site meter

Sabtu, 29 Agustus 2009

Megawati, Bukan Soekarno

“Megawati, ya Megawati ! Soekarno, ya Soekarno ! Teriak salah seorang mahasiswa yang berdemonstrasi di kampus Institut Teknologi Bandung (ITB) pada Peringatan 100 tahun Bung Karno, Jumat lalu (01/06). Haul Seratus Tahun Bung Karno itu dihadiri oleh Megawati, putri tertua Soekarno-Fatmawati yang juga wakil presiden Republik Indonesia (RI) saat ini. Tidak ada yang istimewa dalam peringatan itu, selain kehadiran Megawati yang saat ini sedang menjadi perbincangan hangat sebagai calon presiden RI kelak menggantikan Gus Dur yang (katanya) akan dilengserkan melalui sidang istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Megawati hadir tanpa Guntur Soekarnoputra, Guruh Soekarnoputra ataupun Sukmawati. Ia disambut oleh acara protokoler yang sangat ketat, dijaga oleh polisi dan satuan tugas (satgas) Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P) dan demonstrasi mahasiswa ITB yang telah menunggu sejak dua jam sebelum kedatangannya. Terlihat beberapa fungsionaris PDI-P dan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi dan Keuangan (Menko Ekuin) Rizal Ramli dan pasukan pengaman kepresidenan (paspanpres). Akhirnya sang putri Soekarno itu hadir sebagai wakil presiden pada peringatan haul seratus tahun ayahnya

Seratus tahun setelah Soekarno lahir, Megawati telah duduk di kursi wakil presiden RI yang kedelapan. Seratus tahun kelahirannya, Soekarno masih dianggap “hidup” oleh sebagian besar masyarakat negara ini. Seratus tahun kelahirannya, pemikiran Soekarno tentang kebangsaan ini kembali diobrak-abrik. Seratus tahun kelahirannya, bangsa ini masih gonjang-ganjing seperti masa demokrasi terpimpin ketika Soekarno menjadi presidennya. Seratus tahun peringatan kelahirannya, cerita tentang Soekarno menjadi nostalgia di tengah kebodohan bangsanya.

Pada 6 Juni 1901, Soekarno lahir. Tak ada yang menyangka, kalau bayi kecil itu kelak akan menjadi “orang besar” di negeri ini. Soekarno, sang orator ulung, insinyur teknik sipil lulusan THS (sekarang ITB), sang proklamator (bersama Bung Hatta) yang namanya monumental dalam sejarah Indonesia. Bukan hanya itu, sebutan “playboy” pun melekat dalam dirinya yang memang secara fisik adalah tipe pria yang mudah menarik hati wanita. Wacananya sebagai pemimpin modern-demokratis menjadi ambivalen dengan gaya kepemimpinannya yang cenderung otoriter pada masa ketika ia memproklamasikan demokrasi terpimpin pada 1959, menjadi sebuah kritik “pedas”. Soekarno memang telah sempurna menjadi manusia : bersama kelebihan dan kekurangannya, dalam pujian dan sinisme orang-orang.

Soekarno adalah aktor pada masanya yang telah membangkitkan sebagian semangat perjuangan rakyat untuk berjuang melawan penjajahan. Konteks perlawanan Asia pada masa itu memang menjadi sebagian inspirasi bagi Soekarno untuk “membumikannya” dengan kondisi Indonesia. Dengan gaya kepemimpinannya yang mengalir budaya Jawa di dalamnya dan salah satu orang yang mampu mengecap pendidikan formal masa itu, Soekarno terbentuk menjadi sosok pribadi yang cukup mudah menarik simpati. Tak bisa dipungkiri, sumbangsih besar pemikiran dan perjuangan Soekarno pada proses pembentukan solidaritas bersama bangsa ini melawan penjajahan. Soekarno yang berani berbicara tentang suatu hal kontroversial : islamisme, nasionalisme, dan marxisme dan pada satu momen memang berhasil menyatukan bangsa ini dalam pernyataan, proklamasi ! Prinsip musyawarah untuk mufakatnya pun mampu menyatukan perang dingin Timur dan Barat, duduk bersama tanpa harus unjuk kekuatan senjata dalam sebuah perhelatan besar negara-negara Asia-Afrika di Bandung pada 1955.

Satu abad sudah Soekarno “hidup” dalam lembaran sejarah bangsa ini. Di tengah keguncangan kehidupan berbangsa dan bernegara sekarang, di antara ancaman disintegrasi, keterpurukan ekonomi rakyat yang tak kunjung usai, pemikiran besar Soekarno tentang persatuan dan kebangsaan kembali diobrak-abrik. Orang “disini” bicara : pemikiran persatuan Soekarno itu relevan untuk menjawab permasalahan bangsa saat ini. Tapi orang “disana” katakan : pahamilah pemikiran Soekarno dalam konteks ruang dan waktu yang relevan.

Jika boleh memilih, saya adalah orang yang berada dalam pemahaman orang “disana.” Semangat nasionalisme yang coba dibangun Soekarno masa itu bermula dari kesadarannya akan realitas masyarakat yang semakin terpuruk akibat penjajahan. Solidaritas Asia yang saat itu juga muncul sebagai akibat penjajahan pun menjadi salah satu inspirasi perjuangan kesatuannya bagi kemerdekaan Indonesia. Sehingga ide-ide nasionalisme Gandhi, sang “nabi” India itu menjadi akrab dalam pidato-pidatonya. Ide tentang Indonesia yang menurut Adolf Bastian sebagai bangsa yang artifisal atau oleh Benedict Anderson disebut sebagai imagined communities pun tenggelam sementara dalam ketidaksadaran filosofis. Keterpurukan ekonomi, politis, sosial budaya, dan psikologis akibat penjajahan menjadi bahan bakar untuk memantapkan perjuangan bersama ide persatuan Soekarno. Walau pada beberapa tahun setelah itu, persatuan Indonesia kembali dipertanyakan ketika pemberontakan seperti DI/TII atau PRRI/Permesta “meletus” di beberapa daerah. Salah satu pemberontakan daerah itu terjadi di Aceh yang saat ini kembali mengguncang kebangsaan sebuah Indonesia bersama Gerakan Aceh Merdeka (GAM)-nya Pendekatan yang baik oleh Soekarno terhadap Daud Beureuh, pemimpin DI/TII Aceh, yang juga karismatik itu, menghantarkannya pada kesepakatan diplomatis : pemberian keistimewaan terhadap Aceh. Malah yang lebih mengejutkan, masyarakat Aceh yang sedang “protes” itu memberikan sumbangan pesawat Seulawah 1 dan 2 yang merupakan cikal bakal Garuda Indoensia. Tapi nyatanya, keistimewaan itu hanyalah janji belaka hingga kepemimpinan berada di tangan Soeharto. Aceh kembali bergolak sampai saat ini bersama GAM pimpinan Hasan Tiro yang memproklamasikan kemerdekaan Aceh pada 4 Desember 1976. Mengapa hal ini terjadi, gagalkah perundingan simpatik antara Soekarno-Daud Beureuh tempo dulu ?

Bacalah Soekarno pada masanya. Bicaralah tentang Soekarno dalam konteks ruang dan waktu bangsa Indonesia yang saat itu yang berada dalam penjajahan Belanda dan Jepang. Berpikirlah bahwa Soekarno memang lahir sebagai aktor dalam zamannya. Tetapi hal ini bukan berarti bahwa pemikirannya hanya menjadi saksi mati di sebuah musium sejarah Indonesia. Saya sangat yakin bahwa sejarah adalah sebuah pemetaan masa lalu, merumuskan kesadaran masa kini dan menangkap bayangan-bayangan konkret masa depan. Sehingga cerita tentang Soekarno ditempatkan dalam paradigma demikian.

Momen satu abad Soekarno menjadi begitu “meriah” di tengah “suara-suara” akan naiknya Megawati sebagai calon presiden (capres) RI menggantikan Abdurrahman Wahid. Satu abad lahirnya Soekarno menjadi momen menarik ketika Megawati, sang capres itu hadir di kampus sang ayah, ITB, untuk membuka peringatan Haul Seratus Tahun Bung Karno. Megawati hadir sebagai wakil presiden (mungkin kelak sebagai capres) bersama acara protokoler istana kepresidenan. Sesaat saya teringat ketika masa kampanya pemilu 1999, di jalan-jalan terpampang gambar-gambar Megawati bersama latar belakangnya, sang ayah, Soekarno.

Dalam paradigma tentang sejarah di atas, satu abad lahirnya Soekarno ini seharusnya menjadi momen bagi bangkitnya kekuatan seorang Megawati. Megawati memang bukan Soekarno. Megawati, seorang wanita dan Soekarno, laki-laki. Megawati, seorang anak dan Soekarno, ayahnya. Megawati, seorang yang sedikit berbicara sementara Soekarno, seorang orator ulung. Lalu apakah seorang Megawati yang perempuan, seorang anak dan sedikit berbicara tak mampu berdiri sejajar dengan sang ayah yang laki-laki dan orator pujaan ? Jawabannya tentu tidak ketika memang seorang Megawati mampu berdiri tanpa harus “ditemani” sang ayah dan bukan hanya mampu berteriak tentang pentingnya kesatuan dan persatuan di tengah krisis kebangsaan yang telah dirobek-robek oleh rakusnya kekuasaan selama ini. Sebab sejarah masa kini telah meminta Megawati untuk : berpikir dan beraksi pada masanya bersama rasionalitas dan kepekaan emosionalnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar