site meter

Sabtu, 29 Agustus 2009

Mata air – Air mata

Saya teringat dengan diskusi bersama seorang teman di internet, “Jangan terlalu pusing dengan banjir di Jakarta. Dimana-mana banjir di dunia ini, selalu berawal dari mata air dan berakhir dengan air mata.” Kata-kata itu cukup melekat pada ingatanku karena dalam satu bulan ini diskusi kami memang berkisar pada persoalan “mata”. Sambil mengakui bahwa teman saya itu memang cerdas, saya pun berpikir untuk melanjutkan kisahnya.

Pada beberapa minggu lalu Jakarta banjir. Media massa “sibuk” menceritakan berbagai kisah di balik tragedi ini. Rumah yang hanya terlihat atapnya. Sungai Ciliwung yang meluap. Tempat pengungsian para korban. “Kepusingan” pemerintah dalam menangani bencana yang “out of prediction”. Beberapa orang dinyatakan tewas. Hari itu (Sabtu, 2/2/02), banjir telah turun dari langit lalu bermuara di kelopak mata.

Air mata tragedi itu telah mengingatkan saya pada mata air yang tidak dijaga oleh kita. Mata air yang (seharusnya) dijaga oleh akar pepohonan. Tapi pohon-pohon itu malah kita tebang dengan penuh hawa nafsu keuntungan ekonomi. Hutan dibuka untuk berladang. Kayu dan daunnya dibakar. Setelahnya ditinggal begitu saja. Hutan menjadi gundul. Tanah menjadi tandus, lalu disebutlah ia lahan tidur.

Belum habis itu, di atas akar yang tak lagi berbatang dan berdaun, kita bangun estat-estat mewah (sekarang malah collaps dengan terbukanya skandal kecurangan proyek developer). Estat-estat mewah yang akhirnya menjadi ukuran status sosial itu dibangun di atas mata air yang kehilangan tempat bernaungnya, akar. Kemana mata air harus mengalirkan dirinya dengan tenang, tak ada akar yang menahan alirannya. Mata air pun berjalan dengan tak punya “pegangan” apa-apa.

Mata air tak pernah berniat untuk membenamkan kita dengan airmatanya. Ia malah dengan ikhlas simpan airmatanya, di akar yang kokoh ... tapi sayang, kitalah yang telah rusakkan mata hati untuk tetap menjaga akar, dimana mata air harus menyimpan air matanya. Mata air tak minta banyak, hanya minta jagalah akar (karena ia tak mampu lakukan kerja itu sendiri). Mata air tak minta banyak, ia malah berikan lebih dengan cinta tanpa pamrih : memberikan kita air mata. Air mata yang malah suburkan sawah, tempat tumbuhnya beras yang kita makan Air mata yang kita minum agar tetap bertahan hidup. Air mata yang kita gunakan untuk mencuci pakaian-pakaian kita yang kotor akibat keringat dan debu. Air mata yang kita pakai untuk mencuci beras, sayur, dan bahan makanan lain agar kita tetap hidup dan sehat. Jadi mengapa harus salahkan mata air (baca : banjir) ketika kita hancurkan “tanah” dan “akar” kehidupannya ?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar