site meter

Sabtu, 29 Agustus 2009

JUMUD

“Jumud … jumud … jumud …”
“Kenapa kamu ?”
“Ya, jumud !”
“Tau, tapi ya napa ?”
“Kok malah napa ? Tau jumud kan ?”
Acil bengong. Garuk-garuk kepala. Ya jelas tau dong. Jumud kan …
“Hehehe … iya ya ?”
“Makanya jangan tanya kenapa ? Tau juga kagak !”
Blup ! Merah padam. Wajahnya Acil. Sialan !”


Acil buka-buka Kamus Besar Bahasa Indonesia. Nothing. Jumud … jumud … Yang ada juga Jumat. Lha, itu kan nama hari ? Lembar … lembar … lembar … Pluk, matanya tertutup. Hampir dua jam ia cari : jumud. Sia-sia. Tertidur Acil di antara kamus-kamus. Bahasa Indonesia. Inggris. Jerman. Prancis. Jepang.
Sudah seminggu ini, Nimla terlihat be-te. Wajahnya cemberut. Tak ada lagi senyum. Bicaranya sedikit.
“Kenapa Nimla ?”
“Kenapa Nimla ?”
Nimla, kenapa ? Kok mirip teletubbies ya ?

Bandung, 30 Oktober 2001
Buat : Mama seorang … !
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Lama Nimla tak berkirim surat. Maapin Nimla ya, Ma ? Dibilangin sibuk, iya juga. Dikatakan tidak, gimana ya ? Tapi yang jelas, Nimla lagi jumud.
Mama sayang …
Mama pasti ingat, tiga tahun lalu, ketika Nimla minta restumu untuk pindah sekolah ke sini, “Nimla bosan, Ma !”
Nimla bukan tak bersyukur, terlahir dari keluarga berkecukupan. Memiliki mama sepertimu. Tegar dan tidak cengeng walau telah ditinggal papa. Tapi, Mama pasti ingat, “Kenapa mereka tetap miskin, Ma ?”
Coba liat, di sekelilingnya pipa-pipa gas yang memroduksi gas jutaan dolar. Tapi mana tetesan kesejahteraan buat masyarakat di luar pagar-pagar besi itu, Ma ? Pertanyaan itu tak pernah mama jawab. “Bersyukurlah,” hanya satu kata itu.
“Apa itu syukur, Ma ?”
Lagi-lagi tak pernah ada jawaban. Hingga Nimla mohon padamu, bolehkah Nimla pergi dari sini, Ma ? Mencari arti syukur ?
Sekarang, Nimla kembali bosan. Berharap bertemu dengan syukur, nihil. Nimla pernah berbangga padamu, Ma. Di sini, Nimla mengaji dengan benar. Juga kenakan jilbab, bukan hanya ke sekolah. Tapi lagi-lagi, Nimla tanya apa itu syukur pada guru ngaji, “Inilah ayat-ayatnya … “

Tidak ada komentar:

Posting Komentar