot” dengan membuat tulisan tersebut yang notabene adalah membahas tentang penafsiran agama (Islam). Kalau maksudnya adalah menyudutkan penafsiran lain, jelas sikap ini menunjukkan angkuhnya seorang Ulil bersama pendapatnya sendiri. Sementara dalam tulisannya pula, Ulil mengatakan bahwa tiap orang bebas berpendapat. Jangan terlalu jauh bicara tentang satu pikir dan aksi. Dengan pikiran yang seperti ini saja, Ulil tak bisa “satu”.

Tulisan Ulil ini, mengiingatkan saya tentang seorang sepupu yang baru belajar berhitung di sekolahnya. Hari itu, dia baru belajar perkalian satu sampai sepuluh di sekolahnya. Saking pede-nya, sesampai di rumah, dia langsung mengerjakan PR dari gurunya. Dengan sangat bangga, dia tunjukkan pada saya bahwa hari itu dia sudah mengerti pelajaran berhitung di sekolah (walau baru hanya perkalian satu sampai sepuluh). Tapi sayang, dia tidak teliti. Petunjuk soalnya, nyatanya soal-soal penjumlahan. Saking merasa sudah pintar, dia jadi “lengah”. Belum selesai saya jelaskan kesalahannya. Dia langsung menarik buku PR-nya, “Iya, saya sudah tau, biar saya hapus.”

Ulil nyaris seperti sepupu saya itu. Bersemangat tapi kurang teliti. Ulil, seorang muda yang masih energik coba tampil di publik. Bicara tentang Islam, beda dengan orang lain. Mengaku dari minoritas, representasi kelompok yang tertindas oleh kelompok dominan. Semangatnya, bolehlah tapi ketelitiannya malah membuat dia dianggap sebagian orang sebagai “provokator”. Dan sebagian lagi, hanya tersenyum-senyum bergumam, “Ah, anak baru kemarin, biar sajalah, baru belajar “membaca”.

Saya memang tidak kenal Ulil, tapi saya lihat website Jaringan Islam Liberal (dia menjadi salah seorang penggagas). Ide-ide yang mereka sebut “segar” terhadap penafsiran teks-teks keislaman terlihat hanya sebuah “permainan istilah” yang memang “menggelitik” orang. Cukup “menjual” tapi secara terminologi terlihat janggal. Istilah Islam Liberal saja penuh tanda tanya. Islam dan liberal adalah dua ide yang berbeda (makna asal-usul kata, sejarah dan sebagainya). Bagaimana mungkin “bersatu” ? Ibarat air dan minyak, pemaksaan seperti ini malah menempatkan entitas ini menjadi oportunis (entahlah kalau memang itu karakter oportunis itu yang hendak ditonjolkan). “Oportunitas ide” inilah yang ingin saya garis bawahi. Apapun latar belakangnya, inilah gejala awal kegagalan bangsa kita untuk segera bangkit. Banyak orang yang dianggap pemimpin dan tokoh dalam bangsa ini, yang masih dalam tingkat pikir saja sudah oportunis. Apatah lagi aksinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar