site meter

Sabtu, 29 Agustus 2009

“Yang ideal itu kalau zakat memakai sistem baku zakat”

Mutammimul ‘Ula, S. H :
“Yang ideal itu kalau zakat memakai sistem baku zakat”

Krisis ekonomi yang terjadi sejak 1997 lalu telah menambah daftar jumlah orang-orang miskin di Indonesia. Banyak anak yang tak mampu lagi melanjutkan sekolah, pengangguran bertambah, kebutuhan bahan pokok tak lagi terjangkau oleh masyarakat ekonomi lemah. Berbagai konsep ekonomi telah ditawarkan untuk mencari penyelesaian masalah-masalah ini. Ratusan ekonom berlatar pendidikan Amerika dan Eropa mencul bak jamur di musim hujan. Tak ketinggalan pula, ekonom-ekonom berbasis pemahaman Islam lahir ke permukaan. Islam sebagai way of life dirasakan masih dipahami sangat rendah dan sempit oleh umatnya. Padahal konsep-konsep kehidupan dunia yang diatur Islam sangat relevan dengan perkembangan zaman. Salah satunya adalah masalah zakat. Zakat dalam Islam ternyata bukan menjadi ibadah ritual (hablumminallah) saja tapi juga berimplikasi pada kehidupan ekonomi dan sosial (hablumminannas). Kesadaran inilah yang telah melahirkan Undang-undang (UU) No 38/99 tentang zakat yang akan efektif mulai 2001.
UU yang dibuat oleh pemerintah bersama-sama DPR ini disahkan pada masa pemerintahan Habibie (1999). Walau banyak pro dan kontra, UU ini diakui oleh banyak pihak menjadi bukti bahwa aspirasi umat Islam untuk menawarkan solusi-solusi kehidupan bernegara jangan dipandang sebelah mata. Perdebatan pajak dan zakat pun ternyata bisa saling melengkapi dengan lahirnya UU No 17/2000 tentang pajak
Hal ini pun diakui oleh Mutammimul ‘Ula, anggota DPR RI dari Fraksi Reformasi. Alumnus Fakultas Hukum Undip yang juga anggota Komisi II ini meyakini bahwa zakat memiliki potensi besar bagi pemberdayaan ekonomi masyarakat muslim khususnya. Mas Tammim, begitu panggilannya, saat ini masih menjabat Ketua Departemen lembaga-lembaga Negara DPP Partai Keadilan. Pembicaraan lugas dan panjang lebar di rumahnya, komplek DPR RI Kalibata Jakarta Timur dihantarkan khusus oleh reporter MUZAKKI, Resmiarni buat Anda.


T : Apakah dasar pemikiran dikeluarkannya UU Zakat ?
J : Dasar pemikiran dikeluarkannya UU Zakat itu bisa dilihat dari konsideratnya. Ini maksudnya, zakat merupakan bagian dari ajaran agama sedangkan kemerdekaan beragama itu dijamin oleh konstitusi. Lalu dari segi potensi. Zakat ini kan potensial sekali tetapi kurang diaktualisasi karena tidak ada pengorganisasian yang baik. Yang lain adalah pertimbangan-pertimbangan yuridis seperti ketetapan MPR No 10/ 98 tentang pokok-pokok reformasi pembangunan dalam rangka penyelamatan dan normalisasi kehidupan nasional sebagai haluan negara..

T : Kekuatan yang paling berpengaruh besar bagi lahirnya UU ini ?
J : Pemerintah dan dari semua fraksi pada masa pemerintahan Habibie. Aspirasi umat Islamlah yang masuk melalui jalur pemerintah ataupun fraksi PPP atau Golkar pada masa itu.

T : Apakah pada masa sebelum Habibie, masalah zakat ini tidak pernah diseriusi ?
J : Saya belum pernah menelitinya. Tetapi isu zakat itu sudah lama. Contohnya BAZIS DKI, itu sudah puluhan tahun. Lalu di majalah Pasantren sudah menjadi wacana sejak 1986. Jadi bagaimana praktek-praktek zakat yang hidup dalam masyarakat itu sebagai living law dapat menjadi hukum yang hidup dan berangsur-angsur diintegrasikan dalam sistem hukum nasional sehingga bisa diaktualisasikan potensinya dan lebih tertib.
T : Perubahan mendasar apakah yang terjadi dengan keluarnya UU Zakat ?
J : Secara substansi tidak ada perubahan mendasar karena negara ini dalam konteks hukum Islam atau fiqh hanya mengatur administrasi. Contohnya masalah pernikahan dan haji. Secara substansi negara tidak bisa campur tangan. Misalnya negara tidak bisa mengubah bahwa mustahik itu tidak delapan tetapi satu, nisab perdagangan diganti 0,5 %, rukun nikah diganti tidak ada mempelainya. UU ini menjadi sangat signifikan karena sekarang pemerintah atau negara mulai terlibat dalam pengelolaannya. Menyangkut substansi syariahnya pemerintah tak melakukan apa-apa.

T : Lalu bagaimana dengan pengelolaannya ?
J : Pengelolaannya diserahkan kepada BAZIS yang dibentuk oleh pemerintah. Dalam pasal 6 disebutkan pembentukan badan amil zakat secara nasional oleh presiden atas usul menteri, propinsi oleh gubernur atas usul kanwil depag, kabupaten oleh bupati atas usul depag kabupaten, kecamatan oleh camat atas usul KUA kecamatan. Badan amil zakat di semua tingkatan memiliki hubungan kerja yang bersifat koordinatif, konsultatif, dan informatif. Jadi lembaga amil zakat juga bisa dari masyarakat. Seperti dalam UU Zakat pasal 7 dikatakan lembaga amil zakat dikukuhkan, dibina dan dilindungi oleh pemerintah. Sementara pada pasal 8 dikatakan badan amil zakat mempunyai tugas mengumpulkan, mendistribusikan, dan mendayagunakan zakat sesuai dengan ketentuan agama. Tapi kelihatannya dengan UU ini lembaga yang dibentuk oleh pemerintah itu akan semakin dominan.

T : Posisi Lembaga non BAZIS yang saat ini juga menjadi kekuatan yang tak bisa dinafikan keberadaannya ?
J : Lembaga ‘amil zakat yang dibentuk pemerintah itu harus independen. Pengurusnya harus orang-orang yang dipercaya oleh masyarakat. Pekerjaannya juga harus transparan. Pemerintah hanya sebagai pengawas. Dan pemerintah seharusnya tidak intervensi dalam memilih orang-orangnya. Pengelolaan zakat itu tak selalu punya pemerintah, swasta juga bisa. Tapi yang penting bahwa pengelola zakat itu bertanggung jawab. Hingga masyarakat dan pemerintah dapat berperan serta dalam pengawasan badan amil zakat. Pemerintah harus melakukan pengawasan supaya tidak ada penyalahgunaan.

T : Adakah kelemahan-kelemahan dalam UU ini ?
J : Secara umum ya ada dan itu memerlukan peraturan lebih lanjut. Tapi tidak ada kelemahan yang mendasar. Secara umum bagus tinggal bagaimana mengoperasionalisasikan

T : Pengawasan yang bagaimanakah yang dapat dilakukan oleh masyarakat ?
J : Bentuk-bentuk transparansi itu kan banyak misalnya laporan tahunan yang dipublikasikan mengenai jumlah uang yang masuk dan penggunaannya atau pengauditan oleh akuntan publik. Kalau pemerintah melalui DPR.

T : Lalu setelah itu ?
J : Ya, namanya pembinaan kalau bagus, didorong untuk berkembang. Kalau ada kelemahan-kelemahannya segera diluruskan. Sesuai dengan esensi zakat sebagai amanah. Badan amil zakat itu kan hanya bekerja untuk mengumpulkan dan mendistribusikan. Dia sebagai mustahik juga.


T : Bagaimana dengan kesadaran kaum muslimin yang masih rendah akan penting dan wajibnya ibadah zakat ini ?
J : Harus dilakukan sosialisasi. Juga untuk ibadah-ibadah lain. Umat ini mau menegakkan syariat Islam tapi problemnya umatnya nggak paham. Maka lakukanlah gerakan sosialisasi pemahaman Islam. Ini kewajiban semua pihak terutama para da’i dan ormas-ormas Islam.

T : Jadi UU ini akan efektif jika masyarakat sudah paham akan pentingnya ibadah zakat ?
J : Ya , UU apa saja dibuat kalau masyarakat tidak paham, tidak akan efektif. UU dibuat lalu kewajiban pemerintah atau negara untuk melakukan sosialisasi. Tapi dengan dilaksanakannya itu pelan-pelan akan tersosialisasi. Di Indonesia, soal sosialisasi UU memang menjadi problem besar. Negaranya besar, penduduknya 202 juta, sementara pemahaman pemerintah untuk menyosialisasikan UU itu lemah sekali.

T : Bagaimana proses sebuah UU lahir ?
J : UU itu dibikin atas aspirasi sebagian masyarakat yang memiliki kesadaran. Aplikasinya melibatkan publik yang memerlukan sosialisasi. Dimana-mana di dunia ini memang kesadaran terhadap persoalan-persoalan penting itu milik orang-orang tertentu, ya milik elit. Orang-orang kecil itu tidak sampai dan memang tidak terlalu perlu memiliki kesadaran terlalu detail. Itu tugasnya lembaga-lembaga legislatif. Sosialisasi pun tak perlu terlalu detail yang penting you sudah zakat atau belum ? Belum. Keluarkan zakat maka saya akan tunjukkan lembaganya.

T : Bagaimana penghitungan zakat dan pajak ?
J : Kalau zakat itu self assesment, menghitung sendiri karena memang posisi amil zakat dan negara itu masih lemah. Tapi kalau pajak dengan self assesment, ya bisa diselundupkan. Yang tidak termasuk objek pajak adalah bantuan atau sumbangan termasuk zakat yang diterima badan amil zakat yang disahkan pemerintah atau masyarakat yang berhak. Jadi zakat yang diterima mustahik itu tidak di PPn kan atau bebas pajak

T : Bagaimana soal penghitungannya ?
J : Kalau soal hitungannya lain lagi. Zakat yang sudah dibayarkan kepada amil zakat dikurangkan dari laba pendapatan sisa kena pajak wajib pajak. Prosentase pajak diambil setelah dikurangi zakat. Tidak zakat pengganti pajak. Yang ideal itu kan zakat pengganti pajak. Misalnya saya tiap bulan mengeluarkan 3 juta untuk zakat, seharusnya saya nggak bayar pajak lagi. Sekarang ini saya bayar double. Bisa 5 jutaan saya keluarkan uang untuk zakat dan pajak. Yang ideal itu kalau pajak memakai sistem baku zakat. Pertama zakat itu adalah ibadah. Yang kedua tentang apa-apa yang dizakati itu tidak pernah berubah. Emas, perak, hasil perdagangan dan lainnya sejak zaman Nabi sampai hari kiamat tidak pernah berubah. Hanya perluasan saja. Misalnya pertambangan, kalau dulu tidak ditemukan sulfur sekarang ada. Jadi kalau negara menggunakan sistem zakat ini sebagai dasar pajak, tidak perlu tiap tahun melakukan revisi pajak.

T : Maksudnya ?
J : Dari jenisnya aja, berubah-ubah. Ada PPN, PPh, Pajak Bumi dan Bangunan, retribusi dan lainnya . Kemudian prosentasenya tidak pernah pasti. Kalau zakat kan selalu pasti 2,5 %. Dalam hikmah zakat itu, 2,5 % itu ternyata penyusutan minimum. Jadi satu tahun itu barang itu penyusutan minimumnya 2,5 %. Kalau barang itu tidak digerakkan ia akan berkurang 2,5 %. Maka barang itu harus digerakkan, dizakatkan. Sedangkan pajak itu berdasarkan apa ? Kenapa 15 % ? Pajak itu sangat relatif dan subjektif. Ini mengenai apa saja yang dipajaki, persentasenya berubah-ubah, mustahiknya juga berubah-ubah. Pajak diambil oleh negara kemudian haknya kepada siapa ? Memang untuk pembiayaan penyelenggaraan negara tapi untuk siapa ? Tapi kalau zakat yang delapan asnaf itu tidak pernah berubah. Pada zakat, mengenai penarikan oleh pemerintah atau siapapun, tak begitu penting. Yang penting masuk negara lalu akan dikembalikan kepada masyarakat untuk biaya pengelolaan negara dan biaya kesejahteraan masyarakat.

T : Inikah bukti bahwa zakat bukan hanya sekedar ritual kepada Allah saja ?
J : Ya. Jika zakat dijadikan dasar hukum pajak maka pemerintah akan berhemat besar karena tidak tiap tahun tidak perlu melakukan revisi. Tidak ada lagi perdebatan panjang tentang prosentase zakat. Anda mau protes kepada siapa ? Protes kepada Nabi ? Jika implementasi zakat ini dapat menjadi pilot project maka suatu ketika bagi yang sudah mengeluarkan zakat maka ia akan dibebaskan dari pajak. Tapi untuk saat ini hampir tidak mungkin karena pajak masih dijadikan sumber utama pembiayaan negara. Padahal negara yang baik itu adalah negara yang paling sedikit memungut pajaknya. Dan sumber pembiayaan negaranya diandalkan dari sektor perdagangan internasional dan sumber daya alam. Di sinilah potensi zakat sebagai balancing. Pajak menjadi selalu bermasalah karena selalu ada korupsinya (Resmiarni)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar